Pengertian Akta Pengakuan Hutang. Secara umum, akta pengakuan hutang dapat diartikan sebagai suatu akta yang berisikan pengakuan hutang sepihak dari debitur (pihak yang berhutang), di mana debitur tersebut mengakui bahwa dirinya telah menerima sejumlah uang sebagai hutang dari kreditur (pihak yang memberikan hutang) dan debitur berjanji atau berkewajiban untuk membayar kembali uang yang telah diterimanya tersebut kepada kreditur dengan jumlah dan waktu pengembalian uang yang pasti (tetap).
Menurut J. Satrio, akta pengakuan hutang harus memenuhi syarat-syarat, berisi pengakuan murni, pernyataan sepihak dan besar utang yang pasti. Sedangkan Fockema Andreas berpendapat bahwa akta pengakuan hutang merupakan suatu pernyataan sepihak yang ditandatangani, yang berisikan pengakuan hutang sejumlah uang, dengan syarat-syarat yang dibuat menurut keinginan, dan harus dibubuhi materai.
Akta pengakuan hutang merupakan akta turunan atau ikutan dari suatu perjanjian. Sehingga akta pengakuan hutang tidak berdiri sendiri, harus ada peristiwa awal sebagai dasar terbitnya akta pengakuan hutang tersebut. Peristiwa awal dimaksud merupakan suatu perjanjian pokok, baik yang dibuat secara tertulis seperti perjanjian kredit, maupun dari suatu kesepakatan lain yang didasarkan pada alat bukti tertulis seperti misalnya kuitansi penerimaan pembayaran atau bukti penyerahan barang.
Dapatkah akta pengakuan hutang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan ? Pada prinsipnya akta pengakuan hutang dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, hanya saja akta pengakuan hutang tersebut akan tidak mempunyai kekuatan segera dieksekusi apabila debitur wanprestasi atau lalai. Sedangkan seperti diketahui bersama, tujuan dibuatnya akta pengakuan hutang adalah untuk kepentingan kreditur, dengan maksud apabila debitur wanprestasi atau lalai hutang dapat segera dieksekusi, artinya segera dapat ditagih atau dibayarkan tanpa perlu adanya putusan pengadilan sebagai perintah terhadap debitur untuk melaksanakan kewajibannya dalam pelunasan hutang.
Baca juga : Surat Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan
Sehingga untuk menjamin kepentingan kreditur, sebagaimana disebutkan di atas, akta pengakuan hutang sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah notaris.
- Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut peraturan undang-undang oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu. Ketentuan Pasal 165 HIR (Herzein Inlandsch Reglement) menyebutkan bahwa : "Surat (akta) yang sah ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu".
Baca juga : Pengertian Akta, Kekuatan Pembuktian Akta Serta Perbedaannya (Akta Bawah Tangang Dan Akta Otentik)
Akta pengakuan hutang yang dibuat dengan akta otentik oleh pejabat pembuatnya (notaris) akan diterbitkan suatu grosse akta pengakuan hutang untuk kepentingan dan diberikan kepada pihak kreditur.
- Grosse akta pengakuan hutang adalah salinan dari suatu akta pengakuan hutang notariil yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan. Grosse akta pengakuan hutang merupakan salinan dari suatu minuta yang tetap ada atau disimpan di tempat pejabat (notaris) yang mengeluarkan grosse akta pengakuan hutang tersebut. Satu grosse akta mencantumkan irah-irah (titel eksekutorial) "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai kekuatan eksekutorial, maksudnya adalah apabila pihak debitur melakukan wanprestasi, maka pihak kreditur dapat langsung memohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri tanpa melalui proses gugatan perdata.
Dengan demikian, jelas bahwa akta pengakuan hutang yang dibuat dengan akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, baik secara formal maupun material. Berbeda dengan akta pengakuan hutang yang dibuat di bawah tangan, di mana sifat pembuktian yang sempurna dari akta pengakuan hutang yang dibuat di bawah tangan tersebut hanya akan muncul bila telah diakui oleh para pihak.
Baca juga : Perjanjian Utang Piutang
Syarat Grosse Akta. Untuk dapat diterbitkan suatu grosse akta, akta pengakuan hutang yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan sebagai grosse akta. Ketentuan mengenai grosse akta diatur di dalam Pasal 224 HIR, di mana di dalamnya mengatur bahwa suatu grosse akta harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Syarat Formil Grosse Akta.
Syarat formil dari suatu grosse akta adalah :
- berbentuk akta notariil.
- memuat titel eksekutorial.
Pada kepala akta yang dibuat dituliskan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sedangkan pada bagian akhir akta tercantum kalimat yang intinya adalah "sebagai grosse pertama diberikan atas permintaan kreditur".
2. Syarat Materiil Grosse Akta.
Syarat materiil dari suatu grosse akta adalah memuat rumusan pernyataan sepihak dari debitur, yang intinya :
- pengakuan hutang kepada kreditur.
- pengakuan kewajiban membayar sejumlah uang yang pasti dalam waktu yang telah ditentukan kepada kreditur.
Sejumlah uang yang pasti (hutang) yang harus dibayarkan oleh debitur adalah meliputi hutang pokok dan bunga (ganti rugi).
Baca juga : Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht van Gewijsde) Serta Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Berdasarkan persyaratan dari grosse akta tersebut, maka terdapat dua macam grosse akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu :
- Grosse akta pengakuan hutang.
- Grosse akta hipotik (Akta Pemberian Hak Tanggungan).
Apabila suatu grosse akta telah memenuhi ketentuan atau syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR tersebut, maka grosse akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (notaris) mempunyai kekuatan eksekutorial seperti halnya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan berpegang pada grosse akta tersebut, pihak kreditur dapat langsung memohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri, tanpa melalui proses gugatan perdata terhadap harta kekayaan debitur. Dan sebaliknya, apabila grosse akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (notaris) tidak memenuhi ketentuan atau syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR tersebut, maka grosse akta tersebut cacat yuridis, akibatnya adalah grosse akta dimaksud tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak debitur melakukan wanprestasi atau lalai atas kewajibannya maka pihak kreditur tidak dapat langsung mengajukan eksekusi terhadap harta kekayaan debitur. Dalam kondisi demikian, untuk menuntut haknya pihak kreditur harus mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan.
Apakah perjanjian kredit dapat dibuat dalam bentuk pengakuan hutang ? Jawaban dari pertanyaan tersebut ditegaskan dalam fatwa dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tertuang dalam :
- Surat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor : 213/229/85/Um-TU/Pdt, tanggal 16 April 1985 yang menyebutkan bahwa pengertian grosse pengakuan hutang menurut Pasal 224 HIR adalah suatu akta autentik yang berisi pengakuan hutang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu.
- Surat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor : 133/154/86/Um-Tu/Pdt, tanggal 18 Maret 1986 yang pada intinya menyebutkan bahwa perjanjian kredit tidak dapat dibuat dalam bentuk pengakuan hutang.
Baca juga : Tugas Dan Kewajiban Mahkamah Agung
Berdasarkan dua fatwa dari Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut, grosse akta pengakuan hutang haruslah murni, dibuat tersendiri, dan tidak boleh ditambahkan persyaratan-persyaratan lain, terlebih lagi persyaratan-persyaratan tersebut berbentuk perjanjian (perjanjian kredit).
- Apabila suatu grosse akta pengakuan hutang dicampuradukkan dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam perjanjian kredit, seperti mengenai suku bunga, denda (pinalti), pengakhiran jangka waktu pinjaman, dan lain-lain, maka dengan sendirinya menghilangkan kepastian bentuk grosse akta pengakuan hutang sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan Pasal 224 HIR (Herzein Inlandsch Reglement). Hal tersebut berakibat grosse akta pengakuan hutang dimaksud mengandung cacat yuridis, tidak sah sebagai suatu grosse akta, dan kehilangan executorial kracht serta menjadikannya sebagai grosse akta yang non executable.
Baca juga : Menjalankan Putusan Hakim (Eksekusi)
Pada prinsipnya, akta pengakuan hutang merupakan suatu instrumen hutang, yang dari sisi kepentingan kreditur, akta pengakuan hutang tersebut seharusnya dapat segera digunakan untuk mengeksekusi harta kekayaan debitur guna memenuhi kewajiban pembayaran atau pelunasan seluruh jumlah hutang yang wajib dibayar oleh debitur kepada kreditur.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian akta pengakuan hutang.
Semoga bermanfaat.