Perjanjian Utang Piutang

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Perjanjian Utang Piutang. Secara umum, perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam dapat diartikan sebagai suatu bentuk perjanjian yang mengatur hubungan hukum pinjam meminjam barang yang dapat habis karena pemakaian (misalnya uang) di antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Sedangkan maksud dari utang piutang adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman yang dipinjamkan kepada penerima pinjaman, dan penerima pinjaman berkewajiban untuk mengembalikannya.

Pengaturan tentang perjanjian utang piutang tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Buku III Bab XIII Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 tentang Pinjam Pakai Habis. Dalam ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan bahwa :
  • Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.


Obyek Utang Piutang. Obyek utang piutang dapat berbentuk :

1. Uang.
Utang piutang dalam bentuk uang, diatur dalam ketentuan Pasal 1756 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Utang yang timbul karena peminjaman uang, hanya terdiri dan sejumlah uang yang digariskan dalam perjanjian. Jika sebelum utang dilunasi nilai mata uang naik atau turun, atau terjadi perubahan dalam peredaran uang yang lalu, maka pengembalian uang yang dipinjam itu harus dilakukan dengan uang yang laku pada waktu pelunasannya sebanyak uang yang telah dipinjam, dihitung menurt nilai resmi pada waktu pelunasan itu

2. Selain uang.
Sedangkan utang piutang dalam bentuk selain uang (seperti emas atau perak), diatur dalam ketentuan Pasal 1758 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Jika yang dipinjamkan itu berupa barang-barang emas atau perak, atau barang-barang lain, maka peminjam harus mengembalikan logam yang sama beratnya dan mutunya dengan yang ia terima dahulu itu, tanpa kewajiban memberikan lebih walaupun harga logam itu sudah naik atau turun.


Syarat Sahnya Perjanjian Utang Piutang. Sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian utang piutang dianggap sah menurut hukum apabila memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal.


Bentuk Perjanjian Utang Piutang. Undang-Undang dalam hal ini KUH Perdata tidak mengatur secara tegas bentuk dari perjanjian utang piutang. Sehingga perjanjian utang piutang dapat dibuat dalam bentuk tertulis ataupun tidak tertulis (lisan). 
  • Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata tersebut di atas serta ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut yang tidak mensyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian, perjanjian harus dibuat secara tertulis. Sehingga perjanjian yang dibuat secara lisan menurut hukum adalah sah dan mengikat para pihak pembuatnya selama memenuhi ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

Hanya saja dalam praktek, perjanjian utang piutang seringkali dibuat dalam bentuk tertulis. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa perjanjian utang piutang harus dibuat secara tertulis ? Alasan kenapa perjanjian utang piutang harus dibuat secara tertulis adalah :
  • untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian utang piutang tersebut. Lebih spesifik lagi adalah untuk kepentingan pembuktian jika dikemudian hari terjadi sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian atau para pihak yang berjanji.


Tujuan Pembuatan Perjanjian Utang Piutang Secara Tertulis. Perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis mempunyai tujuan untuk :
  • konfirmasi semua pihak yang terlibat. 
  • konfirmasi besarnya utang dan waktu terjadinya utang piutang.
  • menghindari terjadinya perselisihan.
  • menghindari kemungkinan terjadinya resiko.

Baca juga : Pengertian Akta Pengakuan Hutang

Sedangkan, apabila perjanjian utang piutang dibuat secara tidak tertulis (lisan) akan mempunyai banyak kelemahan, diantaranya tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian utang piutang maksudnya adalah : 
  • apabila pihak penerima pinjaman atau debitur ingkar janji atau menyangkal telah membuat perjanjian dimaksud, maka pihak pemberi pinjaman atau kreditur akan sulit membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian utang piutang. Dalam kondisi demikian, maka pihak pemberi pinjaman berisiko kehilangan uangnya atau barang yang digunakan sebagai obyek utang piutang. 


Komponen yang Harus Ada dalam Perjanjanjian Utang Piutang. Dalam pembuatan perjanjian utang piutang, baik yang dibuat dengan akta notariil atau akta bawah tangan, terdapat beberapa hal yang harus tercantum dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah :
  • data diri para pihak yang terlibat dalam perjanjian utang piutang.
  • jumlah dan tujuan utang piutang.
  • mekanisme dan jangka waktu pengembalian.
  • jaminan yang diberikan.
  • kompensasi.
  • penyelesaian perselisihan.


Permasalahan Yang Sering Muncul Dalam Perjanjian Utang Piutang. Dalam praktek utang piutang, terdapat beberapa permasalahan yang sering dihadapai terutama oleh pihak pemberi pinjaman. Permasalahan tersebut diantaranya adalah :

1. Perjanjian utang piutang dibuat secara tertulis dan tidak tertulis (lisan).
Dalam permasalahan tersebut :
  • apabila perjanjian utang piutang dibuat secara tertulis dengan akta notariil maka akan lebih mudah untuk menyelesaikannya. Karena pada umumnya, perjanjian utang piutang yang dibuat secara tertulis dengan akta notariil (dibuat oleh notaris) di dalamnya mengatur ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan apabila pihak penerima pinjaman (debitur) lalai atau wanprestasi. Selain ketentuan-ketentuan tersebut, juga akan terbit akta pengakuan utang di mana di dalamnya terdapat titel eksekutorial, yaitu "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mempunyai kekuatan hukum setara dengan keputusan hakim.  
  • apabila perjanjian utang piutang dibuat secara tertukis dengan akta di bawah tangan atau perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sendiri. Dalam hal demikian, tentunya akan membutuhkan lebih banyak waktu dalam pembuktian terjadinya perjanjian utang piutang.
  • apabila perjanjian utang piutang dibuat secara tidak tertulis (lisan). Dalam hal demikian, apabila pihak penerima pinjaman (debitur) ingkar atau wanprestasi akan sulit untuk membuktikannya. Pihak pemberi pinjaman (kreditur) harus dapat membuktikan terjadinya utang piutang, diantaranya adalah harus dapat menghadirkan saksi-saksi yang mengetahui terjadinya utang piutang yang dimaksud.


2. Melaporkan pihak penerima pinjaman (debitur) ke pihak yang berwajib.
Dalam praktek, sering kali permasalahan utang piutang, misalnya pihak penerima pinjaman (debitur) tidak membayar utangnya, tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah. Akibatnya, pihak pemberi pinjaman (kreditur) melaporkan masalah utang piutang tersebut kepada pihak yang berwajib, dengan dasar telah terjadi penggelapan (Pasal 372 KUH Pidana) dan penipuan (Pasal 378 KUH Pidana). Pertanyaannya, bolehkah hal tersebut dilakukan ? 
  • Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang seseorang melaporkan orang lain kepada pihak yang berwajib. Hanya saja yang perlu diketahui bahwa perjanjian utang piutang adalah suatu perbuatan hukum perdata, yang diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata dan secara khusus sebagai perbuatan pinjam meminjam diatur dalam ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata. Sedangkan substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. 


Selain itu, terdapat ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa :
  • Tidak seorangpun atas putusan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidak-mampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Di mana ketentuan tersebut mengandung arti bahwa walaupun terdapat laporan kepada pihak yang berwajib mengenai permasalahan utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidak-mampuannya membayar utang.


3. Penyelesaian utang yang tidak terurus. 
Penyelesaian hutang yang tidak terurus biasanya berkaitan dengan pihak penerima pinjaman/debitur yang tidak membayar utangnya dalam jangka waktu yang lama, hal tersebut biasanya terjadi karena pihak pemberi pinjaman (kreditur) mengalami suatu kondisi tertentu sehingga tidak bisa melakukan penagihan atas utangnya kepada pihak penerima pinjaman, sedangkan perjanjian utang piutang dimaksud dibuat secara tidak tertulis (lisan). 
  • Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa selama perjanjian utang piutang yang dibuat oleh para pihak, baik tertulis atau tidak tertulis, telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian utang piutang tersebut sah dan mengikat para pihak pembuatnya. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menerangkan bahawa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak, dan para pihak harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.


Apakah utang yang telah sekian lama tidak diurus tersebut dapat hapus dengan sendirinya ? Dalam hal ini undang-undang mengatur mengenai hal-hal apa saja yang dapat menghapuskan suatu perikatan. Suatu perjanjian menimbulkan suatu perikatan. Ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan  bahwa : Suatu perikatan hapus karena beberapa hal, yaitu :
  • karena pembayaran.
  • karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
  • karena pembaruan utang.
  • karena perjumpaan utang atau kompensasi.
  • karena percampuran utang.
  • karena pembebasan utang.
  • karena musnahnya barang yang terutang.
  • karena kebatalan atau pembatalan.
  • karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I KUH Perdata.
  • karena lewat waktu.


Dalam hal hapusnya perikatan karena lewatnya waktu, maka hal tersebut tunduk kepada ketentuan Pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
  • Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tigapuluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.


Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa semua tuntutan hukum (termasuk perjanjian utang piutang) tidak menjadi hapus karena tidak adanya ketentuan waktu dalam perjanjian atau tidak adanya perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis atau hapus karena lewatnya waktu kecuali sudah melewati jangka waktu tigapuluh tahun sejak perjanjian tersebut dibuat. Sehingga untuk menyelesaikan utang yang tidak terurus tersebut, yang harus dilakukan adalah :
  • selesaikan terlebih dahulu secara kekeluargaan.
  • apabila pihak penerima pinjaman (debitur) tidak juga memenuhi kewajibannya, maka berikan peringatan secara tertulis (somasi) kepada pihak penerima pinjaman (debitur) tersebut agar segera memenuhi kewajibannya, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata, yang berbunyi : "Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan".
  • apabila setelah diberikan surat peringatan (somasi) tersebut, pihak penerima pinjaman (debitur) tidak juga memenuhi kewajibannya, maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan gugatan secara perdata atas dasar wanprestasi karena pihak penerima pinjaman (debitur) tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian utang piutang yaitu tidak mengembalikan uang yang telah dipinjamnya dari pihak pemberi pinjaman (kreditur).

Demikian penjelasan berkaitan dengan perjanjian utang piutang.

Semoga bermanfaat.