Istishab : Pengertian, Kaidah, Dan Pengelompokkan Istishab, Serta Pandangan Para Ulama Berkaitan Dengan Istishab

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Istishab. Islam merupakan agama rahmat kepada sekalian alam. Hukum yang ditetapkan dalam Islam adalah bertujuan untuk memenuhi kepentingan hidup manusia dan menjauhkan manusia dari kemudaratan, termasuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Allah berfirman dalam QS. Al Haj : 78, yang artinya :

Dia tidak menjadikan kamu menanggung sesuatu keberatan dan susah payah dalam perkara agama.”

Berdasarkan QS. Al Haj : 78 tersebut, para ahli hukum Islam berpandangan bahwa terdapat satu kaidah yaitu apabila berlaku kesulitan, maka perlu diberikan kemudahan atau keringanan. Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yang berlaku, yaitu :
  • hukum yang disepakati (muttafaq), yaitu Al Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.
  • hukum yang tidak disepakati (mukhtalaf), diantaranya adalah istishab.

Secara etimologi, istilah istishab berasal dari bahasa Arab yang berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah) atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shuhbah). Secara lughawi, istiṣḥab berasal dari kata "shuhbah" yang dimaknai sebagai membandingkan sesuatu kemudian mendekatkannya. Sedangkan secara terminologi, istishab diartikan sebagai menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Imam al-Asnawy, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.

Baca juga : Pengertian Ijma'

Kaidah dalam Istishab. Dalam Ilmu Ushul Fiqh, istishab dijadikan sebagai tempat beredarnya fatwa, maksudnya mengetahui hukum sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Istishab merupakan salah satu metode ijtihad yang dalam istinbatnya selalu memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut :
  • apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan maka tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.
  • asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut kedaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
  • hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh.
  • yang asal pada manusia itu adalah bebas.

Baca juga : Pengertian Istihsan

Pengelompokkan Istishab. Istishab dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam. Syiekh Muhammad Abu Zahra, dalam "Ushul Fiqh", mengelompokkan istishab menjadi empat bagian, yaitu :

1. Baraah Ashliyah.
Baraah berarti bersih dan lepas, yaitu bebas dari beban hukum. Sedangkan ashliyah berarti menurut aslinya. Dengan demikian, baraah ashliyah berarti bebas dari beban hukum menurut aslinya. Sehingga, bagi baraah ashliyah berlaku baginya kaidah : “pada asalnya hukum sesuatu itu tidak ada”.

2. Istishab Syara’ atau Akal.
Istishab syara’ atau akal berarti adanya suatu hukum pada sesuatu itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal.

3. Istishab Hukum.
Istishab hukum berarti mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum, boleh atau dilarang. Hukum pada sesuatu terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkannya, atau hukum sesuatu itu haram sebelum ada sesuatu yang meperbolehkannya. Maka dalam hal ini berlaku kaidah : “Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”

4. Istishab Sifat.
Istishab sifat berarti mengukuhkan berlakunya suatu sifat dimana sifat ini berlaku pada suatu ketentuan hukum sampai sifat ini mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum.

Sedangkan, Djazuli, dalam "Ilmu Fiqh", menjelaskan bahwa para ulama ushul fiqh mengelompokkan istishab dalam lima macam, yang sebagian disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan, yaitu sebagai berikut :

1. Istishab hukum al-Ibahah al-Asliyyah.
Istishab Hukum al-Ibahah al-Asliyyah merupakan penetapkan hukum terhadap sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, yaitu boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Berkaitan dengan istishab kelompok ini, di antara para ulama ushul fiqh terdapat perbedaan pandangan, sebagai berikut :
  • Imam Ghazali, berpandangan bahwa istishab hanya dapat dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan lain yang membatalkannya.
  • Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berpandangan bahwa istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
  • Ulama Hanafiyah, berpandangan bahwa istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak dapat dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
  • Ulama Malikiyah, berpandangan bahwa istishab tidak dapat dijadikan hujjah dalam beberapa kasus, tidak terhadap semua kasus.

3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang membatalkannya).

4. Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i.
Maksud dari istishab hukum akan sampai adanya hukum syar’i adalah umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Terdapat perbedaan padangan terhadap istishab ini :
  • Ulama Hanafiyah, berpandangan bahwa istishab dalam bentuk ini hanya dapat menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak dapat menetapkan hukum yang akan datang.
  • Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, berpandangan bahwa istishab dalam bentuk ini dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.

5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Kehujjahan istishab dalam bentuk masih diperselisihkan oleh para ulama.


Pandangan Para Ulama tentang Istishab. Terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama berkaitan dengan istishab, terutama berkaitan dengan kehujjahan atau kedudukan dari istishab sebagai dalil atau sumber hukum dalam Islam. Menurut Syafi’i Rahmat, dalam "Ilmu Ushul Fiqh", disebutkan bahwa terdapat perbedaan pandangan di antara para ulama ushul fiqih berkaitan dengan kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi ;

1. Ulama Hanafiyah.
Para ulama Hanafiyah berpandangan bahwa istishab dapat menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya. Atau dengan kata lain, istishab dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.

2. Ulama Mutakallimin.
Para ulama mutakallimin atau ahli kalam berpandangan bahwa istishab bukanlah dalil dan istishab tidak bisa dijadikan dalil. Sehingga, menurut pandangan para ulama mutakallimin, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, yang tidak dibolehkan syara’. Sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain.

3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah.
Para ulama dari mazhab tersebut berpandangan bahwa istishab dapat menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Menurut para ulama tersebut, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus.

Baca juga : Pengertian Jihad

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian istishab, kaidah dan pengelompokkan istishab, serta pandangan para ulama tentang istishab.

Semoga bermanfaat.