Hapusnya Suatu Perikatan Karena Batal Atau Pembatalan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Perikatan atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum, maksudnya adalah hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Menurut Prof. Subekti, SH, yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Batal atau pembatalan perikatan menghapuskan suatu perikatan. Ketentuan tentang batal atau pembatalan perikatan diatur dalam pasal 1446 sampai dengan pasal 1456 KUH Perdata.

Pasal 1446 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  1. Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelum-dewasaan atau pengampuannya.
  2. Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.


Ketentuan pasal 1446 KUH Perdata tersebut mengatur tentang pembatalan suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap hukum. Perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan subyektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan peijinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian dengan dasar kekurangan syarat subyektifnya dapat dilakukan dengan cara : 
  1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim. Pasal 1454 KUH Perdata, mensyaratkan batas waktu bisa diadakan tuntutan adalah sampai dengan 5 tahun.
  2. Secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu. Undang-undang tidak memberikan batas waktu penuntutan.

Namun begitu, penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh hakim, jika ternyata sudah ada "penerimaan baik" dari pihak yang dirugikan, karena seseorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta penuntutan.

Baca juga : Hapusnya Suatu Perikatan

Pasal 1449 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.

Ketentuan pasal 1449 KUH Perdata tersebut, menjelaskan bahwa batal atau pembatalan suatu perikatan dapat dilakukan, apabila terhadap perjanjian tersebut mempunyai unsur-unsur  paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog).


Pasal 1450 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Dengan alasan dirugikan, orang-orang dewasa dan juga orang-orang belum dewasa, apabila mereka ini dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang telah mereka perbuat, dalam hal-hal khusus yang ditetapkan oleh undang-undang.

Ketentuan pasal 1450 KUH Perdata tersebut, menjelaskan bahwa pembatalan suatu perikatan dapat dilakukan apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Apabila batal atau pembatalan suatu perikatan terjadi sebagaimana diatur dalam pasal 1466 dan pasal 1449 KUH Perdata tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian berupa biaya, rugi dan bunga. Demikian itu sebagaimana ketentuan pasal 1453 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal 1446 dan 1449, orang terhadap siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu dikabulkan, selain itu diwajibkan pula mengganti biaya, kerugian dan bunga, jika ada alasan untuk itu.

Selain dari apa yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada pula kekuasaan yang oleh "Ordonansi Woeker" diberikan kepada hakim untuk membatalkan perjanjian, jikalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang.


Batalnya suatu perikatan dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu :
  • Batal demi hukum. Disebut batal demi hukum, karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Pada umumnya ketentuan-ketentuan yang sehubungan dengan kebatalan ini menyangkut perjanjian-perjanjian obligatoir. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
  • Dapat dibatalkan. Baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelum ada putusan hakim, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku.


Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum, atau kesusilaan. Jadi pada umumnya untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

Demikian penjelasan berkaitan dengan hapusnya suatu perikatan karena batal atau pembatalan.

Semoga bermanfaat.