Suatu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral. Pendukung dari teori tersebut di antaranya adalah John Austin, Thomas Hobbes, Pufendorf, dan Bentham.
John Austin, seorang penulis Yurisprudensi atau ilmu pengetahuan dan filsafat hukum, mengemukakan teorinya bahwa hukum stricto sensu dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir bukan berasal dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi, atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata.
Kaidah-kaidah hukum internasional hampir secara eksklusif bersifat kebiasaan, oleh karenanya John Austin menyimpulkan bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan hanya moralitas internasional positif, yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok masyarakat. John Austin menggambarkan hukum interasional sebagai terdiri dari opini-opini yang berlangsung di antara bangsa-bangsa pada umumnya. Pandangan John Austin ini didasarkan pada klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu Hukum Tuhan, Hukum Positif, dan Moralitas Positif.
Dalam kaitannya dengan penganut pendapat Austin, adalah bermanfaat untuk mempertimbangkan perbedaan antara kaidah-kaidah hukum internasional yang sebenarnya dan kaidah-kaidah sopan santun internasional. Kaidah-kaidah hukum internasional yang sebenarnya mengikat secara hukum, sedangkan kaidah-kaidah sopan santun internasional, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah kebajikan (goodwill) dan kesopanan (civility), maka mengikatnya berdasarkan pada hak moral setiap negara untuk memperoleh penghormatan dari negara lain. inti dari adat istiadat kesopanan ini karenanya tepat seperti apa yang dilekatkan Austin kepada hukum internasional yang sebenarnya, yaitu hanya suatu nilai moral semata-mata. Ketaatan terhadap suatu kaidah hukum internasional akan menimbulkan tuntutan oleh suatu negara terhadap negara lain untuk semacam pembalasan, apakah itu bersifat tuntutan diplomatik ataupun dalam bentuk kongkret berupa tuntutan ganti rugi atau pemulihan. Ketidaktaatan terhadap suatu adat istiadat kehormatan di lain pihak tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang tegas berkenaan dengan negara yang menerapkan kesopan santunan tersebut.
Pendapat dari John Austin tersebut, disangkal oleh Sir Frederick Pollock. Sir Frederick Pollock mengatakan bahwa apabila hukum internasional hanya semacam moralitas semata-mata, maka para perumus dokumen-dokumen tentang kebijaksanaan luar negeri akan menekankan semua kekuatan dokumen-dokumen tersebut pada argumentasi-arguentasi moral. Namun dalam kenyataannya hal demikian tidak mereka lakukan. Pertimbangan para perumus tersebut bukan kepada perasaan umum atas kebenaran moral, akan tetapi kepada preseden-preseden, traktat-traktat, dan pada opini-opini para ahli. Semua itu dianggap ada di antara para negaeawan dan penulis-penulis hukum yang dapat dibedakan dari kewajiban-kewajiban moral dalam hubungan bangsa-bangsa.
Selain dari apa yang dinyatakan oleh Sir Frederick Pollock tersebut, pendapat Austin tidak sejalan dengan praktek hubungan internasional dewasa ini, hal tersebut dapat dilihat bahwa :
- Yurisprudensi jaman modern tidak memperhitungkan kekuatan teori umum tentang hukum dari Austin. Telah ditunjukkan bahkan pada beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai suatu otoritas legislatif formal, suatu sistem hukum telah berjalan dan ditaati, dan bahwa hukum tersebut tidak berbeda dalam hal kekuatan mengikatnya dari hukum suatu negara yang benar-benar mempunyai otoritas legislatif.
- Pandangan-pandangan Austin tersebut meskipun benar pada jamannya, namun tidak tepat bagi hukum internasional sekarang ini. Dalam masa sekarang banyak sekali perundang-undangan internasional terbentuk sebagai akibat dari traktat-traktat dan konvensi-konvensi yang membuat hukum, dan sejalan dengan perkembangan ini maka proporsi kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional makin berkurang. Bahkan andaikata benar bahwa tidak ada otoritas legislatif yang secara tegas berdaulat di bidang internasional, prosedur untuk merumuskan kaidah-kaidah perundang-undangan internasional ini telah dipecahkan dengan cara penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional atau melalui organ-organ internasional yang ada, meskipun tidak seefisien seperti prosedurlegislatif pada suatu negara.
- Persolan-persoalan hukum internasional senantiasa dipetrlakukan sebagai persoalan-persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam berbagai Kementerian Luar Negeri atau melalui berbagai badan administrasi internasional. Dengan kata lain, badan-badan otoritatif yang bertanggung jawab untuk memelihara hubungan-hubungan internasional tidak menganggap hukum internasional hanya sebatas sebagai suatu himpunan peraturan moral.
Kekuatan mengikatsecara hukum dari hukum internasional berulangkali telah ditegaskan oleh bangsa-bangsa di dunia dalam konferensi internasional. Seperti Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dirumuskan pada tahun 1945 di San Fransisco Amerika Serikat. Piagam tersebut baik secara tegas maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum internasional.
Semoga bermanfaat.