Hibah Dalam Islam : Pengertian, Rukun Dan Syarat, Jenis, Kadar, Serta Manfaat Hibah Dalam Islam

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Hibah. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 177, yang artinya :

“... sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,... .”

Pengertian tentang “hibah” dalam hukum Islam, tidaklah berbeda dengan apa yang menjadi asumsi masyarakat secara umum, yaitu hadiah yang dapat diberikan kepada orang lain yang bukan saudara kandung, suami, atau istri. Secara etimologis, istilah “hibah” berasal dari bahasa Arab, yaitu : “al-hibattu” yang berarti memberi, melewatkan, atau menyalurkan. Sedangkan secara terminologis, “hibah” dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah swt, tanpa mengharapkan balasan apapun. Hibah juga dapat berarti pemberian sesuatu, baik berupa harta secara fisik atau benda-benda lainnya yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga, yang dilakukan oleh seseorang ketika ia masih hidup kepada pihak lain dengan suka rela, tanpa mengharapkan imbal balik atau keuntungan dalam bentuk apapun.

Dalam ketentuan Pasal 171g Kompilasi Hukum Islam, disebutkankan bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimilikinya.


M. Idris Ramulyo, dalam “Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Hukum Perdata (BW)”, menjelaskan bahwa pengertian hibah dapat dijumpai juga dalam pendapat yang dikemukakan oleh para ulama dari beberapa mazhab, sebagai berikut :

1. Mazhab Syafi’i.
Para ulama dari mazhab Syafi’i, menyebutkan bahwa hibah adalah pemberian yang sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan qabul pada waktu si pemberi masih hidup, yang tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang atau menutup kebutuhan orang yang diberikannya. Berdasarkan hal tersbeut, mazhab Syafi’i mengartikan hibah dalam dua makna, yaitu :
  • pengertian khusus : hanya tertentu pada hibah sendiri, sebagaimana pengertian yang telah disebutkan di atas.
  • pengertian umum : hibah mencakup hadiah dan sadaqah.

2. Mazhab Hambali.
Para ulama dari mazhab Hambali, menyebutkan bahwa hibah adalah pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai terhadap sejumlah harta yang diketahui atau yang tidak diketahui namun sulit untuk mengetahuinya. Harta tersebut memang ada, dapat diserahkan dengan kewajiban dengan tanpa imbalan.

3. Mazhab Hanafi.
Para ulama dari mazhab Hanafi, menyebutkan bahwa hibah adalah pemberian hak memiliki suatu benda dengan tanpa adanya syarat harus mendapat imbalan ganti. Pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan adalah sah milik pemberi.

4. Mazhab Maliki.
Para ulama dari mazhab Maliki, menyebutkan bahwa hibah adalah memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan atau ganti. Pemberian semata-mata hanya diperuntukkan kepada pihak yang diberi (mauhublah), artinya si pemberi hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah swt.


Rukun dan Syarat Hibah. Perbuatan hibah dapat dikatakan sah dan memiliki akibat hukum bagi para pihak, apabila memenuhi rukun dan syarat hibah. Abdurrahman al-Jaziri, dalam “Fiqih Empat Madzhab”, menyebutkan bahwa rukun dan syarat hibah dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pemberi hibah.
Pemberi hibah atau “wahib” adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang mengibahkan hartanya kepada orang lain. Pemberi hibah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  • pemilik harta yang sempurna.
  • cakap bertindak secara sempurna yang dimaksud adalah baligh dan berakal.
  • tidak dalam keadaan terpaksa.

2. Penerima hibah.
Penerima hibah atau “mauhublah” adalah orang yang menerima pemberian hibah. Tidak ada ketentuan khusus tentang siapa yang berhak menerima hibah, pada dasarnya setiap orang yang memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat menerima hibah, termasuk juga anak-anak atau mereka yang berada di bawah pengampuan dapat menerima hibah melalui kuasanya (wali).

3. Barang yang dihibahkan.
Barang yang dihibahkan atau “mauhub” adalah barang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya, segala macam benda yang dapat dijadikan hak milik bisa dihibahkan, misalnya : harta gono-gini, benda bergerak atau tidak bergerak. Barang yang dihibahkan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  • benda yang dihibahkan tersebut mestilah milik yang sempurna dari pihak penghibah, ini berarti bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang dihibahkan tersebut bukan milik sempurna dari pihak penghibah.
  • barang yang dihibahkan tersebut sudah ada dalam arti yang sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan, tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum terwujud atau belum ada.
  • barang yang dihibahkan tersebut merupakan suatu yang boleh dimiliki menurut agama, tidaklah dibenarkan menghibahkan suatu yang tidak boleh dimiliki, seperti menghibahkan minuman yang memabukkan. 
  • barang yang dihibahkan tersebut mestilah terpisah secara jelas dari harta milik penghibah.

4. Shighat.
Shighat atau “ijab dan qabul” adalah kata-kata yang dilakukan oleh orang yang melakukan hibah, karena pada hakekatnya hibah adalah semacam akad.
  • ijab, adalah kata yang diucapkan oleh penghibah.
  • qabul, adalah kata yang yang diucapkan oleh orang yang menerima hibah.


Jenis Hibah. Hibah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Wahbah Az-Zuhaili, dalam “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, menyebutkan bahwa pengertian hibah secara etimologis, hampir sama dengan pengertian sedekah, hadiah, dan athiyah. Atau dengan kata lain, berdasarkan niat atau tujuan pemberian hibah, hibah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sebagai berikut :
  • apabila pemberian barang kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti terhadap pemberian tersebut, maka pemberian tersebut dinamakan “sedekah”.
  • apabila pemberian barang kepada orang lain dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta, maka pemberian tersebut dinamakan “hadiah”.
  • apabila pemberian barang kepada orang lain dilakukan tanpa maksud yang ada pada sedekah, maka pemberian tersebut dinamakan “hibah”.
  • apabila pemberian barang kepada orang lain diberikan pada saat pemberi barang dalam keadaan sakit dan menjelang kematiannya, maka pemberian tersebut dinamakan “athiyah”.

Sedangkan Sayyid Sabiq, dalam “Fiqh Sunnah, Jilid XI”, menjelaskan bahwa pengertian hibah sebagaimana tersebut di atas merupakan pengertian hibah dalam arti khusus, dalam arti yang lebih umum, menurut Sayyid Sabiq, hibah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, sebagai berikut :
  • ibra’, yaitu menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.
  • sadaqah, yaitu menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat.
  • hadiah, yaitu menuntut orang yang diberi hibah untuk memberikan imbalan.


Kadar Hibah. Dalam satu riwayat, disebutkan :

Rasulullah SAW menyuruh kepada kami untuk bersedekah, kemudian aku mengukur hartaku, dan aku berkata: “Pada hari ini aku dapat mendahului Abu Bakar.” Lalu aku menyedekahkan setengah dari harta ku. Rasalullah SAW bersabda: “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu ?” Aku menjawab: “Aku sisakan seperti yang aku sedekahkan”. Kemudian Abu Bakar menyedekahkan semua hartanya. Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu ?” Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya.” Aku tidak dapat mendahului sesuatupun setelahnya”.” (HR. Tirmidzi)

Berkaitan dengan seberapa besar kadar hibah yang dapat dilakukan, tidak ada nash yang mengaturnya. Di kalangan ulama sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang apakah boleh seseorang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain.
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang dapat menghibahkan seluruh hartanya (tanpa batas) kepada orang lain, karena hibah tidak dijelaskan dalam nash.
  2. Sayyid Sabiq, dalam “Fiqh Sunnah, Jilid XI” menjelaskan bahwa Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian ulama mazhab Hanafi berpendapat tidak sah menghibahkan semua hartanya meskipun dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu yang wajib dibatasi tindakannya.


Manfaat Hibah. Hibah yang dilakukan oleh seseorang memiliki banyak manfaat. M. Idris Ramulyo menyebutkan bahwa hibah merupakan perbuatan yang disyaratkan oleh Islam, selain bersifat sunah, hibah juga memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah :
  • menghidupkan semangat kebersamaan dan saling tolong-menolong dalam kebaikan.
  • menumbuhkan sifat kedermawanan dan mengikis sifat bakhil.
  • menimbulkan sifat-sifat terpuji seperti saling sayang-menyayangi antar sesama manusia, ketulusan berkorban untuk kepentingan orang lain, dan menghilangkan sifat-sifat tercela seperti rakus, masa bodoh, kebencian, dan lain sebagainya.
  • pemerataan pendapatan menuju terciptanya stabilitas sosial yang mantap.
  • mencapai keadilan dan kemakmuran yang merata.

Sedangkan Mardani, dalam “Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, menyebutkan bahwa manfaat hibah adalah :
  • memberi hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yaitu penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan. Hibah yang dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu : dengki.
  • hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi dan menyayangi. Hibah atau hadiah dapat menghilangkan rasa dendam.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian hibah dalam Islam, rukun dan syarat, jenis, dan kadar hibah, serta manfaat hibah.

Semoga bermanfaat.