Hukum Adat Pada Jaman Jepang

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Setelah selama ratusan tahun Indonesia dijajah Belanda, hukum yang berlaku di wilayah Indonesia telah banyak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut, sedikit banyak juga berpengaruh dan mempengaruhi hukum adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia.

Awal tahun 1940-an meletuslah perang dunia II, pemerintah Jepang mulai menguasai wilayah Asia Pasifik, tidak terkecuali dengan Indonesia. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer di bawa Jepang ke Taiwan. Sejak itulah selama hampir tiga setengah tahun Jepang berkuasa di Indonesia. Pemerintahan Jepang di Indonesia yang hanya seumur jagung tersebut, ternyata sangat mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat Indionesia pada umumnya, termasuk juga adat dan budaya yang berlaku. Sampai pada waktunya, yaitu tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu, setelah Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. 

Sewaktu pendudukan Jepang yang relatif singkat tersebut, mengandung arti yang penting bagi perubahan masyarakat Indonesia, yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan nilai budaya dan pergeseran-pergeseran atau perubahan dalam hukum adat. Kehidupan ekonomi rakyat yang sulit, sifat perilaku militer Jepang yang kasar, rakyat diharuskan untuk melakukan kerja paksa (romusha) untuk membangun lapangan udara, lubang-lubang perindungan, tempat-tempat pertahanan Jepang, para pemuda dilatih menjadi Heiho (pembantu militer) atau gyu-gun (tentara sukarela, peta), wanita dan gadis-gadis terpaksa bekerja di kantor-kantor dann perusahaan Jepang, dan tidak sedikit yang kehilangan kehormatannya. Hal tersebutlah yang membuat tatanan kehidupan masyarakat Indonesia waktu itu menjadi banyak berubah.

Selama pemerintahan Jepang pada umumnya yang berlaku adalah hukum militer, sedangkan hukum perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat perhatian sama sekali. Barulah mendekati tahun 1945, setelah pemerintah Jepang mulai menyadari kalau posisinya di semua wilayah mulai terdesak oleh pasukan sekutu, dan kekalahan perang tinggal menunggu waktu, Pemerintah pendudukan  Jepang mulai berbaik hati. Mereka mulai membolehkan bendera merah putih dikibarkan disamping bendera Hinomaru-nya Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang mulai mengundang dan mengumpulkan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia guna membicarakan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dengan begitu seolah-olah pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Pada tanggal 28 Mei 1945, pemerintah Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat, yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna kemerdekaan bangsa Indonesia. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini tidak berumur lama, karena oleh tokoh-tokoh pergerakan Indonesia badan ini diganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada salah satu sidangnya, melalui pidato Mohamad Yamin dan  Soekarno, menelurkan gagasan yang nantinya menjadi dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Sampai pada akhirnya para pejuang Indonesia mendengar kabar, bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu, maka tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan desakan para pemuda Indonesia, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang benar-benar murni dari hasil perjuangan rakyat Indonesia, bukan hasil dari pemberian pemerintah Jepang.

Jadi,  selama  pemerintahan  Jepang,   dari  tahun  1942 - 1945,   hukum  adat  di Indoensia  tidak mengalami perkembang sama sekali, selama pemerintahan pendudukan Jepang, hukum adat di Indonesia bisa dikatakan telah mati suri, bahkan dapat dianggap, pada jaman itu  hukum  adat   tidak berlaku di Indonesia, digantikan dengan hukum militer pemerintahan Jepang. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum adat pada jaman jepang.

Semoga bermanfaat.