Fatwa Dalam Konsep Islam : Pengertian, Syarat Menetapkan, Unsur, Bentuk, Dan Fungsi Fatwa, Serta Prinsip Fatwa

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Fatwa. Allah berfirman dalam QS. An Nisa : 59, yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dalam terminologi hukum Islam meniscayakan empat jenis produk pemikiran hukum, yaitu :
  • peraturan perundangan di negeri muslim.
  • keputusan pengadilan.
  • kitab fikih.
  • fatwa-fatwa ulama.

Produk pemikiran hukum Islam tersebut merupakan bagian dari hasil ijtihad ulama pada masanya. Sebagai sebuah hasil ijtihad, maka keempat produk hukum tersebut memiliki tingkat kebenaran relatif (zhanni).

Berdasarkan hal tersebut, fatwa memiliki kedudukan penting dalam agama Islam. Fatwa atau ketetapan ulama dipandang menjadi salah satu alternatif yang dapat memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (al-nuṣuṣ alsyari’iyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercangkup dalam naṣh-naṣh keagamaan.

Secara etimologis, istilah “fatwa” berasal dari bahasa Arab, yaitu “al fatwa” yang berarti petuah, nasehat dan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Abdul Aziz Dahlan, dkk dalam “Ensiklopedi Hukum Islam”, menyebutkan bahwa fatwa dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fatwa diartikan dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.

Secara terminologi, istilah “fatwa” secara umum dapat diartikan sebagai pendapat hukum yang tidak mengikat yang dikeluarkan untuk menanggapi persoalan hukum. Fatwa juga berarti jawaban atas pertanyaan seseorang yang ingin mendapatkan kejelasan hukum mengenai suatu persoalan. Yusuf Qarḍawi, dalam “Fiqh Prioritas”, menyebutkan bahwa fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan maupun kolektif

Fatwa lahir karena ada pertanyaan dan permintaan pendapat atas suatu kasus. Pertanyaan dan atau permintaan bisa bersifat perseorangan dan kolektif. Pertanyaan dan atau permintaan bisa juga datang dari lembaga pemerintah. Dalam penelusuran kebahasan dan praktiknya, fatwa pada dasarnya telah diungkap dalam Al Quran dengan dua istilah yang menunjukkan keberadaannya, yaitu :
  • yas’alunaka, yang bermakna mereka bertanya kepada kamu.
  • yastaftunaka, yang bermakna mereka meminta pendapatmu.


Nasroen Haroen, dalam “Uṣul Fiqh 1”, menjelaskan bahwa terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa, yaitu :
  • al ifta’ atau al futya, maksudnya kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
  • mustafti, maksudnya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.
  • mufti, maksudnya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.
  • mustafti fih, maksudnya masalah, peristiwa, kejadian, kasus, perkara yang ditanyakan status hukumnya.


Syarat Menetapkan Fatwa. Pada prinsipnya syarat-syarat fatwa dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu :
  • syarṭ taklīf (syarat umum).
  • syarṭ al-asāsiyah (syarat pokok).
  • ketiga syarat penyempurna.

Dalam menetapkan sebuah fatwa, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufti (seorang yang memberikan fatwa). Imam Nawawi, dalam “Majmu’ Syarḥ Al Muhaḍab”, menjelaskan bahwa seorang mufti haruslah seorang yang wara’, thiqah, terhindar dari fasiq, tajam berfikir, sehat rohani dan jasmani.

Ibnu Al Samani, dalam “Irṣad Al Fuhul”, menjelaskan bahwa terdapat tiga syarat bagi seorang mufti, yaitu :
  • mampu berijtihad.
  • terhindar dari kesan memperlonggar.
  • mempermudah hukum.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali Al Thusi Al-Syafi’I (Imam Al Ghazali), dalam “Al Mustashfa Min ‘Ilmi Al Ushul”, menjelaskan bahwa pada dasarnya kedudukan fatwa adalah sama dengan ijtihad. Oleh karenanya, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufti adalah sama dengan syarat-syarat seorang mujtahid, yaitu :
  • mengetahui Al Quran sebagai dalil hukum.
  • mengetahui hadith.
  • mengetahui ijma (konsensus ulama). Seorang mufti harus mengetahui tempat-tempat dan tidak menyalahi ijma’.
  • memiliki kemampuan akal, terutama kemampuan intelektual dan analisis dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya terutama berkaitan dengan hukum, ketentuan hukum berasal dari ketentuan teks Al Quran dan sunnah.
  • mengetahui dalil-dalil dengan segala persyaratannya, sehingga mendapatkan penjelasan dan dalil-dalil yang dibutuhkan. Tanpa dalil dan keterangan ia tidak dapat merumuskan ketentuan hukum.
  • mengetahui bahasa Arab, merupakan unsur penting yang harus dikuasai oleh mufti, karena ini berkaitan dengan Alquran yang diturunkan dalam bentuk bahasa Arab juga hadis Nabi yang juga berbahasa Arab.
  • mengetahui perbedaan antara nasikh dan mansukh baik dalam kitab maupun dalam sunnah.
  • mengetahui perbedaan antara hadith ṣahih dan bukan hadith ṣahih yang diterima dan tidak diterima di kalangan umat.
  • mengetahui uṣul fiqh, uṣul fiqh ilmu yang harus diketahui para mufti dan mujtāhid. Substansi kajian uṣul fiqh adalah dalil-dalil hukum Islam, tidak hanya sebatas Al Quran, hadith dan ijtihād tetapi seluruh hal-hal yang terkait di dalamnya. Seorang muftī harus kaya dengan uṣul fiqh, karena uṣul fiqh merupakan metodologi berpikir untuk membuka dan menunjukkan kepada suatu kesimpulan hukum, bukan sebagai pembuat hukum.


Unsur Fatwa. Pada prinsipnya terdapat tiga unsur dalam fatwa, yaitu :
  • pertanyaan atau su’al, istifta’.
  • pemberi fatwa atau mufti.
  • jawaban atau jawab.

Seseorang (mustafti) mengajukan suatu pertanyaan kepada seorang mufti, yang kemudian mufti tersebut menyediakan jawabannya. Ketika pertanyaan tersebut disusun atau ditulis pada sehelai kertas, maka kertas tersebut kemudian dikenal sebagai ruq’ah al istifta’ dan kitab al istifta’.


Bentuk Fatwa. Fatwa dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yang didasarkan pada :

1. Materi.
Berdasarkan materinya, fatwa dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • fatwa yang materinya merupakan pengulangan kembali penjelasanpenjelasan dari Al Quran dan sunnah.
  • fatwa yang materinya merupakan hasil ijtihad para sahabat. Bentuk seperti disebut sebagai “fatwa ṣahaby”.

2. Bentuk.
Berdasarkan bentuknya, pada tataran praktik fatwa dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • fatwa kolektif atau al fatwa al ijma’i, merupakan bentuk fatwa yang dirumuskan dan ditetapkan oleh sekelompok atau lembaga yang memiliki yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa kolektif haruslah bebas dari pengaruh tekanan politik, budaya, dan sosial yang berkembang.
  • fatwa personal atau al fatwa al fardi, merupakan bentuk fatwa yang dihasilkan dari penelitian dan penelaahan yang dilakukan seseorang. Biasanya fatwa personal lebih banyak memberi warna pada fatwa kolektif. Fatwa personal selalu dilandasi dengan studi mendalam terhadap suatu masalah yang akan dikeluarkan fatwanya, pada umumnya fatwa kolektif diawali terlebih dahulu dengan fatwa personal melalui studi mendalam tersebut.

Sedangkan Wael B. Hallaq, dalam “From Fatwas to Furu’: Growth and Change in Islamic Subtantive Law”, yang dimuat dalam Islamic Law and Society, Volume : 1, Nomor : 1, Tahun 1994, menjelaskan bahwa fatwa dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu :
  • primary fatwa.
  • secondary fatwa.

Dalam bentuk primernya (primary fatwa), fatwa memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  • keseluruhan fatwa selalu dimulai dengan kata-kata seperti : “Dia ditanya…” dan diakhir diikuti dengan kata “Dia menjawab…”.
  • hampir keseluruhan fatwa berkisar mengenai permasalah khusus yang dialami seseorang atau beberapa orang.
  • fatwa selalu dilengkapi dengan komentar tambahan atau pertanyaan lain yang diajukan mustafti yang telah dijawab oleh ahli hukum dalam satu ruq’a yang sama.
  • sering mencantumkan frasa-frasa yang tidak berkaitan dengan hukum, akan tetapi memilik peran untuk menunjukkan bahwa suatu peristiwa memang terjadi dari realitas aktual.
  • kebanyakan susunan pertanyaan dalam fatwa bersifat legalistik.
  • dalam fatwa yang berhubungan dengan kontrak, mufti selalu melampirkan draft kontrak yang menjadi permasalahan. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan memang benar-benar terjadi dan bukan karangan mufti semata.
  • sejak fatwa memiliki fungsi sebagai doktrin pendukung dalam kasus yang terjadi diperadilan, para praktisi telah mencatatnya dalam catatan peradilan. Fakta ini mengindikasikan bahwa fatwa sejak saat itu telah dirumuskan dalam suatu koleksi tertentu.
  • beberapa fatwa tampak bersifat hipotesis, berurusan dengan masalah “akademis” atau menyikapi masalah yang murni “teoritis”.
  • kebanyakan fatwa disusun berdasarkan urutan permasalahan yang muncul.
  • cenderung cenderung sangat praktis dan pragmatis.


Fungsi Fatwa. Fatwa berkaitan erat dengan fiqh atau hukum Islam. Keduanya memiliki hubungan saling melengkapi. Fiqh (hukum Islam) dipandang sebagai kitab hukum, serta sebagai rujukan normatif dalam melakukan perbutan sehari-hari. Fungsi fatwa diantaranya adalah :
  • memuat uraian sistematis tentang substansi hukum Islam.
  • sebagai penerapan secara konkret ketentuan fiqh dalam masalah tertentu.
  • sebagai pendapat hukum yang berdasarkan pertimbangan.
  • memberikan pendapat hukum atas suatu masalah, sesuai dengan pendapat mereka, tentang tindakan apa yang benar menurut pandangan syariah.
  • menjelaskan hukum Islam yang berbentuk jawaban konkret terhadap kasus demi kasus yang telah dihadapi oleh masyarakat yang dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum syariah terhadap masalah tertentu.


Konsep Fatwa. Menurut Muhammad Sulaiman Abdullah, dalam “Al Futya Wa Manahijul Ifta”, disebutkan bahwa konsep fatwa meliputi :
  • fatwa merupakan jawaban atas pertanyaan kaitannya dengan hukum agama, sehingga berbeda dengan irsyad atau nasehat tidak memerlukan pertanyaan.
  • fatwa harus disampaikan kepada penannya atau peminta fatwa.
  • fatwa tidak mengikat atau mewajibkan untuk diikuti sehingga berbeda dengan hukum atau qaḍa’ yang dikeluarkan hakim.
  • fatwa adalah respon atas suatu persoalan yang muncul sehingga berbeda dengan pengajaran (ta’lim).
  • fatwa adalah berdasarkan dalil syara’ sehingga tidak berangkat dari pendapat tanpa dasar.
  • fatwa mencakup hal-hal yang bersifat qaṭ'i (jelas hukumnya) dan ẓanni sehingga berbeda dengan ijtihad yang tidak digunakan untuk masalah qaṭ’i.
  • fatwa bisa dilakukan dengan perkataan, perbuatan, tulisan, isyarat.
  • fatwa mencakup semua persoalan kehidupan meliputi ‘aqidah, ‘ibadah, akhlaq, dan mu’amalah.


Demikian penjelasan berkaitan pengertian fatwa, syarat menetapkan, unsur, bentuk, dan fungsi fatwa, serta prinsip fatwa.

Semoga bermanfaat.