Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde) Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Putusan hakim oleh Sudikno Mertokusumo diartikan sebagai suatu pernyataan hakim, baik lesan atau tertulis, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, yang diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk  mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara antar pihak. Suatu konsep putusan yang tertulis tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan sebelum diucapkan oleh hakim di persidangan.

Berdasarkan sifat amar atau diktumnya, suatu putusan hakim dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
  • Putusan Declaratoir, yaitu putusan yang hanya menegaskan atau menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata.
  • Putusan Constitutief (Pengaturan), yaitu putusan yang dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
  • Putusan Condemnatoir (Menghukum), yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi prestasi.

Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde).  Sedangkan pada umumnya yang dimaksud dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan banding atau verzet, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi. Sedangkan Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan :
  • putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan tersebut, sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah petusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut, misalnya verzet, banding, dan kasasi.

Dalam Hukum Acara Pidana  dan Hukum Acara Perdata, suatu putusan dikatakan sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut :

1. Hukum Acara Pidana.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2002 tentang Grasi  yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2010 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2002 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah :
  • putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa : Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan jatuh atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
  • putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 245 ayat (1) jo. Pasal 246 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa : Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empatbelas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
  • putusan kasasi.

Pertanyaan yang sering muncul adalah dalam perkara pidana dapatkah suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap diajukan peninjauan kembali ? Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh terpidana atau orang yang dikenai hukuman dalam suatu perkara hukum terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di Indonesia. Menurut M. Yahya Harahap, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dilakukan. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi, telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.  

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu putusan perkara pidana yang dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali adalah putusan pengadilan  yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dan sudah tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi. 

Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa permintaan peninjauan kembali dapat dilakukan atas dasar antara lain :
  • apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
  • apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
  • apabila putusan  itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 

Menurut ketentuan Pasa 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 8 Tahaun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. Pengajuan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.
  
2. Hukum Acara Perdata.
Dalam penjelasan Pasal 195 HIR dijelaskan bahwa :
  • dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya, maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
  • dalam hak ini tidak ada jalan lain bagi yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantara hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan tersebut harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan putusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan banding atau kasasi.

Dalam perkara perdata, kapan peninjauan kembali dapat dilakukan ? Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan dalam Pasal 67 bahwa putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut :
  • apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
  • apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang sifatnya menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
  • apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
  • apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
  • apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
  • apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 

Pengajuan peninjauan kembali dalam perkara perdata juga tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Pengajuan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama.

Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam suatu perkara yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan, umumnya mengandung suatu sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi berupa hukuman tersebut, baik dalam Hukum Acara Perdata ataupun Hukum Acara Pidana, dalam pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu. Hanya saja yang membedakan tentang sanksi tersebut adalah dalam :
  • Hukum Acara Perdata, hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan/atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan.
  • Hukum Acaira Pidana, hukumannya berupa penjara dan/atau denda.

Demikian penjelasan berkaitan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) serta upaya hukum Peninjauan Kembali.

Semoga bermanfaat.