Akad Dalam Konsep Islam : Pengertian, Unsur, Syarat, Jenis, Dan Asas Akad

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Akad. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah : 1, yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

Maksud dari QS. Al Maidah : 1 tersebut adalah bahwa setiap mukmin berkewajiban untuk menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal.

Secara etimologis, istilah “akad” berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-‘Aqd”, dengan bentuk jamak “al-‘Uqud” yang berarti “al-Rabtb”, yaitu ikatan atau mengikat. Mustafa al-Zarqa’ dalam “Al-Madhkal al-Fiqh al-’Amm”, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-Rabtb” adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.

Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, dalam “‘Aqad al-Muqawalah”, menjelaskan bahwa secara etimologis “akad” juga berarti “al-Rabthu wa al-syaddu” yaitu :
  • ikatan yang bersifat indrawi (hissi), seperti mengikat sesuatu dengan tali.
  • ikatan yang bersifat maknawi, seperti ikatan dalam jual beli.

Sedangkan secara terminologis, istilah “akad” dimaknai dalam banyak pengertian. Akad dapat diartikan sebagai suatu ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Keinginan atau kehendak para pihak untuk mengikatkan diri (berakad) tersebut harus diungkapkan dalam suatu pernyataan, yang disebut dengan ijab dan qabul. Ijab dan qabul merupakan suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasar syara’.

Para ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, berpendapat bahwa akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti : wakaf, talak dan sumpah, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan dua orang, seperti : jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai.

Sedangkan ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa akad adalah pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum pada obyeknya. Atau dengan kata lain, keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya pada obyek.

Baca juga : Hibah Dalam Islam

Selain itu, pengertian akad juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
  • T.M, Hasbi Ash Shiddieqy, dalam “Pengantar Fiqh Mu’amalah”, menyebutkan bahwa akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.
  • Wahbah al-Juhailli, dalam “Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh”, menyebutkan bahwa akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.
  • Ibnu ‘Abidin, dalam “Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar”, menyebutkan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.


Unsur Akad. Suatu akad akan berlaku sah dan mengikat, apabila memenuhi beberapa unsur atau rukun sebagai berikut :

1. ‘Aqid.
‘Aqid adalah orang yang berakad. Terkadang masing-masing pihak yang berakad terdiri dari satu orang atau terdiri dari beberapa pihak orang. Seseorang yang berakad terkadang merupakan orang yang memiliki hak ataupun wakil dari yang memiliki hak.

2. Ma’qud ‘alaih.
Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda yang diakadkan. Benda yang diakadkan seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam hibah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

3. Maudu‘ al-‘aqd.
Maudu‘ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda pula tujuan pokok akad.

4. Sighat al-‘aqd.
Sighat al-‘aqd adalah ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya mengadakan akad. Qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Jadi pengertian ijab qabul dalam berakad adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain di mana pihak pertama mengucapkan kata menyerahkan objek akad dan pihak kedua mengucapkan kata menerima objek akad.


Syarat Akad. Akad yang dibuat dan disepakati oleh para pihak harus memenuhi beberapa persyaratan sehingga akad dimaksud sah dan mengikat para pihak pembuatnya. Beberapa syarat akad adalah sebagai berikut :

1. Syarat terbentuknya akad.
Syarat terbentuknya akad merupakan pokok dari akad, maksudnya adalah apabila pokok tersebut tidak terpenuhi, maka tidak pernah terjadi akad dalam arti tidak memiliki wujud yuridis syar’i atau disebut akad batil. Syarat terbentuknya akad menurut para ahli hukum Islam adalah :
  • kecakapan, minimal (tamyiz).
  • berbilang pihak.
  • persesuaian ijab dan qabul.
  • kesatuan majelis akad.
  • obyek akad tertentu atau dapat ditentukan.
  • obyek akad dapat diserahkan.
  • obyek akad dapat ditransaksikan (berupa benda bernilai dan dimiliki).
  • tidak bertentangan dengan syariah.

2. Syarat keabsahan akad.
Suatu akad dikatakan sah apabila memenuhi syarat keabsahan sebagai berikut :
  • ijab dan qabul dilakukan dengan tidak ada unsur paksaan.
  • penyerahan obyek akad yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian (dharar).
  • terhadap obyek akad tidak mengandung “gharar”.
  • bebas dari fasid (tidak terpenuhinya syarat akad).
  • bebas dari riba.

3. Syarat berlakunya akibat hukum akad.
Suatu akad dinyatakan sah, apabila telah terpenuhi syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya. Tetapi ada kemungkinan akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan atau disebut akad mauquf (terhenti atau tergantung). Agar dapat dilaksanakan akibat hukum dari akad yang sudah sah tersebut harus ada dua syarat yang mempertautkan ketiga rukun akad, yaitu :
  • adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan. Kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi bila telah mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya.
  • adanya kewenangan para pihak atas obyek akad. Kewenangan atas obyek dapat terpenuhi bila para pihak mempunyai kepemilikan atas obyek yang bersangkutan, atau mendapat perwakilan dari para pemilik dan pada obyek tersebut tidak tersangkut hak orang lain.

4. Syarat-syarat mengikatnya akad.
Suatu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat bagi para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat. Hal ini disebabkan oleh sifat akad itu sendiri atau oleh adanya hak-hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian secara sepihak). Akad ini mengikat apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar.


Jenis Akad. Akad dapat dibedakan dalam beberapa jenis yang didasarkan pada :

1. Ketentuan syara’.
Berdasarkan ketentuan syara’, akad terdiri dari :

1.1. Akad sahih.
Akad sahih merupakan akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Akad yang memenuhi rukun dan syarat maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih. Akad sahih dapat dibedakan menjadi :
  • akad nafiz, yaitu akad yang sudah dapat diberlakukan atau dilaksanakan akibat hukumnya. Contoh : akad yang dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan cerdas.
  • akad mauquf, yaitu akad yang sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya maupun syarat keabsahannya, namun akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan. Contoh : akad yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz.

1.2. Akad ghairu sahih.
Akad ghairu sahih (akad tidak sahih), yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Akad jenis ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Akad ghairu sahih dapat dibedakan menjadi :
  • akad batil, yaitu suatu akad yang rusak (tidak terpenuhi) rukunnya atau objeknya, atau akad yang tidak disyariatkan dengan asalnya dan tidak pula sifatnya. Maksudnya, akad tersebut tidak memenuhi sama sekali rukun, objek dan syarat akad. Contoh : akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila, jual beli minuman keras, dan lain sebagainya.
  • akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya disyariatkan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Contoh : menjual rumah yang tidak jelas tipenya.

2. Penamaan.
Berdasarkan ketentuan penamaannya, akad terdiri dari :
  • akad musamma, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya. Contoh : akad jual beli.
  • akad ghairu musamma, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka sepanjang zaman dan tempat. Contoh : akad istisna, dan bai al wafa.

3. Sifat benda.
Berdasarkan sifat bendanya, akad terdiri dari :
  • akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang. Contoh : akad jual beli.
  • akad ghairu ainiyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang. Tanpa adanya penyerahan barang-barang pun akad sudah berhasil. Contoh : akad Amanah.

4. Cara melakukan.
Berdasarkan cara melakukannya, akad terdiri dari :
  • akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara atau upacara tertentu. Contoh : akad nikah. Dalam akad nikah harus dihadiri oleh dua orang saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
  • akad yang dilakukan tanpa adanya upacara atau tata cara tertentu. Akad ini terjadi karena keridhaan dua belah pihak. Contohnya, akad jual beli.

5. Tukar menukar hak.
Berdasarkan segi tukar menukar hak, akad terdiri dari :
  • akad mu’awadah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik. Contoh : akad jual beli.
  • akad tabarru’at, yaitu akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan. Contoh : akad hibah.
  • akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadah pada akhirnya. Contoh : akad qard dan akad kafalah.

6. Tujuan.
Berdasarkan tujuannya, akad terdiri dari :
  • akad yang tujuannya tamlik. Contoh : akad jual beli.
  • akad yang tujuannya mengadakan usaha bersama. Contoh : akad syirkah, dan akad mudarabah.
  • akad yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja. Contoh : akad rahn dan akad kafalah.
  • akad yang tujuannya menyerahkan kekuasaan. Contoh : akad wakalah.
  • akad yang tujuannya memelihara. Contoh : akad wadi’ah.

7. Harus dibayar ganti atau tidaknya.
Berdasarkan segi harus dibayar ganti atau tidaknya, akad terdiri dari :
  • akad daman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima. Contoh : akad qard dan akad jual beli.
  • akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang. Contoh : akad wakalah dan akad syirkah.
  • akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan daman, menurut segi yang lain merupakan amanah. Contoh : akad rahn (gadai), akad ijarah, dan akad sulh.

8. Segi luzum dan dapat dibatalkannya.
Berdasarkan segi luzum dan dapat dibatalkannya, akad terdiri dari :
  • akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan. Contoh : akad nikah, manfaat pernikahan tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’, seperti : talak dan khulu’.
  • akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan. Contoh : akad jual beli.
  • akad lazim yang yang menjadi hak salah satu pihak. Contoh : akad rahn, orang yang menggadai suatu benda mempunyai kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn, atau menebus kembali barangnya.
  • akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Contoh : akad titipan. Titipan boleh diminta oleh orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada orang yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.

9. Berlakunya.
Berdasarkan berlakunya, akad terdiri dari :
  • akad fauriyah, yaitu akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu lama. Contoh : akad jual beli.
  • akad mustamirah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contoh : akad ijarah.

10. Ketergantungan dengan yang lain.
Berdasarkan segi ketergantungan dengan yang lain, akad terdiri dari :
  • akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan sesuatu yang lain. Contoh : akad jual beli.
  • akad tabi’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain. Contoh : akad rahn dan akad kafalah.


Sedangkan dalam transaksi Lembaga Keuangan Syariah, akad dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Murabahah.
Murabahah adalah akad jual beli di mana harga serta keuntungan telah disepakati pihak penjual dan pembeli. Dalam murabahah :
  • jenis barang harus sudah diserahkan setelah akad jual beli barang.
  • pembayaran dapat dilakukan dengan cara dicicil atau mengangsur pembayaran itu sekaligus.
  • pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai keuntungan yang sudah disepakati bersama.

2. Wadiah.
Wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang memiliki barang atau uang dengan pihak yang diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan, keselamatan dan keutuhan dari barang atau uang yang dititipkan.

3. Istishna.
Istishna adalah akad pembiayaan barang yang diwujudkan dalam bentuk pemesanan dan pembuatan barang dengan kriteria dan juga syarat tertentu yang telah disepakati antara pemesan atau pembeli dan penjual atau pembuat.

4. Hawalah.
Hawalah adalah akad pengalihan utang yang berasal dari pihak berutang kepada pihak lain sehingga wajib membayar atau menanggungnya.

5. Musyarakah.
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam sebuah usaha tertentu. Masing-masing pihak akan memberikan porsi dana dengan ketentuan keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan sementara kerugian ditanggung sesuai porsi dana dari masing-masing pihak.

6. Salam.
Salam adalah akad pembiayaan dari suatu barang dengan cara memesan. Pembayaran harga dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang sudah disepakati oleh masing-masing pihak.

7. Qardh.
Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah. Ketentuan yang ada dalam akad ini adalah nasabah wajib untuk mengembalikan dana yang sudah ia terima dalam waktu yang sudah disepakati.

8. Ijarah.
Ijarah adalah penyediaan dana dalam rangka untuk memindahkan hak guna atau manfaat sebuah barang atau jasa berdasarkan kepada transaksi sewa tanpa perlu diikuti pemindahan kepemilikan dari barang tersebut.

9. Ijarah muntahiya bittamlik.
Ijarah muntahiya bittamlik adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat sebuah barang atau jasa berdasarkan dengan transaksi sewa dengan opsi pemindahan dari kepemilikan barang.

10. Musyarakah mutanaqisah.
Musyarakah mutanaqisah adalah akad di antara dua pihak atau lebih yang berserikat atau telah berkongsi pada suatu barang, di mana ada salah satu pihak yang membeli bagian pihak lain dengan cara bertahap.


Asas Akad. Dalam hukum Islam, terdapat beberapa asas yang berlaku dan harus dipenuhi ketika dua orang atau lebih melakukan suatu akad. Beberapa asas akad dimaksud adalah :

1. Asas kebebasan berkontrak.
Maksud dari asas kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang boleh membuat berbagai macam perjanjian dan perjanjian yang dibuatnya tersebut wajib dipenuhi, dengan batasan sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Dasar dari asas kebebasan berkontrak adalah QS. Al Maidah : 1 dan QS. An Nisaa’ : 29.

2. Asas perjanjian itu mengikat.
Maksud dari asas perjanjian itu mengikat adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak harus dijalankan dan dipenuhi oleh para pihak yang terkait, selama isi dari perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dasar dari asas perjanjian itu mengikat adalah QS. Al ‘Israa : 34.

3. Asas konsensualisme.
Maksud dari asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak haruslah berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang berkepentingan, tidak ada paksaan dari pihak manapun. Dasar dari asas konsensualisme adalah QS. An Nisaa’ : 29.

4. Asas keadilan dan keseimbangan prestasi.
Maksud dari asas keadilan dan keseimbangan prestasi adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak tidak saling merugikan atau tidak merugikan salah satu pihak. Transaksi yang diperjanjikan harus didasarkan pada keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima.

5. Asas kejujuran (amanah).
Maksud dari asas kejujuran (amanah) adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak harus menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan, dan menjaga amanah.

6. Asas ibadah.
Maksud dari asas ibadah adalah bahwa perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak didasarkan pada niat ibadah. Asas ini berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Dasar dari asas ibadah adalah kaidah fiqh :

Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”



Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian akad dalam konsep Islam, unsur, syarat, dan jenis akad, serta asas yang berlaku dalam akad.

Semoga bermanfaat.