Masyarakat adat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Di Indonesia terdapat beberapa susunan masyarakat adat yang pada masing-masing daerah berlainan dan mempunyai keunikan tersendiri, di antaranya adalah sebagai berikut :
Di kalangan masyarakat Jawa, yang kehidupan kewargaan desanya berdasarkan ikatan territorial (ketatanegaraan) maka susunan kemasyarakatan pada masyarakat adat Jawa dibedakan berdasarkan tingkatan sosial ekonominya menurut harta kekayaan yang dimiliki setiap keluarga somah (serumah, keluarga batih), yaitu :
- Kuli Kenceng, adalah mereka yang keturunan pembangun desa dengan memiliki bangunan rumah dan tanah pekarangan, serta tanah pertanian (sawah) yang luas. Golongan ini berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
- Kuli Gundul, adalah mereka yang hanya mempunyai bangunan dan tanah pekarangan saja. Golongan ini merupakan pembantu dari golongan kuli kenceng.
- Tiang Numpang, adalah mereka yang tidak mempunyai hak milik apa-apa, dan hanya menjadi buruh tani atau membantu kehidupan keluarga majikan yang ditumpanginya.'
2. Masyarakat Adat Batak.
Di tanah Batak, susunan masyarakatnya dipengaruhi berdasarkan ikatan genealogis patrilinial, dengan pertalian kekerabatan "tungku tiga" yang disebut "Dalihan na tolu" di Toba atau "Singkep si Telu" di Karo, yang terdiri dari :
Susunan demikian dikarenakan ada larangan perkawinan semarga. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh kerapatan adat para raja adal wakil dari dalihan na tolu, tapi marga hula-hula dikarenakan ia adalah marga pemberi dara (wanita), sebagai marga tertua, yang menguasai tanah, maka yang menempati kedudukan terhormat adalah marga hula-hula sebagai marga tanah. Begitu juga dalam pemerintahan adat, marga hula-hula adalah marga raja sebagai raja yang memerintah. Sedangkan Marga Dongan Tubu yang menjadi Marga Boru, merupakan golongan yang kedua, karena kedudukannya sebagai marga menantu, marga penerima dara, maka dalam pelaksanaan pemerintahan adat bertindak sebagai pembantu dari pihak marga hula-hulanya. Begitu juga jika ada lagi pendatang baru yaitu Marga Parippe (marga penumpang), kesemuanya tunduk menghormati Marga Hula-hula.
3. Masyarakat Adat Minangkabau.
Di Minangkabau susunan masyarakat nagarinya dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang genealogis matrilinial, dengan hukum adatnya yang "bermamak kemenakan" dan terikat pada satu kesatuan rumah gadang (rumah kerabat). Tingkat kedudukan para kemenakan pada masyarakat adat Minangkabau dibedakan, antara :
- Kemenakan batali darah, yaitu kemenakan yang sekandung dari ibu, yang berhak dan berperan sebagai mamak kepala waris, tungganai, dan penghulu.
- Kemenakan batali adat, yaitu kemenakan yang diangkat yang berasal dari keluarga lain, dan hanya dapat menggantikan kedudukan sebagai mamak atau penghulu apabila kemenakan batali darah sudah tidak ada lagi yang dapat menggantikannya.
- Kemenakan batali emas atau batali budi, yaitu kemenakan yang diakui sebagai kemenakan karena baik budi.
- Kemenakan di bawah lutui, yaitu kemenakan yang diasuh karena diperlukan tenaganya, yang asal-usulnya tidak jelas enatah dari mana.
4. Masyarakat Adat Lampung.
Susunan masyarakat adat Lampung dibedakan antara :
- Golongan Kepunyimbangan Bumi atau Marga, yang bernilai harga diri 24.
- Golongan Kepunyimbangan Ratu atau Tiyuh, yang bernilai harga diri 12.
- Golongan Kepunyimbangan Raja atau Suku, yang bernilai harga diri 6
- Golongan warga biasa dan beduwa (budak), yang tidak bernilai harga diri.
Tingkatan susunan masyarakat kepunyimbangan (kepemimpinan penerus keturunan) tersebut, sekarang sudah semakin ditinggalkan.
5. Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan.
Di kalangan masyarakat adat Dayak Ngaju, membedakan warga desanya menjadi :
- Warga desa yang merdeka, yang disebut Utus Gantong (kaum bangsawan), Utus Tatau (kaum kaya), Utus Rendah atau Utus Pehebelum (kaum miskin).
- Warga desa yang tidak merdeka, yaitu kaum budak yang disebut "Rewar" atau budak milik orang lain dan atau "Japen" yaitu budak yang mengabdi kepada seseorang karena hutangnya belum lunas.
6. Masyarakat Adat Bugis dan Makasar.
Di Sulawesi Selatan, di kalangan masyarakat Bugis dan Makasar juga terdapat susunan masyarakat adat yang terdiri dari :
- Anak Karung (Bugis) dan Akan Karaeng (Makasar), yaitu golongan bangsawan.
- Tomaradeka (Bugis) dan Tumaradeka (Makasar), yaitu orang-orang yang merdeka.
- Ata, yaitu golongan budak, asal keturunan tawanan perang atau karena belum melunasi hutang atau karena melanggar peraturan adat.
7. Masyarakat Adat Minahasa.
Di Sulawesi Utara, di kalangan masyarakat Minahasa, dikenal juga susunan masyarakat adat yang terdiri dari :
- Makarua siou atau Walian atau Tonaas, yaitu golongan agama yang tertinggi.
- Paedon tua atau Pamatuan, yaitu golongan menengah atau golongan yang memerintah, yang terdiri dari para panglima (teterusan) dan prajurit (waranei).
- Pasiowan telu, yaitu golongan orang biasa.
8. Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur.
Di Nusa Tenggara Timur, misalnya di Pulau Sawu, di kenal susunan masyarakat adat yang terbagai menjadi tiga golongan keturunan, yaitu :
- Do Haba, yaitu keturunan leluhur yang tua.
- Do Mahara, yaitu keturunan leluhur kedua.
- Do Liae, yaitu keturunan leluhur bungsu.
9. Masyarakat adat Hindu Bali.
Di lingkungan masyarakat adat Hindu Bali, masyarakatnya tersusun dalam empat kasta, yaitu :
- Brahmana, adalah golongan pendeta.
- Ksatria, adalah golongan bangsawan.
- Waisya, adalah golongan pedagang.
- Sudra, adalah orang-rang 'jaba'
Kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya disebut "triwangsa"
Susunan masyarakat adat di Indonesia tersebut, sampai sekarang masih ada yang masih dipertahankan dan banyak juga yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Demikian penjelasan berkaitan dnegan susunan masyarakat adat di Indonesia. Tulisan tersbeut bersumber dari buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.
Semoga bermanfaat
Demikian penjelasan berkaitan dnegan susunan masyarakat adat di Indonesia. Tulisan tersbeut bersumber dari buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.
Semoga bermanfaat