Gugatan Dalam Hukum Perdata : Pengertian, Jenis, Tujuan, Formulasi, Dan Prinsip Dalam Penyusunan Gugatan, Serta Alasan Tidak Diterimanya Gugatan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Gugatan. Dalam hukum perdata, yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Sudikno Mertokusumo, dalam "Hukum Acara Perdata Indonesia", menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).

Gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
  • secara tertulis.
  • secara lisan. Gugatan yang diajukan secara lisan dilakukan jika penggugat tidak dapat membaca dan menulis, yang kemudian atas permintaan ketua Pengadilan, gugatan dimaksud oleh dituangkan dalam bentuk tertulis. Yang perlu diperhatikan bahwa pengajuan gugatan secara lisan tidak boleh dikuasakan.


Jenis Gugatan. Gugatan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. M. Yahya Harahap, dalam "Hukum, Acara Perdata", menyebutkan bahwa dalam perkara perdata terdapat dua jenis gugatan, yaitu :

1. Gugatan Voluntair.
Gugatan voluntair merupakan suatu permasalahan perdata dalam bentuk permohonan. Dalam ketentuan Pasa 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair.”

Ciri-ciri gugatan voluntair adalah sebagai berikut :
  • masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.
  • gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
  • tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.
  • para pihak disebut pemohon dan termohon.

2. Gugatan Contentius.
Gugatan contentious merupakan suatu permasalahan perdata yang berbentuk gugatan. Dalam penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 35 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan voluntair, juga menyelesaikan gugatan contentious.”

Ciri-ciri gugatan contentious adalah sebagai berikut :
  • masalah yang diajukan adalah penuntutan suatu hak atas sengketa antara seseorang atau badan hukum dengan seseorang atau badan hukum yang lain.
  • adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
  • terdapat lawan atau pihak lain yang bisa ikut diseret dalam gugatan ini.
  • para pihak disebut penggugat dan tergugat.

Baca juga : Putusan Provisi

Tujuan Gugatan. Menurut John Z. Loudoe, dalam "Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek", menyebutkan bahwa tujuan gugatan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :
  • dalam arti luas dan abstrak, tujuan dari gugatan adalah menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata.
  • dalam arti sempit, tujuan dari gugatan adalah untuk memperoleh perlindungan hukum dengan bantuan penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan oleh seseorang tertentu melalui saluran-saluran yang sah, dan untuk memperoleh apa yang menjadi “haknya” dengan suatu putusan hakim.


Formulasi Gugatan. Yang dimaksud dengan formulasi gugatan adalah perumusan suatu gugatan yang dianggap memenuhi syarat formal menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa hal-hal yang harus dirumuskan dalam gugatan diantaranya adalah :

1. Ditujukan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif.
Secara formal, gugatan harus ditujukan dan dialamatkan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relative sebagaiman dimaksud dalam ketentuan Pasal 118 HIR. Apabila gugatan tidak sesuai dengan kompetensi relative atau salah alamat, maka :
  • mengakibatkan gugatan mengandung cacat formal, karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepad pengadilan yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.
  • gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Diberi tanggal.
Ketentuan undang-undang tidak menyebutkan dalam gugatan harus mencantumkan tanggal. Tetapi pencantuman tanggal gugatan diperlukan berkaitan dengan proses administrasi dan pelaksanaan persidangan harus dilakukan.

3. Ditanda-tangani penggugat atau kuasa.
Surat gugatan yang diajukan ke pengadilan harus ditanda-tangani oleh penggugat atau kuasanya, hal tersebut sebagai syarat formal suatu gugatan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR. Apabila penggugat tidak mampu melakukan penandatanganan, maka tanda tangan bisa digantikan dengan cap jempol atau cap ibu jari tangan. Hanya saja agar benar-benar sah menggantikan tanda tangan, maka cap jempol tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang (camat, hakim, atau panitera). Apabila hakim menemukan cap jempol yang belum dilegalisir dalam surat gugatan, maka :
  • hakim menyatakan gugatan cacat formal, atas alasan cap jempol tidak dilegalisir.
  • hakim memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk melegalisir dahulu.

4. Identitas para pihak.
Penyebutan identitas dalam gugatan merupakan syarat formal keabsahan gugatan. Gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebutkan identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Identitas para pihak yang disebut dalam gugatan diantaranya meliputi : nama lengkap, umur, agama, pekerjaan, dan alamat atau tempat tinggal.

5. Posita.
Posita atau fundamental petendi adalah dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Posita berisi tentang keadaan atau peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugatan.

6. Petitum.
Petitum merupakan syarat formulasi gugatan. Petitum adalah tuntutan yang diminta oleh penggugat agar dikabulkan oleh hakim.


Prinsip Dalam Penyusunan Gugatan. Tidak ada pedoman yang baku tentang teknik menyusun gugatan, hal tersebut dikarenakan banyaknya perkara yang berbeda-beda dan selera penggugat atau kuasa penggugat dalam menyusun surat gugatan. Oleh karena tidak semua permasalahan dapat diajukan ke muka pengadilan, maka Hukum Acara Perdata memberikan beberapa prinsip dasar dalam menyusun gugatan perdata, yaitu :

1. Harus ada dasar hukum.
Gugatan yang diajukan harus memuat dasar hukum mengenai perkara yang diajukan. Suatu gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim, karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya.

2. Adanya kepentingan hukum.
Harus ada kepentingan hukum secara langsung untuk pengajuan suatu gugatan atas perkara atau sengketa yang terjadi.

3. Merupakan suatu sengketa.
Sengketa merupakan sebagian dari perkara, tetapi suatu sengketa belum tentu perkara. Sedangkan perkara adalah dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan ;
  • dalam perselisihan, berarti ada sesuatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta yang disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesainnya perlu lewat pengadilan sebagai instansi yang berwenang.
  • tidak ada perselisihan, berarti tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak diminta putusan
  • pengadilan, melainkan hanya penetapan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua pihak. Tindakan hakim yang demikian disebut “jurisdictio volutaria”.

4. Dibuat dengan cermat dan terang.
Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang. Dengan kata lain, surat gugatan tidak boleh “obscuur libel”, maksudnya tidak boleh kabur, baik mengenai pihak-pihaknya, obyek sengketanya, dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugatan.

5. Memahami hukum formal dan material.
Penguasaan hukum formal sangat berguna di dalam Menyusun gugatan karena menyangkut langsung hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan. Hukum formal bertujuan untuk menegakkan hukum meteriil dalam sidang pengadilan. Oleh karenanya, pemahaman tentang hukum material juga diperlukan dalam menyusun gugatan, karena hal itu sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan.


Alasan Tidak Diterimanya Gugatan. Gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan, dapat diterima ataupun tidak diterima (ditolak) oleh pengadilan. Terdapat beberapa alasan, suatu gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelij verklanard) oleh pengadilan, yaitu :

1. Gugatan tidak berdasarkan hukum.
Gugatan yang dibuat dengan tidak berdasarkan pada hukum akan tidak diterima oleh pengadilan. Hal tersebut umumnya disebabkan karena :
  • legal standing gugatan atau gugatan tersebut tidak ditanda-tangani atau dibubuhi cap jempol dan tidak dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
  • masalah yang dipersengketakan adalah sudah terjadi sangat lampau dan sudah terselesaikan (kadaluwarsa), atau masalah itu belum terjadi tapi dipersengketakan (prematur).

2. Gugatan error in persona.
Gugatan error in persona maksudnya adalah gugatan yang salah orang atau terjadi kesalahan dalam menyebut para pihak. Hal tersebut dapat menyebabkan gugatan tidak diterima. Beberapa hal yang menyebabkan error in persona, diantaranya adalah :
  • kesalahan penggugat dalam menuliskan identitas para pihak, seperti : nama lengkap dan alamat tempat tinggal para pihak.
  • kesalahan penggugat dalam menyeret pihak lain seperti kurangnya menyebut para pihak dalam masalah waris.

3. Gugatan obscuur libel.
Gugatan obscuur libel maksudnya adalah gugatan yang tidak jelas atau tidak terang. Hal tersebut akan berakibat tidak diterimanya gugatan. Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat ditentukan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut :
  • posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (recht grond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya.
  • tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan objek sengketa. 
  • penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. 
  • terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum.
  • petitum tidak terinci, tapi hanya berupa kompositur atau ex aequo et bono.

4. Gugatan tidak sesuai kompetensi absolut dan relatif.
Gugatan tidak sesuai kompetensi absolut dan relatif maksudnya adalah gugatan yang dilakukan oleh penggugat diajukan kepada pengadilan yang salah dan tidak sesuai dengan kompetensi absolut dan relative, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 118 HIR.

5. Gugatan nebis in idem.
Gugatan nebis in idem maksudnya adalah gugatan yang diajukan sama dengan gugatan sebelumnya dan perkara dimaksud sudah diputus. Gugatan yang demikian akan tidak diterima oleh pengadilan.


Terhadap gugatan yang tidak diterima (niet onvankelij verklanard) tersebut, pengadilan berkewajiban memutuskan bahwa perkara dimaksud tidak dapat diterima atau pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian gugatan, jenis, tujuan, formulasi, dan prinsip dalam penyusunan gugatan, serta alasan tidak diterimanya suatu gugatan.

Semoga bermanfaat.