Istihsan : Pengertian Dan Pengelompokkan Istihsan, Serta Perbedaan Antara Istihsan, Qiyas, Dan Maslahah Mursalah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Istihsan. Allah berfirman dalam QS. Az Zumar : 18, yang artinya :

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Istihsan merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para ulama dalam penetapan hukum dalam Islam. Kalau Al Quran, hadits, ijma’ dan qiyas telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, tidak demikian halnya dengan istihsan. Tidak semua ulama sepakat bahwa istihsan dapat digunakan sebagai metode dalam penetapan hukum dalam Islam.

Secara etimologi, istilah istihsan berasal dari bahasa Arab yang berarti menganggap baik sesuatu atau menginginkan sesuatu. Sedangkan secara terminologi, istihsan dapat diartikan sebagai tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya, yaitu meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’. Istihsan juga dapat berarti meninggalkan hukum suatu masalah yang sama, untuk mengambil hukum yang bersifat khusus, demi tercapainya kemaslahatan yang merupakan tujuan syariat, karena ada dalil yang menghendakinya.

Sedangkan Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, dalam "Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami", berpendapat bahwa istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.

Baca juga : Pengertian Qiyas

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tidak semua ulama sepakat apabila istihsan digunakan dalam penetapan suatu hukum. Ulama dari mazhab Syafi’i adalah termasuk yang menolak adanya istihsan. Imam Syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah. Sedangkan para ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanabilah pada umumnya menerima istihsan sebagai cara untuk penetapan suatu hukum. Berikut beberapa pendapat dari para ulama yang berasal dari berbagai mazhab tersebut di atas :

1. Iman Bazdawi.
Imam Bazdawi merupakan salah satu ulama usul fiqh dari mazhab Hanafi. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Aziz al-Bukhari, dalam "Kasyf al-Asror fi Ushul al-Bazdawi", disebutkan bahwa istihsan menurut Imam Bazdawi adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.

2. Abu Ishaq asy-Syatibi.
Abu Ishaq asy-Syatibi merupakan salah satu ulama ushul fiqh dari mazhab Maliki. Dalam "al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah", Abu Ishaq asy-Syatibi menyebutkan bahwa istihsan adalah mengambil (mengamalkan) kemaslahatan juz’iyyah (khusus) ketika bertentangan dengan dalil yang kulli (umum). Lebih lanjut disebutkan bahwa hakikat istihsan adalah mendahulukan maslahah al-mursalah dari qiyas. Maksudnya, apabila terjadi perbenturan antara qiyas dengan maslahah al-mursalah, maka yang diambil adalah maslahah al-mursalah dan qiyas ditinggalkan, karena apabila qiyas tetap digunakan dalam kasus seperti ini, maka tujuan syara’ dalam pensyariatan hukum tidak tercapai.

3. Ibnu Qudamah.
Ibnu Qudamah merupakan salah satu ulama ushul fiqh dari mazhab Hanabilah. Dalam "Raudah an-Nazhir wa Jannat al-Munazhir", Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa istihsan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari Al Quran maupun dari sunnah.

4. Iman al-Ghazali.
Imam al-Ghazali merupakan salah satu ulama ushul fiqh dari mazhab Syafi’i. Sebagaimana dijalaskan oleh Nasrun Harun, dalam "Ushul fiqh I", disebutkan bahwa Iman al-Ghazali secara tegas menolak istilah istihsan seperti yang telah dikemukakan oleh para ulama dari ketiga mazhab di atas, meskipun secara secara substansi Iman al-Ghazali menerima konsep istihsan tersebut. Menurut Imam al-Ghazali, istihsan yang dikemukakan oleh ulama dari mazhab Hanafi terdiri dari empat bentuk, yaitu :
  • meninggalkan qiyas jali dan mengambil qiyas khafi, karena ada indikasi yang menguatkannya.
  • meninggalkan qiyas karena mengikuti pendapat sahabat.
  • meninggalkan qiyas karena ada hadis yang lebih tepat.
  • meninggalkan qiyas karena adat kebiasaan ('urf) menghendakinya.

Terhadap tiga bentuk istihsan yang pertama, Imam al-Ghazali dapat menerima, tetapi terhadap bentuk istihsan yang keempat atau istihsan 'urf, Imam al-Ghazali menolaknya.


Pengelompokkan Istihsan. Istihsan dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Secara umum, istihsan dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut :

1. Istihsan Qiyasi.
Istihsan qiyasi merupakan suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan hukum tesebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah kemaslahatan.

2. Istihsan Istisna'i.
Istihsan Istisna'i merupakan qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan istisna’i terdiri dari :
  • istihsan dengan nash, yaitu pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut Al Quran atau sunnah.
  • istihsan dengan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ (baik yang sharih maupun sukuti) terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
  • istihsan dengan kedaruratan, yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
  • istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku, yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, aik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
  • istihsan dengan maslahah al-mursalah, yaitu mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.

Sedangkan Abu Ishaq Asy-Syatibi mengelompokkan istihsan menjadi enam bagian, yaitu :
  1. Istihsan bil an-Nash, merupakan kelompok istihsan yang berdasarkan ayat atau hadits, yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash Al Quran dan sunnah.
  2. Istihsan bil al-Ijma, merupakan istihsan yang didasarkan kepada ijma, yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma. Istihsan bil al-Ijma terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan.
  3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi, merupakan istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi, yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.
  4. Istihsan bi al-Maslahah, merupakan istihsan berdasarkan kemaslahatan, yaitu Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
  5. Istihsan bi al-'Urf, merupakan istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum, yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya 'urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat.
  6. Istihsan bi al-Dharurah, merupakan istihsan berdasarkan dharurah, yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan.

Baca juga : Pengertian 'Urf

Perbedaan Antara, Istihsan, Qiyas, dan Maslahah Mursalah. Antara istihsan, qiyas, dan maslahah mursalah memiliki pemahaman yang hampir sama, namun demikian terdapat perbedaan yang mendasar yang membedakan antara istihsan, qiyas, dan maslahah mursalah. Perbedaan di antara ketiganya adalah sebagai berikut :

1. Istihsan :
  • meninggalkan hukum yang telah ditetapkan, kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’.

2. Qiyas :
  • penetapan suatu kejadian yang tidak ada nash pada hukumnya terhadap perkara yang ada nash pada hukumnya (syar’i), untuk menggabungkan keduanya dalam ‘illatul hukmi.

3. Maslahah mursalah :
  • suatu metode ijtihad dalam rangka mengistinbath hukum, yang tidak berdasarkan pada nash tertentu, baik ijmak ataupun qiyas dalam permasalahan ijtihad, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja.

Baca juga : Pengertian Ijtihad

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian dan pengelompokkan istihsan, serta perbedaan antara istihsan, qiyas, dan maslahah mursalah.

Semoga bermanfaat.