Kekuasaan negara merupakan wewenang yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa untuk mengatur dan menjaga wilayah kekuasaannya dari penguasaan negara lain. Kekuasaan yang dimiliki negara sangat berbeda dengan kekuasan yang dimiliki oleh suatu organisasi yang ada di masyarakat.
Menurut Max Weber, negara memiliki kekuasaan yang luar biasa dibandingkan dengan organisasi. Negara mempunyai kemampuan dalam menggunakan kekuasaan fisik, hal tersebut dapat dilihat dalam sifat kekuasaan negara, misalnya dalam kekuasaannya untuk menangkap, menahan, mengadili, dan memasukkan seseorang ke dalam penjara.
Teori Kekuasaan. Ada dua teori tentang kekuasaan :
- Teori kekuasaan yang bersifat fisik, di mana yang kuatlah yang berkuasa. Teori ini dianut oleh Machiavelli.
- Teori kekuasaan yang bersifat ekonomis, yaitu bahwa orang yang ekonominya kuat (orang yang kaya) yang berkuasa. Teori ini dianut oleh Karl Max.
Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasan Negara. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berarti kekuasaan negara terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun mengenai fungsinya yang secara tidak langsung berjalan dalam suatu sistem yang terstruktur. Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme pembagian kekuasaan, kekuasaan negara dibagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian kekuasaan negara tersebut dimungkinkan ada koordinasi dan kerja sama. Mekanisme pembagian kekuasaan seperti tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia.
Baca juga : Ilmu Negara Dalam Hubungannya Dengan Ilmu Politik Dan Ilmu Kenegaraan
Menurut Prof. Jennings, Pemisahan kekuasaan dapat dibedakan dalam dua arti, yaitu :
Prof. Dr. Ismail Sunny, SH, MCL dalam bukunya yang berjudul "Pergeseran Kekuasaan Eksekutif" berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Baca juga : Perbedaan Ilmu Negara Dan Ilmu Politik
John Locke merupakan orang pertama yang mengemukakan teori tentang pemisahan kekuasaan negara. Dalam bukunya yang berjudul "Two Treaties on Civil Government" yang diterbitkan pada tahun 1660, John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga fungsi, yaitu :
Ajaran dari John Locke tersebut berangkat dari pemikiran bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidaklah boleh dipegang sendiri oleh mereka yang bertugas untuk menerapkannya. Maksud dari John Locke tersebut adalah untuk membedakan tugas dan kewenangan dari badan legislatif dan eksekutif agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Baca juga : Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Yang Lain
Sedangkan Montesquieu, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, dalam bukunya yang berjudul "L 'Esprit des Lois" yang diterbitkan pada tahun 1748, menuliskan bahawa sistem kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu :
Baca juga : Ilmu Negara Dalam Hubungannya Dengan Ilmu Politik Dan Ilmu Kenegaraan
Menurut Prof. Jennings, Pemisahan kekuasaan dapat dibedakan dalam dua arti, yaitu :
- pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dilakukan atau dipertahankan dengan jelas dan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
- pemisahan kekuasaan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dilakukan atau tidak dipertahankan dengan tegas.
Prof. Dr. Ismail Sunny, SH, MCL dalam bukunya yang berjudul "Pergeseran Kekuasaan Eksekutif" berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Baca juga : Perbedaan Ilmu Negara Dan Ilmu Politik
John Locke merupakan orang pertama yang mengemukakan teori tentang pemisahan kekuasaan negara. Dalam bukunya yang berjudul "Two Treaties on Civil Government" yang diterbitkan pada tahun 1660, John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga fungsi, yaitu :
- fungsi legislatif, untuk membuat peraturan.
- fungsi eksekutif, untuk melaksanakan peraturan.
- fungsi federatif untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang atau damai.
Ajaran dari John Locke tersebut berangkat dari pemikiran bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidaklah boleh dipegang sendiri oleh mereka yang bertugas untuk menerapkannya. Maksud dari John Locke tersebut adalah untuk membedakan tugas dan kewenangan dari badan legislatif dan eksekutif agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Baca juga : Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Ilmu Yang Lain
Sedangkan Montesquieu, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, dalam bukunya yang berjudul "L 'Esprit des Lois" yang diterbitkan pada tahun 1748, menuliskan bahawa sistem kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu :
- Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan.
- Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan yang dibuat.
- Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan atau kekuasaan untuk mengadili.
Isi ajaran dari Montesquieu tersebut didasarkan pada pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang kemudian dikenal dengan istilah "Trias Politica", yang merupakan penyempurnaan dari teori pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh John Locke. Menurut Montesquieu, dalam suatu sistem pemerintahan negara, ketiga bagian kekuasaan tersebut haruslah benar-benar terpisah, baik mengenai fungsi, tugas, maupun mengenai alat perlengkapan atau organ yang melaksanakannya. Pemisahan kekuasaan tersebut dilakukan untuk menghindarkan tindakan kesewenang-wenangan negara.
Baca juga : Teori Yang Memberi Dasar Hukum Bagi Kekuasaan Negara
Ajaran dari John Locke dan Montesquieu tersebut mempunyai kesamaan konsep tentang kekuasaan legislatif, namun konsep tentang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif mempunyai perbedaan yang mendasar, yaitu :
- John Locke menilai bahwa kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadilai berarti melaksanakan undang-undang. Sementara kekuasaan federatif merupakan kekuasaan untuk melakukan hubungan luar negeri yang berdiri sendiri.
- Montesquieu menilai bahwa kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri tersebut termasuk kekuasaan eksekutif. Sementara kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutuf.
- Dalam perjalanannya, pembagian kekuasaan sebagaimana ajaran dari Montesquieu lebih diterima dan banyak diaplikasikan oleh berbagai negara.
Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia. Menurut Mohammad Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul 'Pengantar Hukum Tata Negara', menjelaskan bahwa istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan pembagian kekuasaan (divisions of powers) merupakan dua istilah yang mempunyai pengertian yang berbeda antara yang satu dengan lainnya.
- Pemisahan kekuasaan negara, berarti kekuasaan negara tersebut dipisahkan dalam beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun mengenai fungsinya. Atau dengan kata lain, lembaga pemegang kekuasaan negara, yaitu lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerjasama. Setiap lembaga melaksanakan fungsinya masing-masing. Contoh negara yang menganut sistem pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.
- Pembagian kekuasaan negara, berarti kekuasaan negara dibagi-bagi dalam beberapa bagian, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan negara tersebut dibagi tetapi tidak dipisahkan. Hal tersebut berakibat bahwa diantara bagian-bagian kekuasaan negara tersebut memungkinkan untuk melakukan koordinasi dan kerja sama. Sistem pembagian kekuasaan negara ini dianut oleh banyak negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia.
Sistem pembagian kekuasaan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang Dasar 1945, di mana penerapan pembagian kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian tanpa menekankan pemisahaannya, yaitu : pembagian kekuasaan negara secara horizontal dan pembagian kekuasaan negara secara vertikal.
1. Pembagian Kekuasaan Negara Secara Horizontal.
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan yang dilakukan pada tingkatan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah berdasarkan fungsi lembaga-lembaga tertentu. Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintah pusat mengalami pergeseran setelah adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pergeseran pembagian kekuasaan tersebut adalah yang semula kekuasaan terbagi dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berubah menjadi enam kekuasaan negara, yaitu :
- Kekuasaan eksekutif, merupakan kekuasaan negara untuk menjalankan undang-undang, dan presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945.
- Kekuasaan legislatif, merupakan kekuasaan negara untuk membentuk Undang-Undang. Kekuasaan ini dipegang oleh badan legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Kekuasaan yudikatif, merupakan kekuasaan negara untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
- Kekuasaan konstitutif, merupakan kekuasaan negara untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan ini dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakayat (MPR).
- Kekuasaan eksaminatif/inspektif, merupakan kekuasaan negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Kekuasaan ini dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
- Kekuasaan moneter, merupakan kekuasaan negara untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran serta memelihara kestabilan nilai rupiah. Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral di Indonesia.
2. Pembagian Kekuasaan Negara Secara Vertikal.
Pembagian kekuasaan negara secara vertikal adalah pembagian kekuasaan negara berdasarkan tingkatannya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan, seperti propinsi, kabupaten/kota. Sementara pada masing-masing daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Baca juga : Ilmu Politik Dipandang Dari Dimensi Keilmuan
Pembagian kekuasaan negara secara vertikal menyebabkan adanya hubungan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan oleh pemerintah pusat dalam bidang administrasi dan kewilayahan. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal muncul sebagai akibat dari penerapan asas desentralisasi atau otonomi daerah. Dengan asas desentralisasi tersebut pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintah kepada pemerintah daerah otonom (propinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerantahan di daerahnya, kecualai urusan pemerintah yang menjadi wewenang pemerintah pusat, yaitu wewenang yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal.
Demikian penjelasan berkaitan dengan teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan negara di Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Beberapa Artikel Yang Mungkin Anda Cari :
Beberapa Artikel Yang Mungkin Anda Cari :
- Asas-Asas Dalam Hukum Administrasi Negara
- Pengertian Diskresi Dalam Hukum Administrasi Negara
- Asas-Asas Pokok Negara Hukum (Rechtsstaat)
- Hubungan Hukum Administrasi Negara Dengan Cabang Ilmu Hukum Yang lain
- Teori Tentang Hubungan Antara Hukum Internasional Dan Hukum Nasional
- Apakah Hukum Internasional Benar-Benar Hukum ?
- Penulisan Daftar Pustaka