Ijtihad : Pengertian, Objek, Bentuk, Fungsi, Manfaat, Dan Tingkatan Ijtihad

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Ijtihad. Allah berfirman dalam QS. An Nisa : 59, yang artinya :

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Secara etimologi, istilah ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang berarti bersungguh-sungguh, dalam arti pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sedangkan secara terminologi, ijtihad dapat diartikan sebagai mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan hukum syariat. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid. Seorang mujtahid (yang melakukan ijtihad) harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan sebagai mujtahid diantaranya adalah sebagai berikut :
  • menguasai bahasa Arab, termasuk di dalamnya nahwu, sharaf, dan balaghah-nya. Hal ini dikarenakan Al Quran dan Hadits berbahasa Arab. Jadi tidak mungkin orang akan memahami Al-Quran dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
  • menguasai dan memahami Al Quran seluruhnya. Hal ini untuk menghindari seorang mujtahid menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain.

Sedangkan rukun ijtihad meliputi :
  • al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash.
  • mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
  • mujtahid fill, yaitu hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
  • dalil syara, untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.


Selain itu, pengertian ijtihad juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya adalah :
  • Tajuddin Abdul Wahab bin as-Subki, dalam "Jam’ al-Jawami", berpedapat bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang fiqh untuk menemukan hukum syara’ yang bersifat zhanni.
  • Muhammad bin Ali bin Muhammd asy-Syaukani, dalam "Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilmi al- Ushul", berpendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan di dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat amaliyah dengan menempuh jalan istibath (menggali dalil).
  • Muhammad Abu Zahra, dalam "Ushul Fiqh", berpendapat bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan seseorang ahli didalam istinbath (menggali dalil) hukum syara’ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.


Objek Ijtihad. Hal atau lapangan yang dapat menjadi obyek ijtihad adalah :
  • Segala hal yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
  • Segala hal yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan Hadits juga : Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
  • Segala hal yang dibawa oleh nas yang dhanni kedudukannya, tetapi qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga lapangan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.
  • Segala hal yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada lapangan-lapangan lain.


Bentuk Ijtihad. Ijtihad dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk. Berdasarkan cara melakukannya, ijtihad terdiri dari dua bentuk, sebagai berikut :
  • Ijtihad fardhi, yaitu setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara. Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
  • Ijtihad jami’i, yaitu semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin. Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al Quran dan Hadits.

Selain itu, bentuk ijtihad yang lain adalah sebagai berikut :
  • Ijma' (kesepakatan), adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil Ijma berupa Fatwa berupa keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh umat.
  • Qiyas, adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya tapi memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan sebelumnya.
  • Maslahah mursalah, adalah menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
  • Sududz dzariah, adalah memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
  • Istishab, adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya.
  • Urf, adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al Quran dan Hadits.
  • Istihsan, adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.


Fungsi Ijtihad. Ijtihad yang dilakukan terhadap suatu perkara memiliki fungsi sebagai berikut :
  • mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan (fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali)).
  • menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman (fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan)).
  • memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Hadits (fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan)).

Baca juga : Pengertian Karomah

Manfaat Ijtihad. Ijtihad memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah :
  • dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu berkembang dan mampu menjawab tantangan.
  • dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu dan keadaan
  • menetapkan fatwa terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak terkait dengan halal atau haram.
  • dapat membantu umat muslim dalam menghadapi masalah yang belum ada hukumnya secara Islam.

Baca juga : Pengertian Tauhid

Tingkatan Ijtihad. Terdapat beberapa tingkatan dalam ijtihad, yaitu :

1. Ijtihad Muthlaq.
Ijtihad Muthlaq adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan menemukan ‘illah-‘illah hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al Quran dan Hadits, dengan menggunakan rumusan kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan bantuan disiplin-disiplin ilmu.

2. Ijtihad fi al-Madzhab.
Ijtihad fi al-Madzhab adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara’, dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum yang diperlukan masyarakat. Secara lebih sempit, ijtihad fi al-Madzhab ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut :
  • Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.
  • Ijtihad at-Takhrij, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara’.
  • Ijtihad al-Futya, yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat hukum imam mazhab dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat tersebut kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian ijtihad, rukun, objek, bentuk, fungsi, manfaat, dan tingkatan ijtihad.

Semoga bermanfaat.