Mujadalah : Pengertian, Unsur, Bentuk, Tujuan, Dan Metode Mujadalah, Serta Landasan Dan Etika Dalam Mujadalah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Mujadalah. Allah berfirman dalam QS. Al Nahl : 125, yang artinya :

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhamnu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

QS. Al Nahl : 125
tersebut menegaskan bahwa perintah mujadalah adalah menunjukkan kewajiban yang harus ditegakkan oleh orang-orang Islam, sebagaimana kewajiban mereka dalam menegakkan dakwah dengan hikmah dan mau’izah hasanah. Dakwah merupakan perintah asasi, dasar, dan esensial, sedang mujadalah merupakan perintah yang bersifat aksidental (kebutuhan aridiy), maksudnya adalah menangkal dengan cara yang lebih baik terhadap orang-orang yang mengingkari dakwah.

Secara etimologi, istilah “mujadalah” berasal dari bahasa Arab, yang berisim masdar dari kata “jaadala”, sedangkan fiil mudhari’nya yaitu “yujaadilu”. “Mujadalah” berarti berbantah atau berdebat. Dalam kaedah bahasa Arab, jika suatu kata yang fiil madhinya berwazan faa’ala maka secara umum itu bermakna musyaarakah (bersekutu antara dua orang, keterlibatan dua pihak atau lebih). Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses mujadalah atau perdebatan terdapat paling sedikit dua pihak yang saling mengemukakan pendapat dan memberikan alasan yang rasional agar dapat dipahami oleh lawan debatnya.

Sedangkan secara terminologi, istilah “mujadalah” atau yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan “berdebat atau berdiskusi” dapat diartikan sebagai suatu upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis dan logis tanpa adanya permusuhan di antara keduanya dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Mujadalah juga dapat berarti bertukar pikiran dengan mengadu alasan di antara kedua belah pihak dengan maksud mencapai kebenaran. Dalam bermujadalah terdapat kegiatan adu argumentasi atau alasan untuk menguatkan suatu pendapat dalam mencapai kebenaran.

Baca juga : Dakwah Dalam Islam

Selain itu, pengertian mujadalah dapat juga dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli (ulama), diantaranya adalah :
  • Al-Raghib al-Asfahani, dalam “Mufradat Alfaz Al Quran”, menyebutkan bahwa mujadalah atau al-jidal adalah perundingan atau permusyawaratan dengan cara perdebatan dan berebut kemenangan. Lebih lanjut, Al-Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa pengertian tersebut berasal dari memintal, memperkuat jalinan atau pukulan yang menjatuhkan dari seseorang kepada lainnya.
  • Al-Ghazali, dalam “Ikya’ ‘Ulum al-Din”, menyebutkan bahwa mujadalah adalah keinginan untuk mengalahkan dan menjatuhkan seseorang dengan menyebutkan cela yang terdapat pada perkataannya, bahkan dengan menisbahkannya pada aib dan kebodohan. Karena itu, perdebatan dapat untuk kebaikan dan kejahatan. Perdebatan tidak akan berakhir kecuali salah satu pihak mengakui kekalahannya.


Berdasarkan pengertian mujadalah tersebut, maka secara operasional mujadalah dapat diartikan sebagai suatu usaha memperkuat pernyataan yang dipersoalkan dengan menggunakan argumentasi dan tujuan tertentu ;
  • apabila argumentasinya logis dan bertujuan menegakkan kebenaran, maka ia termasuk kategori terpuji (mahmudah).
  • apabila argumentasinya emosional dan bertujuan mempertahankan kebatilan, maka ia termasuk kategori tercela (mazmumah).

Aswadi Syuhadak, dalam “Teori dan Teknik Mujadalah dalam Dakwah”, menjelaskan bahwa pengertian operasional dari mujadalah mengandung beberapa unsur pokok dan maksud sebagai berikut :
  • Usaha sekelompok orang dalam menghadapi sesuatu yang dipermasalahkan, termasuk di dalamnya mencakup kelompok tertentu, materi, dan permasalahannya.
  • Cara-cara yang dipergunakan untuk menyampaikan pendapat atau gagasan, baik berupa sikap, ucapan, tulisan, analogi, pencegahan atau penangguhan terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, meliputi : mufawadah, muhawarah, munazarah, musyawarah, munaza’ah, mukhasamah, dan mumarah.
  • Argumentasi atau hujjah dalam berpendapat, baik yang bersifat mendukung atau menolak argumentasi lainnya sekaligus berakhir dengan suatu kesimpulan tertentu.
  • Etika dan aturan-aturan yang terkait dengan berlangsungnya mujadalah.
  • Tujuannya bisa mengarah pada sesuatu yang positif maupun negatif.


Unsur Mujadalah. Mujahadah mengandung beberapa unsur sebagai berikut :
  • Proporsi, merupakan suatu hasil pertimbangan yang dikemukakan dengan kalimat pernyataan, kalimat atau peryataan ini yang akan didiskusikan yang kemudian tujuan akhir dapat diterima peserta diskusi.
  • Issue, merupakan suatu kesimpulan sementara dan masih harus dibuktikan untuk memungkinkan proporsi untuk diterima. Issue ini merupakan inti yang sangat penting dan menentukan.
  • Argumen, merupakan hasil berpikir, wujud argumen menyangkut proses berpikir kemudian argumen merupakan alasan bagi penerimaan suatu issue. Argumen bisa berdiri sendiri namun biasa didukung oleh evidensi (bukti).
  • Evidensi, merupakan bahan mentah dari proof (bukti). Dari pendapat di atas dapat dipahami keempat unsur tersebut saling terkait dan berintegrasi.


Bentuk Mujadalah. Mujadalah dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu :
  • Mujadalah yang dapat membawa tukar pikiran dengan menggunakan argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hukum agama didasari kepada wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya miskomunikasi.
  • Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhawarah), yaitu mendiskusikan persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan yang yang tuntas, sehingga jalan keluarnya tegas dan jelas, sebagaimana isyarat surat al-Mujadalah.
  • Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir, di mana mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran, seperti isyarat Allah pada surat Ghafir (al-Mukmin).

Sedangkan Aswadi Syuhadak menjelaskan bahwa mujadalah dalam pendapatnya terbagi atas dua bentuk, yaitu :
  • Mujadalah dengan menggunakan argumentasi yang populer dan berpredikat baik.
  • Mujadalah dengan menggunakan argumentasi yang rusak dan salah, demikian pula tentang cara-cara yang ditempuhnya.


Tujuan Mujadalah. Tujuan dari dilakukannya mujadalah, diantaranya adalah :
  • Menyadarkan hati, membangunkan jiwa, dan menerangi akal pikiran.
  • Menangkal dan menolak dengan cara-cara yang paling baik terhadap orang-orang menentang dan melawan dakwah, terutama ketika berhadapan dengan lawan-lawan yang menggunakan cara-cara kebatilan untuk mematahkan dan menghancurkan dakwah.
  • Menghindarkan berbagai malapetaka yang akan menimpa pada seseorang atau kaum tertentu.


Metode Mujadalah. Mujadalah sebagai suatu bagian integral dari dakwah, harus dipahami sebaik mungkin sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan apa yang diharapkan, yaitu pihak lawan mau menerima terhadap argumen-argumen yang diberikan dan akhirnya mengikuti apa yang disampaikan. Untuk itu, terdapat beberapa metode mujadalah yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :
  • Mempersiapkan materi. Materi harus disiapkan dengan baik, sehingga maksud dan tujuan dari mujadalah dapat tercapai dengan baik.
  • Mendengarkan pihak lawan dengan arif, bijak, dan seksama. Hal ini diambil agar memberikan kesan yang baik, tidak menyinggung perasaan, dan akhirnya mengerti dan memahami terhadap apa yang disampaikan lawan bicara, sehingga dapat ditentukan langkah atau argument apa yang akan diberikan.
  • Menggunakan ilustrasi, kiasan atau gambaran. Ilustrasi adalah sarana untuk mendekatkan lawan bicara agar lebih yakin terhadap argumen yang di sampaikan. Sedangkan kiasan adalah kata yang dipakai dengan memperbandingkan atau mengibaratkan sesuatu dengan keadaan lainnya.
  • Mematahkan pendapat atau alasan dengan serang balik. Langkah ini diambil apabila lawan sudah melampaui batas akan tetapi tetap memperhatikan norma-norma dan etika dalam berdialog.
  • Apologotik dan elentika. Penyampaian pemikiran dalam mujadalah dilakukan dengan uraian yang sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran (apologotik), serta tidak fanatik dengan paham yang dianutnya.
  • Menahan emosi (tidak marah). Mujadalah harus dilakukan dengan pikiran dingin, tidak terpancing untuk marah.

Sedangkan Abdul Badi’ Saqar, dalam “Bagaimana Berdakwah”, menjelaskan bahwa metode yang dapat dilakukan dalam mujadalah adalah sebagai berikut :
  • Mempersiapkan pendirian dan menyampaikan dengan perkataan yang sebaik-baiknya dan tidak berlebihan.
  • Berkhidmat dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan adalah suatu tindakan yang bijaksana, demikian pula jawaban yang ringkas lagi padat yang disertai dengan teknik-teknik tertentu yang tajam.
  • Tidak mencampuri sesuatu yang bukan bidang spesialisasi anggota diskusi. Sekiranya terpaksa harus mencampurinya, maka perkataan hendaknya disesuaikan serta disertai dengan isyarat atau penjelasan bahwa anda belum mempelajarinya secara detail dan mendalam.
  • Lemah lembut dan berhati-hati, yaitu menaruh perhatian dan mendengarkan sungguh-sungguh dalam sebuah diskusi agar informasi-informasi yang dikemukakan dalam forum diskusi tersebut menjadi pelajaran bagi anggota diskusi, bahkan seseorang dapat mengambil faedah dari hal tersebut.
  • Berbudi yang baik, seperti : tidak memutus pembicaraan orang yang sedang berbicara, menyebutkan nama orang dengan sebutan yang sebaikbaiknya dan tidak membeda-badakan antara satu dengan yang lainnya.
  • Kesimpulan dalam mujadalah (diskusi) hendaknya berkecenderungan memperoleh hasil yang dilakukan dengan tingkatan yang paling utama.

Sayyid Quthb Ibrahim Husain al-Syadzili, dalam “Fiqh Dakwah”, menjelaskan bahwa dalam penerapan metode mujadalah dengan cara yang baik perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
  • Tidak merendahkan pihak lawan, atau menjelek-jelekkan, karena tujuan mujadalah bukan mencari kemenangan, melainkan memudahkannya agar ia sampai kepada kebenaran.
  • Bertujuan semata-mata untuk menunjukkan kebenaran sesuai dengan ajaran Allah.
  • Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia teta memiliki harga diri, oleh karenanya harus diupayakan ia tidak merasa kalah dalam diskusi dan merasa tetap dihargai dan dihormati.


Landasan dan Etika Dalam Mujadalah. Syariat Islam berputar pada siklus logika yang benar, pemikiran yang lurus, perdebatan yang lebih baik dan berorientasi pada pencapaian kebenaran demi kebaikan dan kemaslahatan umat, dalam koridor yang diperbolehkan Allah. Beberapa landasan dan etika dalam mujahadah dalam Islam adalah sebagai berikut :

1. Kejujuran.
Mujadalah hendaklah dibangun di atas pondasi kejujuran, bertujuan mencapai kebenaran, menjauhu kebohongan, kebathilan dan pengaburan.

2. Thematik dan objektif.
Maudhu’iyyah (tematik) dan objektif dalam menyikapi permasalahan, artinya tidak keluar dari tema utama dari sebuah dialog supaya arah pembicaraan jelas dan mencapai sasaran yang diinginkan.

3. Argumentatif dan logis.
Mujadalah bertujuan akhir agar lawan menyadari atau mengikuti dari pada apa yang pembicara inginkan.

4. Bertujuan untuk mencapai kebenaran.
Setiap individu ataupun kelompok harus mencapai satu tujuan yaitu menampakkan dan menjelaskan kebenaran masalah yang diperselisihkan, meskipun kebenaran itu datang dari pihak lawan dialog.

5. Tawadhu’.
Di dalam mujadalah kadang terjadi rasa ketidak-tawadhu’an dalam mengemukakan pendapat atau alasannya, karena ia merasa paling benar, paling bisa, apalagi paling berkuasa.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian mujadalah, unsur, bentuk, tujuan, dan metode mujadalah, serta landasan dan etika dalam mujadalah.

Semoga bermanfaat.