Eksekusi Dalam Perkara Perdata : Pengertian, Bentuk, Serta Tahapan Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Eksekusi. Eksekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara. Eksekusi termasuk tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara. Atau dengan kata lain, eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara di pengadilan.

Secara umum, eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim. Sarwono, dalam "Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik", menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan hakim baik keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. H. Zainuddin Mappong, dalam "Eksekusi Putusan Serta Merta, Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan, Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata", menjelaskan bahwa eksekusi putusan suatu pengadilan hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, yaitu, pihak yang menang. Ketua pengadilan memerintahkan untuk memanggil pihak yang kalah yang tidak bersedia memenuhi bunyi putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan oleh ketua pengadilan, paling lama delapan delapan hari.


Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa tidak semua putusan hakim dapat dimintakan eksekusi. Beberapa putusan hakim yang dapat dimintakan eksekusi adalah sebagai berikut :

1. Telah berkekuatan hukum tetap.
Yang dimaksud dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijside adalah putusan yang tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verset, banding, maupun kasasi.

2. Terdapat klausula dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
Putusan hakim yang dapat dimintakan eksekusi adalah putusan hakim yang terdapat klausula dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitvorbaar bij voorraad, meskipun terhadap putusan tersebut dimintakan banding atau verset. Putusan uitvorbaar bij voorraad diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR (Herzien Inlandsch Reglement), yang menyebutkan bahwa :

Biarpun orang membantah putusan hakim pengadilan negeri atau meminta apel, maka pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan dahulu, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan hakim yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula didalam perselisihan tentang hak milik.”

dengan mempertimbangkan Pasal 54 Rv (Reglement op de Rechtsvordering), yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan terlebih dahulu dari putusan-putusan walaupun diajukan banding atau perlawanan lain akan diperintahkan :
  • apabila putusan didasarkan akta otentik.
  • apabila putusan didasarkan akta di bawah tangan.
  • apabila telah ada penghukuman dengan suatu putusan yang tidak dapat dilawan atau dibanding lagi, diserahkan kepada kebijakan hakim untuk memberikan perintah-perintah ini dengan atau tanpa gangguan.”

dan Pasal 55 Rv, yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan terlebih dahulu dari putusan-putusan, meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan dengan atau tanpa jaminan dalam hal, antara lain :
  • segala sesuatu yang dikabulkan dengan putusan sementara;
  • hak milik.”


Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat meminta pelaksanaan eksekusi putusan hakim dengan klausula dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitvorbaar bij voorraad, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  • apabila putusan didasarkan atas akta otentik.
  • apabila putusan didasarkan atas akta di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan atau secara sah dianggap diakui, apabila perkara diputuskan dengan verstek.
  • apabila telah ada penghukuman dengan suatu putusan yang tidak dilawan atau dibanding lagi.


Sedangkan putusan hakim yang tidak perlu eksekusi, adalah putusan yang menolak suatu gugatan. Pengadilan akan menolak suatu gugatan apabila pihak penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya atau dalil-dalil yang diajukannya dapat dipatahkan oleh pihak lawan. Oleh karena itu putusan ini tidak memuat perintah kepada pihak lawan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Pada prinsipnya, hanya putusan hakim yang diktumnya bersifat “condemnatoir” saja yang dapat dimintakan eksekusi. Sedangkan putusan yang bersifat “constitutief” dan “deklaratoir” meskipun telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, tidak perlu untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat negara, karena putusan “constitutief” dan “declaratoir” tidak memuat hak atas suatu prestasi.
  • putusanconstitutief”, merupakan putusan hakim yang berfungsi menciptakan suatu keadaan yang baru. Kekuatan hukum dari putusan ini terletak pada kemungkinan bahwa pihak yang menang di kemudian hari dapat mempergunakan putusan tersebut untuk melaksanakan suatu hak dalam perkara perdata. Putusan ini tidak perlu dilaksanakan karena keadaan baru yang ditetapkan hanya keadaan baru menurut hukum, sedang keadaan yang sebenarnya sudah terjadi.
  • putusan declaratoir”, merupakan putusan hakim yang menyatakan suatu keadaan yang sah. Kekuatan hukum putusan ini terletak pada kemungkinan bahwa pihak pemohon di kemudian hari dapat mempergunakan putusan itu untuk melaksanakan suatu hak dalam perkara perdata.


Bentuk Eksekusi. Secara umum, terdaat tiga macam bentuk eksekusi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, yaitu :
  • eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, di mana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
  • eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 225 HIR, di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan.
  • eksekusi riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam HIR (kecuali eksekusi riil dalam penjualan lelang, yang diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR).

Terdapat beberapa macam “eksekusi riil” yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, terutama yang berkaitan dengan “Hak Tanggungan”, yaitu :

1. Mengosongkan benda tetap (tanah).
Dalam eksekusi ini, apabila pihak yang kalah tidak mau mengosongkan benda tetap (tanah) yang menjadi objek sengketa untuk dilakukan penjualan dengan lelang, maka Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan surat perintah kepada petugas eksekusi panitera (juru sita), agar bila perlu dengan bantuan pihak yang berwenang (polisi) untuk mengosongkan benda tetap (tanah) tersebut dari para pihak yang mendiami tanah tersebut. Eksekusi riil ini diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR dan Pasal 218 ayat (2) RBg.

2. Membayar sejumlah uang.
Eksekusi putusan hakim yang memerintahkan kepada pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang diatur dalam Pasal 197 HIR dan Pasal 208 RBg. Dalam kedua pasal tersebut, pada intinya disebutkan bahwa pihak yang kalah diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang dalam berperkara dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.

3. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pada prinsipnya, pelaksanaan putusan semacam ini tidak dapat dipaksakan, maksudnya adalah apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut, maka pihak yang menang dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri, agar perbuatan tertentu (melakukan atau tidak melakukan sesuatu) tersebut dapat dinilai dengan uang yang harus dibayarkan oleh pihak yang kalah sebagai pengganti perbuatan yang seharusnya dia lakukan.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri memutuskan pihak yang kalah untuk mengganti perbuatan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah tersebut dengan sejumlah nominal uang tertentu, selanjutnya pelaksanaan eksekusinya sama dengan pelaksanaan eksekusi yang berupa membayar sejumlah uang.


Tahapan Pelaksanaan Eksekusi. Dalam perkara perdata, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan eksekusi, yaitu sebagai berikut :

1. Pengajuan permohonan eksekusi.
Pada dasarnya pemenuhan amar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah secara sukarela. Eksekusi akan dijalankan apabila pihak yang kalah tidak menjalankan putusan dengan sukarela, yaitu dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.

2. Aanmaning.
Aanmaning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara yaitu berupa “peringatan atau teguran” kepada pihak yang kalah agar ia menjalankan isi putusan secara sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari pihak yang menang. Pihak yang kalah diberikan jangka waktu delapan hari untuk melaksanakan isi putusan terhitung sejak debitur dipanggil untuk menghadap guna diberikan peringatan. Aanmaning atau peringatan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dilakukan berdasarkan permohonan eksekusi yang diajukan oleh pihak yang menang dalam berperkara.

3. Permohonan sita eksekusi.
Setelah aanmaning dilakukan, ternyata pihak yang kalah tidak juga melakukan amar dari putusan maka pengadilan melakukan sita eksekusi terhadap harta pihak yang kalah berdasarkan permohonan dari pihak yang menang. Permohonan sita eksekusi tersebut menjadi dasar bagi Pengadilan untuk mengeluarkan “Surat Penetapan” yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan pihak yang kalah, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 197 HIR.

Penetapan sita eksekusi merupakan lanjutan dari penetapan aanmaning, yang secara umum terdapat dua macam cara peletakan sita, yaitu :
  • sita jaminan, yang mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari, barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dengan jalan lain dipindah-tangankan kepada orang lain.
  • sita eksekusi, yang mengandung arti sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam sita eksekusi harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. mendahulukan penyitaan barang bergerak. 2. baru diperkenankan menjangkau benda tetap atau tidak bergerak sepanjang harta bergerak tidak lagi mencukupi nilai jumlah yang harus dilunasi.

4. Penetapan eksekusi.
Setelah adanya permohonan sita eksekusi maka tahap selanjutnya adalah dikeluarkannya “Penetapan Eksekusi”, yang berisi perintah Ketua Pengadilan Negeri kepada panitera dan juru sita untuk menjalankan eksekusi.

5. Lelang.
Setelah Pengadilan mengeluarkan “Penetapan Eksekusi” berikut “Berita Acara Eksekusi”, maka tahap selanjutnya adalah lelang. Lelang merupakan penjualan di muka umum harta kekayaan milik pihak yang kalah yang telah disita eksekusi, atau menjual di muka umum barang sitaan milik pihak yang kalah yang dilakukan di depan juru lelang, atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang, dengan cara penjualan dilakukan dengan harga penawaran (semakin meningkat atau semakin menurun) melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan pendaftaran).

Penggunaan kantor lelang dimaksudkan agar harga yang didapat tidak merugikan pihak pemilik benda yang dilelang (pihak yang kalah atau penjaminnya) dan sesuai dengan harga yang sewajarnya di pasaran. Hasil lelang digunakan untuk membayar kewajiban yang telah ditetapkan dalam putusan hakim.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian eksekusi dalam perkara perdata, bentuk dan tahapan pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata.

Semoga bermanfaat.