Masyarakat adat merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Bentuk dan susunan para anggota dari masyarakat adat terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan genealogis.
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur tentang harta perkawinan. Pengaturan harta perkawinan dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 diatur dalam ketentuan :
- harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
2. Pasal 36, yang menyebutkan bahwa :
- harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
- harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Baca juga : Hukum Adat Waris
Jadi menurut hukum perkawinan nasional di dalam ikatan perkawinan terdapat dua macam harta, yaitu :
- Harta pencarian yaitu harta yang diperoleh suami atau isteri dalam masa perkawinan. Di kalangan masyarakat Jawa harta pencarian disebut gono gini, di Minangkabau disebut rarta suarang, di Kalimantan Selatan disebut harta perpantangan, di Bugis disebut cakkara, di Bali disebut druwe gabro.
- Harta bawaan yaitu harta yang dibawa ke dalam perkawinan atau yang diperoleh setelah perkawinan sebagai warisan atau pemberian/hibah/hadiah dari orang tua atau kerabat. Di kalangan masyarakat Jawa harta bawaan disebut gawan atau gana, di Lampung disebut sesan, di Sulawesi Selatan disebut sisila, di Daya Ngaju disebut pimbit, di Bali disebut babak tan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum perkawinan nasional mendekati bentuk keluarga/rumah tangga yang mandiri dan bersifat parental. Namun tidak tertutup kemungkinan mengenai harta bawaan bagi masyarakat adat kekerabatan yang patrilinial ataupun matrilinial, oleh karenanya, dalam perundang-undangan dikatakan, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Sedangkan menurut hukum adat mengenai kedudukan harta perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku, dan jenis hartanya, misalnya :
1. Pada masyarakat adat yang susunannya patrilinial.
Pada masyarakat adat yang susunannya patrilinial dan perkawinan yang terjadi dalam bentuk perkawinan dengan pembayaran jujur, di mana isteri kedudukannya tunduk pada hukum kekerabatan suami, maka pada umumnya semua harta perkawinan dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga/rumah tangga dan dibantu oleh isteri sebagai ibu keluarga/rumah tangga. Dalam masyarakat patrilinial tidak ada pemisahan kekuasaan terhadap harta bersama dan harta bawaan dalam kehidupan keluarga/rumah tangga. Jika terjadi perceraian dan isteri meninggalkan tempat kedudukan suaminya berarti isteri melanggar adat, dan ia tidak berhak menuntut bagian dari harta bersama ataupun terhadap harta bawaannya, ataupun juga membawa anaknya pergi dari tempat kediaman suaminya.
2. Pada masyarakat adat yang susunannya matrilinial.
Pada masyarakat adat yang susunannya matrilinial, dan bentuk perkawinan yang berlaku adalah semanda (tanpa membayar jujur) maka terdapat pemisahan kekuasaan terhadap harta perkawinan, yaitu :
- Kekuasaan terhadap harta pusaka milik bersama kerabat dipegang oleh Mamak Kepala Waris, sedangkan isteri dan suami dalam hal ini hanya mempunyai hak 'ganggam bauntuik' yaitu hak mengusahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang tanah serta hak mendiami terhadap rumah gadang.
- Terhadap harta pencarian (harta suarang) mereka, suami isteri secara bersama menguasainya.
- Terhadap harta bawaan masing-masing dikuasai oleh masing-masing suami atau isteri.
3. Pada masyarakat adat yang susunannya parental.
Tentang harta perkawinan, pada masyarakat adat yang susunananya parental di mana kedudukan antara suami dan isteri sejajar, maka :
- Harta bersama dikuasai bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama antara suami dan isteri.
- Harta bawaan dikuasai oleh suami dan isteri masing-masing.
Baca juga : Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan Dan Sebab Terjadinya Warisan Dalam Islam
Kecuali dalam hal perkawinan kedudukan suami dan isteri tersebut tidak sejajar, misalnya dalam hal perkawinan 'manggih kaya' di Jawa, di mana suami lebih kaya dari isteri, harta gono gini dikuasai oleh suami sendiri. Atau dalam perkawinan 'nyalindung kagelung' di tanah Sunda, harta guna kaya dikuasai oleh pihak isteri, sedangkan kedudukan suami hanya mengabdi untuk kepentingan isteri.
Demikian penjelasan berkaitan dengan harta perkawinan dalam masyarakat adat. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.
Semoga bermanfaat.