Penafsiran (Interpretasi) Undang-Undang

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Bahasa dalam undang-undang seringkali tidak sama dengan bahasa sehari-hari. Adakalanya bahasa undang-undang mempunyai pengertian lebih luas atau lebih sempit. Atau bahkan mungkin dapat dirasakan sebagai agak menyimpang. Untuk itulah diperlukan penafsiran.

Dalam praktek penggunaan undang-undang, tidak selalu ditemukan pengertian dari suatu istilah yang terdapat dalam suatu perumusan undang-undang. Tetapi bagaimanapun juga harus ditemukan tafsir atau pengertiannya. Untuk itu sebagai pedoman untuk mencari dan menemukan pengertian tersebut, harus di mulai dengan penerapan cara penafsiran (interpretasi) yang lebih mengikat. 
Urutan Dalam Penafsiran Undang-Undang. Urut-urutan dalam menemukan pengertian istilah dalam undang-undang (urutan menggunakan penafsiran) adalah :
  • Penafsiran otentik, yaitu mencari dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut, maksudnya apakah ada suatu pasal undang-undang yang menentukan pengertian atau maksud dari istilah yang dimaksud. 
  • Penafsiran menurut penjelasan undang-undang yang bersangkutan.
  • Penafsiran sesuai dengan jurisprudensi, yaitu mencari dalam putusan-putusan Kasasi Mahkamah Agung. Fatwa Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung, dan lain-lain putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan lazim diikuti oleh peradilan lain. 
  • Penafsiran menurut doktrin.

Baca juga : Ilmu Perundang-Undangan

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mencari pengertian istilah dalam undang-undang :
  • Jika suatu istilah sudah jelas pengertiannya, maka pengertian tersebut harus digunakan, bukan menggunakan maksud dari istilah tersebut.
  • Jika suatu istilah tidak jelas pengertiannya, barulah digunakan tafsirnya.
  • Jika dari beberapa cara penafsiran yang digunakan, ada salah satu yang memberikan arti dari istilah tersebut, maka yang memberikan arti tersebut yang digunakan, bukan yang memberikan maksudnya.
  • Gunakan bahasa undang-undang yang secara formal berlaku, maksudnya jika ada perselisihan mengenai terjemahannya, maka gunakan bahasa aslinya untuk memcahkan perselisihan tersebut.

Baca juga : Pengertian Doktrin Dalam Ilmu Hukum

Penafsiran Menurut Doktrin. Dalam ilmu hukum pidana setidaknya dikenal sembilan cara penafsiran menurut doktrin, yaitu sebagai berikut :
  • Penafsiran menurut tata bahasa, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa.
  • Penafsiran secara sistematis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara apabila suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali  atau lebih dalam suatu pasal, atau pada suatu undang-undang, maka pengertiannya harus sama.
  • Penafsiran mempertentangkan (redeneering a contrario), yaitu  penafsiran yang dilakukan dengan cara menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. 
  • Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie), yaitu  penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda dengan pengertiannya yang digunakan sehari-hari. 
  • Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara mempersempit pengertian dari suatu istilah.  
  • Penafsiran historis (rechts historis), yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara mempelajari sejarah hukum yang berkaitan atau mempelajari riwayat pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
  • Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan undang-undang.
  • Penafsiran logis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang masuk akal.
  • Penafsiran analogi, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan memperluas cakupan atau pengetian dari ketentuan undang-undang.
Penafsiran analogi sangat erat hubungannya dengan penguraian pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Dari ketentuan pasal 1 KUH Pidana tersebut disimpulkan bahwa salah satu asas yang terkandung di dalamnya adalah dilarang menggunakan analogi. Jika asas ini berlaku, yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan penafsiran memperluas dan penafsiran teleologis? Bukankah pada hakekatnya penafsiran memperluas, penafsiran teleologis, dan penafsiran analogi adalah sama ? Akan lebih rumit lagi,  dengan adanya teori dari Paul van Scholten yang mengemukakan tentang penemuan hukum (rechtsvinding) yang dilakukan oleh hakim. Bahwa dalam memeriksa suatu perkara hukum, apabila tidak ada aturan yang mengatur masalah tersebut, hakim dapat membuat aturannya sendiri.
Berkaitan dengan penafsiran analogi ini, ada beberapa pendapat, yaitu :
  • Taverne, menyetujui suatu putusan hakim berdasarkan analogi.
  • Van Hattum, berpendapat ada baiknya untuk tidak secara mutlak dilarang atau diperbolehkan mempergunakan analogi dalam hukum pidana. Tiap-tiap kejadian atau peristiwa harus ditinjau  sendiri-sendiri dan secara jujur dilihat bagaimana in casu rasa keadilan sebaik-baiknya akan dipenuhi.
  • Dr. Wirjono, berpendapat analogi terjadi, apabila dengan suatu cara penafsiran disimpulkan, bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu tidak turut diatur dalam suatu peraturan hukum, namun dianggap diliputi oleh peraturan tersebut.

Demikian penjelasan berkaitan dengan penafsiran (interpretasi) undang-undang.

Semoga bermanfaat.