Akibat Putusnya Perkawinan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam hal putusnya perkawinan, ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena :
  • Kematian.
  • Perceraian
  • Atas keputusan Pengadilan.


Baca juga : Hukum Adat Waris

Akibat Putusnya Perkawinan. Sebagai akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian, ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974  menyebutkan bahwa : Akibat putusannya perkawinan karena perceraian adalah :
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamna ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka Pengadilan memberi keputusannya
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Baca juga : Hukum Adat Kekerabatan

Sedangkan mengenai  harta dalam perkawinan, diatur sebagai berikut :
  • Harta bersama apabila terjadi perceraian, ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa : "Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing".
  • Harta bawaan  dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974  menyebutkan bahwa :  "Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain".
Perkataan "hukumnya masing-masing" sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tersebut,  adalah berarti hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tersebut sesuai dengan keadaan kehidupan keluarga atau rumah tangga yang mandiri dan bersifat parental, yang metrupakan kecenderungan keluarga Indonesia modern. Hanya saja dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga yang masih dipengaruhi adat kekerabatan yang akrab, masih nampak adanya pengaruh hukum adat lama, terutama di kalangan masyarakat patrilinial dan matrilinial, atau barangkali juga masyarakat yang bersifat bilateral atau juga yang alternerend
Dalam kehidupan keluarga/rumah tangga yang masih dipengaruhi adat kekerabatan, putusnya perkawinan masih kuat dipengaruhi oleh hukum adat, misalnya :

1. Pada masyarakat yang bersifat patrilinial.
Pada masyarakat yang bersifat patrilinial, yang mengharamkan terjadinya perceraian, maka putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah tanggung jawab kerabat pihak suami terhadap anak dan isteri dari anggota keluarga/rumah tangga seketurunan ayah, kakek, dan seterusnya ke atas. Oleh karena anak seseorang di dalam satu keturunan berarti juga anak dari saudara bapaknya yang lain, begitu juga pemeliharaan terhadap janda dari saudara laki-laki yang meninggal, jika ia belum bersuami lagi atas persetujuan semua saudara almarhum suaminya. Walaupun pada kenyataannya, banyak terjadi yag mengambilalih pengurusan anak yatim atau janda adalah pihak saudara wanita atau ibu atau juga anggota kerabat yang lain atau barangkali ibu si anak mengurus anaknya sampai dapat mandiri tanpa bantuan dari saudara suaminya, namun kedudukan pertanggungjawabannya tetap atas nama dari kerabat ayah si anak.

2. Pada masyarakat yang bersifat matrilinial.
Pada masyarakat yang bersifat matrilinial, putusnya perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah tanggung jawab 'mamak' di Minangkabau terhadap kemenakan atau Payung Jurai di Semendo terhadap kemenakannya, atau para kelana di Lampung pesisir terhadap kemenakannya. Walaupun dalam kenyataan ada kalanya yang turun tangan dalam tanggung jawab terhadap kemenakan tersebut bukan pihak ibu, melainkan pihak ayah, dikarenakan saudara-saudara dari pihak ibu berekonomi lemah.

3. Pada masyarakat yang bersifat parental.
Pada masyarakat yang bersifat parental, pertanggungjawaban pengurusan dan pemeliharaan anak atau janda ada pada pihak suami (ayah) atau pihak isteri (ibu), tergantung pada keadaan dan kemampuan serta kesediaan dari kerabat bersangkutan.

Baca juga : Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan Dan Sebab Terjadinya Warisan Dalam Islam

Demikian penjelasan berkaitan dengan akibat putusnya perkawinan. Tulisan tersebut bersumber dari  buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.

Semoga bermanfaat.