Taqlid : Pengertian, Hukum, Syarat, Bentuk, Dan Sebab Terjadinya Taqlid, Serta Hal Yang Harus Dipahami Sebelum Bertaqlid

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Taqlid. Allah berfirman dalam QS. At Taubah : 122, yang artinya :

Tidak pantas orang beriman pergi ke medan perang semua, hendaknya ada sekelompok dari tiap golongan dari mereka ditinggal untuk memperdalam agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya pabila mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka itu takut.”

Dalam surat yang lain, Allah berfirman dalam QS. An Nahl : 43, yang artinya :

Maka hendaknya kamu bertanya kepada orang-orang yang ahli ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengerti.”

Dalam QS. At Taubah : 122 dan QS. An Nahl : 43 tersebut dijelaskan bahwa Allah menyuruh umat muslim untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama.


Secara etimologi, istilah “taqlid” berasal dari bahasa Arab yang bermashdar dari “qallada - yuqallidu - taqlidan” yang berarti bermakna : meniru, mencontoh, dan mengikuti. Sedangkan secara terminologi istilah “taqlid” atau mengikuti ulama dapat diartikan sebagai berpegang kepada pendapat orang lain yaitu para imam mazhab tanpa mengetahui dalilnya atau dasar yang menguatkan pendapat tersebut. Wahbah Zuhaili, dalam “Ushul Al Fiqh Al Islam, Jilid II”, menyebutkan bahwa taqlid adalah berpegang kepada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Periode taqlid di mulai sekitar pertengahan abad ke-10 Masehi (abad ke-4 Hijrah). Yang dimaksud dengan periode taqlid adalah suatu periode di mana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks Al Quran dan sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi negara-negara kecil, di mana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin.


Hukum Taqlid. Hukum taqlid dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :

1. Taqlid yang dibolehkan.
Maksud dari taqlid yang dibolehkan adalah bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui mengenai hukum Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Dengan perkataan lain bahwa taqlid itu hanya untuk sementara saja.

2. Taqlid yang haram.
Maksud dari taqlid yang haram adalah bertaqlid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al Quran dan hadits. Para ulama sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang semacam ini.


Syarat Taqlid. Seseorang bisa taqlid apabila memenuhi beberapa syarat dan ketentuan sebagai berikut :
  • niat. Misalnya : diniatkan aku taqlid mengikuti mazhab …. (dalam suatu perkara tertentu).
  • tidak membatalkan hukum qodho.
  • bukan karena memilih yang lebih mudah karena dhoruroh (tatabu dan rukhos).
  • tidak mencampur-baurkan antara dua qaul (tiada talfiq), yaitu tidak menurut dua mazhab yang berlainan pendapat mereka di dalam satu-satunya amalan.


Bentuk Taqlid. Taqlid dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, sebagai berikut :
  • taqlid dengan arti lughawi (bahasa), yaitu mengikuti pendapat seorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat itu.
  • taqlid dengan arti ‘urfi (populer), yaitu mengikuti pendapat seseorang, sedang dasar dari pendapat itu tidak diketahui dengan sempurna.
  • taqlid yang diwajibkan, yaitu mengikuti pendapat seseorang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
  • taqlid yang berkembang, yaitu mengikuti pendapat yang berkembang sekarang (banyak terjadi di Indonesia), maksudnya adalah bertaqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam mujtahid yang terkenal.

Para ulama mewajibkan kaum muslimin untuk melaksanakan taqlid ‘urfi. Sedang golongan awam (orang-orang yang bukan mujtahid) harus bertaqlid kepada mujtahid atau kepada orang alim yang meriwayatkan pendapat pendapat mujtahid. Adapun orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengistimbatkan hukum (mujtahid), mereka dilarang bertaqlid dalam arti bahwa mereka tidak boleh mengikuti langsung perkataan seorang mujtahid, tetapi harus difikirkan terlebih dahulu untuk mengetahui sampai di mana kebenaran pendapat tersebut. Jika benar dikuti, tetapi jika salah ditinggalkan.


Sebab Terjadinya Taqlid. Sedangkan beberapa sebab terjadinya taqlid (pada periode taqlid), diantaranya adalah :

1. Pembukuan kitab madzhab.
Fiqih Islam sudah ditulis dan dijadikan rujukan dalam menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Hal yang mendorong para ulama untuk berijtihad karena mereka ingin mengetahui hukum dari sebuah masalah yang baru muncul di tengah masyarakat yang belum ada hukumnya.

2. Fanatisme madzhab.
Para ulama pada periode taqlid sibuk dengan menyebarkan ajaran madzhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’.

3. Jabatan hakim.
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dapat memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al Quran, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan kebenaran.

4. Ditutupnya pintu ijtihad.
Akan menjadi masalah besar apabila kesucian ilmu ternodai, hal tersebut banyak terjadi pada periode taqlid. Banyak orang melakukan fatwa dan menggali hukum, sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqih, sehingga pada pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad ke-4 Hijriyah agar mereka yang mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.

5. Pergolakan politik.
Pergolakan politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri Islam menjadi beberapa negara kecil, sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah-memfitnah, dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian ilmu pengetahuan.

6. Fanatisme madzhab baru.
Pada fase pembangunan, pengembangan dan kodifikasi hukum Islam telah mucul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir tersendiri di bawah seorang Imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya adalah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain.


Hal yang Harus Dipahami Sebelum Bertaqlid. Beberapa hal yang harus diketahui dan dipahami sebelum melakukan taqlid adalah sebagai berikut :
  • mengetahui bahwa perkara yang hendak ditaqlid tersebut muktabar di sisi mazhab yang hendak ia taqlid dengan mengkuti syarat-syarat dan rukun-rukun pada mazab yang ditaqlid tersebut.
  • bertaqlid sebelum jatuh berbuatnya dan jangan jadi sudah batal pada mazhabnya, baru niat taqlid mazhab yang lain.
  • tidak ikut yang mana yang mudah.
  • imam yang diikuti adalah yang diakui sah mujtahidnya, seperti Imam Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali.
  • tiada barang yang jadi batal hukum qadhi (seperti : talak tiga sekali berlafaz), maka apabila qadhi hukum boleh ruju’ niscaya batal hukum qadhi tersebut karena menyalahi ijma’ sahabat Nabi SAW dan menyalahi tabi’in dan menyalahi ulama-ulama yang mujtahidin dan menyalahi Al Quran.
  • tidak jadi talfiq pada qadhiah yang satu. Misalnya : mengambil wudlu basuh sedikit dari kepala mengikuti mazhab Imam Syafi’I dan tidak membatalkan wudlu saat bersentuhan dengan perempuan ajnabiyah mengikuti mazhab Imam Hanafi. Dalam keadaan demikian (batal wudlu-nya pada mazhab Syafi’I dan tidak sah wudlu-nya pada mazhab Hanafi), maka shalatnya tidak sah.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian taqlid, hukum, syarat, bentuk, dan sebab terjadinya taqlid, serta hal yang harus dipahami sebelum bertaqlid.

Semoga bermanfaat.