Hukum Adat Kekerabatan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Hukum Adat Kekerabatan. Secara umum, hukum adat kekerabatan dapat diartikan sebagai hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak. Atau lebih mudahnya, bahwa hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah, pertalian perkawinan, dan pertalian adat.

A. Kedudukan Pribadi.
Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai nilai yang sama tentang nilai hidup, kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan, dan kebendaan. Hanya saja kehidupan masyarakat, adat budaya serta pengaruh agama yang dianut membuat penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama. Misalnya : 
  • Menurut budaya masyarakat adat Minangkabau dibedakan antara beberapa tingkat kemenakan, yaitu kemenakan batali darah, kemenakan batali adat, kemenakan batali budi, dan kemenakan di bawah lutut.
  • Menurut budaya masyarakat adat Lampung dibedakan antara warga adat kepunyimbangan bumi (marga), kapunyimbangan ratu (tiyuh), kapunyimbangan suku, dan beduwa (keturunan rendah).
  • Dalam agama Hindu, ada pembedaan golongan dalam masyarakat atau biasa disebut kasta, yaitu kasta Brahmana (keturunan pendeta), Ksatriya (keturunan bangsawan), Weisha (keturunan pedagang/pengusa), dan Sudra (keturunan rakyat jelata).
Dengan adanya pembedaan pribadi seseorang dalam kehidupan masyarakat, maka berbeda pula hak dan kewajibannya  serta kewenangannya dalam kemasyarakatan hukum adatnya. 


B. Pertalian Darah.
Berdasarkan adanya hubungan pertalian darah dalam keluarga, kedudukan masing-masing pihak dalam keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kedudukan Anak.
Kedudukan anak dalam hubungannya dengan pertalian darah dapat ditinjau dalam dua sisi, yaitu :

a. Menurut Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedudukan anak dalam hubungannya dengan pertalian darah diatur dalam  ketentuan :
  • Pasal 42 :  "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah". 
  • Pasal 43 ayat (1) :  "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". 

b. Menurut Hukum Adat. 
Menurut hukum adat, yang dimaksud anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan ayah dan ibunya yang sah, walaupun mungkin terjadinya perkawinan tersebut  setelah bunya hamil terlebih dahulu sebelum perkawinan, atau perkawinan yang dilakukan merupakan perkawinan darurat untuk menutup malu.   

Kewajiban Anak Terhadap Orang Tuanya. Kewajiban anak terhadap orang tuanya dapat ditinjau dari dari dua sisi :

a. Menurut Undang-Undang Nomor : 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Kewajiban anak terhadap orang tuanya diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 46 ayat (1) :  "Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik". 
  • Pasal 46 ayat (2) : "Jika anak sudah dewasa maka anak wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya". 

Hal tersebut  selaras dengan kehidupan keluarga dalam masyarakat yang bersifat parental atau keluarga Indonesia modern. 

b. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat di mana susunan kekerabatan yang patrilineal dan/atau matrilineal yang masih kuat, yang disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus ke atas tetapi juga dalam garis ke samping, seperti paman, saudara ayah yang laki-laki dan paman serta saudara ibu yang laki-laki terus ke atas, seperti kakek, buyut, canggah, dan poyang.   

Kedudukan Anak yang Belum Berumur 18 Tahun atau Belum Melangsungkan Perkawinan. Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya :

a. Menurut  Undang-Undang  Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan.
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 47 ayat (1) : "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya".

Sedang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, tapi berada di bawah kekuasaan wali, diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 50 ayat (1) : "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali".

b. Menurut Hukum Adat.
Menurut hukum adat, lembaga perwalian pada dasarnya tidak ada dan semua anak yang belum melakukan perkawinan dan dapat berdiri sendiri tetap berada di bawah kekuasaan orang tua dan kerabat menurut struktur kemasyarakatan adatnya masing-masing.

Baca juga : Masyarakat Hukum (Persekutuan Hukum) Territorial

2. Kedudukan Orang Tua.
Kedudukan orang tua terhadap anaknya :

Menurut Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedudukan orang tua terhadap anaknya dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 45 ayat (1) : "Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya".
  • Pasal 45 ayat (2) : "Kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus".

Dalam masyarakat patrilinial kewajiban memelihara dan mendidik anak dibebankan tanggungjawabnya kepada kerabat pihak ayah dan dalam masyarakat matrilinial kewajiban tersebut dibebankan tanggungjawabnya kepada kerabat pihak wanita.

Kedudukan Orang Tua Dalam Mewakili Anak di Dalam Maupun di Luar Pengadilan. Dalam hal orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan :

a. Menurut Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedudukan orang tua dalam mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan diatur dalam ketentuan :
  • Pasal 47 ayat (2) : "Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan".

Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak. Kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat dicabut, demikian itu oleh Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 diatur dalam ketentuan : 
  • Pasal 49 ayat (1) : "Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, denga keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan buruk sekali."
  • Pasal 49 ayat (2) : "Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut".

b. Menurut Hukum Adat.
Dalam hukum adat tidak dikenal hal sebagaimana tersebut. Dalam persekutuan adat kekerabatan tanggung jawab kehidupan keluarga merupakan tanggung jawab kerabat bersama, segala sesuatunya diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat kerabat.

Baca juga : Masyarakat Hukum (Persekutuan Hukum) Territorial-Genealogis

3. Anak dan Kerabat.
Hubungan anak dan kerabat dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :

a. Menurut Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tidak mengatur bagaimana hubungan hukum antara anak dan kerabat atau sebaliknya, kerabat dengan anak kemanakan. Sehingga hak dan kewajiban antara anak terhadap kerabat atau sebaliknya, masih tetap berlaku menurut hukum adat dalam lingungan masyarakat adat masing-masing.

b. Menurut Hukum  Adat.
Di dalam lingkungan masyarakat adat patrilinial anak bukan saja wajib hormat kepada ayah dan ibu, tetapi juga terutama hormat kepada para paman saudara lelaki dari ayah, baru terhadap paman saudara laki-laki dari ibu, dan seterusnya sesuai dengan tingkat kekerabatannya, hal demikian berlaku juga dalam lingkungan masyarakat adat matrilinial, anak tidak hanya wajib hormat pada ayah dan ibu, tapi juga kepada semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala waris. 
C. Pertalian Adat.
Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian adat, maka yang terutama dibicarakan adalah tentang hubungan hukum antara anak angkat, termasuk anak tiri, anak asuh atau anak akuan. Terjadinya pengangkatan anak adalah dikarenakan tidak mempunyai penerus keturunan, dalam hubungan perkawinan adat, kekaryaan baik budi atau belas kasian.

Kedudukan Anak Tiri Dalam Hukum Adat. Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak kandung bawaan isteri janda atau bawaan suami duda yang mengikat tali perkawinan. Di dalam perkawinan levirat, di mana isteri menikah dengan saudara suami, anak tiri tetap berkedudukan sebagai anak dari bapak kandungnya, demikian juga apabila terjadi perkawinan duda yang telah mempunyai anak dengan saudara isteri, yang disebut perkawinan sororat. Kedudukan anak tetap sebagai anak dari ayah kandungnya. Sedangkan dalam masyarakat parental, kedudukan anak tiri adalah sebagai ahli waris dari orang tua yang melahirkannya, kecuali anak-anak tiri tersebut diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya karena ia tidak mempunyai anak.

Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat. Kedudukan anak angkat dalam hukum adat, dibedakan antara :
  • anak angkat sebagai penerus keturunan, di Lampung disebut tegak tegi.
  • anak angkat adat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Hal ini terjadi dikarenakan perkawinan campuran antara suku yang berbeda. Anak angkat karena perkawinan ini dilakukan dengan harus memenuhi syarat perkawinan adat, dan pengangkatan tersebut tidak menyebabkan si anak angkat menjadi waris dari ayah angkatnya, melainkan hanya mendapatkan kedudukan kewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan yang bersangkutan. Sedangkan dikatakan anak angkat adat sebagai kehormatan adalah pengangkatan anak atau pegangkatan saudara tertentu sebagai tanda penghargaan.

Baca juga : Hukum Adat Ketatanegaraan

Anak Asuh Menurut Hukum Adat. Yang dimaksud dengan anak asuh menurut hukum adat adalah anak orang lain yang diasuh oleh suatu keluarga, sebagaimana anak sendiri. Termasuk dalam golongan ini adalah anak-anak yang disebut anak pancingan karena belum mempunyai anak, anak pungut, anak pupuan, anak piara, dan lain-lain. Anak-anak ini tetap mempunyai hubungan perdata dengan orang yang melahirkannya, dan tidak langsung menjadi warga adat dari kerabat orang tua asuhnya, kecuali kemudian diangkat menjadi anak angkat. 

Demikian penjelasan berkaitan dengan hukum adat kekerabatan.

Semoga bermanfaat.