Rukhsah (Hukum Pengecualian) Dalam Konsep Islam : Pengertian, Hukum, Unsur, Jenis, Sebab, Dan Hikmah Rukhsah

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Rukhsah. Secara etimologis, istilah “rukhsah” berasal dari bahasa Arab, yang artinya meringankan dan memudahkan. Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Juada’i, dalam “Tafsir Ilmi Ushul al-Fiqh”, menjelaskan bahwa pengertian rukhsah secara etimologis adalah ringan dan mudah.

Sedangkan secara terminologis, istilah “rukhsah” atau “hukum pengecualian (keringanan)” memiliki beberapa pengertian. Rukhsah dapat diartikan sebagai peraturan (hukum) tambahan yang dikerjakan karena ada hal-hal yang memberatkan, sebagai pengecualian dari hukum pokok, dan hukum pokok tersebut masih tetap belaku. Rukhsah juga dapat berarti hukum yang disyariatkan sebab uzur yang berat sebagai pengecualian dari hukum asal secara umum yang pada dasarnya dilarang serta terbatas pada perkara-perkara yang dibutuhkan (darurah). Yang dimaksud dengan uzur adalah keadaan bukan kebiasaan yang sukar, sempit, sulit, dan susah yang dihadapi oleh seseorang menyebabkan ia terhalang untuk menyempurnakan sepenuhnya tuntutan syariat Islam. Kementerian Agama Republik Indonesia, dalam “Ensiklopedi Islam Jilid IV”, menjelaskan bahwa rukhsah adalah keringanan dan kelonggaran bagi manusia mukallaf dalam melakukan ketentuan Allah pada keadaan tertentu karena ada kesulitan, suatu kebolehan melakukan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) atau keterpaksaan (ad-daruwiyat).

Muhammad Hudhari Biek, dalam “Usul Fiqh”, menjelaskan bahwa rukhsah dalam syara’ memiliki empat esensi, yaitu :
  • suatu hukum yang dikecualikan dalam sekawanan hukum-hukum lainnya yang bersifat universal yang menunjukkan larangan secara mutlak.
  • hukum yang dihapuskan karena hukum-hukum tersebut memberatkan kepada umat Nabi Muhammad SAW, yang dulu pernah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu.
  • hukum-hukum syariat yang memberikan kelonggaran secara mutlak dalam mencapai tujuan kebahagian seorang mukallaf.
  • hukum yang disyariatkan karena adanya uzur yang memberatkan, dan hukum tersebut sebagai pengecualian dari hukum-hukum dasar yang bersifat universal karena hanya bersifat temporer dan kondisional.

Selain itu, pengertian rukhsah juga dikemukakan oleh para ulama dari berbagai mazhab, sebagai berikut :
  • para ulama Hanafiyyah, mengartikan rukhsah adalah keluasan bagi mukallaf untuk melakukan sesuatu sebab adanya uzur terhadap hukum yang asalnya diharamkan bagi yang tidak memiliki uzur tersebut.
  • para ulama Malikiyyah, mengartikan rukhsah adalah hukum yang disyariatkan karena adanya uzur, jika tanpa adanya uzur tersebut niscaya hukum tersebut tetap diharamkan.
  • para ulama Syafi’iyah, mengartikan rukhsah sebagai hukum yang tetap yang menyalahi ketentuan dalil karena adanya uzur.
  • para ulama Hanabilah, mengartikan rukhsah adalah kebolehan terhadap sesuatu yang dilarang, serta masih berlakunya hukum keharaman bagi mukallaf lainnya.


Hukum Rukhsah. Hukum rukhshah adalah mubah, maksudnya adalah boleh diambil atau tidak. Sebab maksud dari hukum rukhshah itu sendiri adalah memberi kelapangan dan keringanan bagi semua mukallaf. Dalam kaidah fiqh, hukum rukhsah dibedakan menjadi lima bagian, yaitu :
  • rukhsah wajib, adalah keringanan yang apabila tidak diambil maka akan menimbulkan kemudharatan atau bahaya bagi seseorang.
  • rukhsah sunnah, adalah keringanan yang dianjurkan untuk dilakukan.
  • rukhsah mubah, adalah keringanan yang dapat ditinggalkan.
  • rukhsah khilaful awla, adalah keringanan yang lebih baik dilakukan.
  • rukhsah makruh, adalah keringanan yang lebih baik ditinggalkan.


Unsur Rukhsah. Rukhsah dalam melakukan ibadah hanya diberikan kepada seorang mukallaf, yaitu pihak yang memikul atau terkena taklif, maksudnya adalah orang yang :
  • telah baligh (dewasa).
  • berakal, yang dengan akalnya itu ia berkemampuan mengetahui fungsi dan yang difungsikannya, serta dengan pengetahuannya itu ia mengerjakan taklif-taklif al-syar’iyah.

Sedangkan beberapa unsur yang ada dalam rukhsah adalah :
  • adanya perubahan hukum dari sulit kepada mudah.
  • perubahan tersebut disebabkan adanya uzur.
  • tetap berlakunya hukum asal bagi mukallaf lain yang bukan memiliki uzur.
  • adanya dalil yang menunjukkan kebolehan mengambil rukhsah.
  • hukum rukhsah bukan hukum asal (asliyyah) tetapi hukum cabang (far’iyyah) yang disyariatkan dalam rangka memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan-kesuliatan setiap umat manusia.


Jenis Rukhsah. Rukhsah dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Ulama Hanafiyyah membagi rukhsah menjadi dua jenis, yaitu :
  • rukhsah tarfîh, adalah rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum azimah tetapi hukum azimah berikut dalilnya tetap berlaku.
  • rukhsah isqat, adalah rukhshah yang menggugurkan hukum azimah terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung.

Ulama Syafi’iyah membagi rukhsah menjadi empat jenis yang didasarkan pada segi hukumnya, yaitu :
  • rukhsah wajib, misalnya : seseorang diperbolehkan untuk mengkonsumsi barang yang diharamkan dalam kondisi yang terdesak.
  • rukhsah sunnah, misalnya : pelaksanaan shalat qasar bagi musafir dengan tujuan sejauh tiga marhalah atau lebih sekira dapat menimbukan kesulitan dalam perjalanan.
  • rukhsah mubah, misalnya : diperbolehkannya akad bertentangan dengan qiyas, seperti aqad salam, ‘ariyah, masaqah, ijarah, dan lain sebagainya.
  • rukhsah yang berhukum khilaf al aula, misalnya : ifthar (buka) puasa bagi orang yang berpergian, padahal ia sebenarnya mampu dan kuat untuk melanjutkan puasa.

Amir Syarifuddin, dalam “Ushul Fikih 1”, menjelaskan bahwa rukhsah dapat dibedakan dalam beberapa jenis yang didasarkan pada :

1. Hukum asal.
Berdasarkan bentuk hukum asalnya, rukhsah terdiri dari :
  • rukhsah memperbuat, yaitu keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang harus ditinggalkan.
  • rukhsah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum azimahnya, yaitu wajib atau sunah yang menurut asalnya dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya akan membahayakan terhadap dirinya.
  • rukhsah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Muhammad SAW.
  • rukhsah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

2. Keringanan yang diberikan.
Berdasarkan keringanan yang diberikan, rukhsah terdiri dari :
  • keringanan dalam hal menggugurkan kewajiban, seperti : bolehnya meninggalkan shalat Jum‟at, haji dan jihad dalam keadaan uzur.
  • keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti : mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang musafir.
  • keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti : mengganti wudhu dan mandi dengan tayammum.
  • keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti : pelaksanaan shalat dzuhur dalam waktu ashar pada jama’ ta’khir karena musafir.
  • keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, seperti : membayar zakat fitrah semenjak datang bulan suci Ramadhan.
  • keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban, seperti : tata cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut dengan shalat khauf.
  • keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena uzur.

Sedangkan Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, dalam “Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami”, mengartikan rukhsah dalam dua pengertian, yaitu :

1. Rukhsah dalam arti kemurahan.

2. Rukhsah dalam arti keringan (takhfif).
Rukhsah dalam arti keringan (takhfif) dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu :
  • takhfif isqat, adalah keringanan yang berupa pengguguran, misalnya : uzur salat jum’at, haji, umrah, dan jihad.
  • takhfif tanqish, adalah keringanan berupa pengurangan, misalnya : diperbolehkannya qasar bagi musafir.
  • takhfif ibdal, adalah keringanan berupa penggantian, misalnya : mandi dan wudhu boleh diganti dengan tayammum.
  • takhfif taqdim, adalah keringanan yang berupa mendahulukan sesuatu yang belum datang waktunya, misalnya : dalam jama’ taqdim, di mana salat asar boleh didahulukan (dilaksanakan) pada waktu zuhur, salat isya boleh dikerjakan pada waktu maghrib ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hujan lebat.
  • takhfif ta’khir, adalah keringanan yang berupa pengakhiran sesuatu yang telah datang waktunya, misalnya : salat jama’ ta’khir, di mana salat zuhur boleh ditunda atau dilaksanakan pada waktu asar, dan salat maghrib pada waktu isya.
  • takhfift tarkhis, adalah kemudahan untuk keringanan, misalnya diperbolehkannya memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan lain sebagainya.
  • takhfif taghyir, adalah keringanan yang berupa perubahan sesuatu yang telah diatur menurut aturan tertentu, misalnya : perubahan runtutan gerak dalam salat saat situasi yang menakutkan (salat al-khawf).


Sebab Rukhsah. Kemampuan setiap muslim dalam menjalankan kewajibannya, sebagaimana disyariatkan dalam ajaran Islam, masing-masing berbeda. Oleh karenanya, umat muslim dalam kondisi-kondisi tertentu diberikan keringanan dalam rangka untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dalam menjalankan ajaran Islam. Terdapat beberapa keadaan yang menyebabkan seorang muslim mendapatkan rukhsah, diantaranya adalah :

1. Kondisi darurat.
Darurat atau “ad-darurah” dalam Islam dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu :
  • dalam arti umum, kondisi darurat adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya maslahat agama dan dunia, yang meliputi : pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks ini, kebutuhan manusia dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu : dharuriyyat, hajiyyat, dan kamaliyyat.
  • dalam arti khusus, kondisi darurat adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak yang menjadikan seseorang terpaksa melanggar larangan syar’i. Kondisi darurat dimaksud adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak, di mana tidak mungkin dapat dihindari yang menyebabkan seseorang melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Hal tersebut dikarenakan, apabila keharaman tersebut tidak dilanggar maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya.

Batasan yang diperlukan sehingga dapat dikatakan sebagai  kondisi darurat adalah sebagai berikut :
  • hendaknya kondisi darurat itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi bukan sekedar praduga yang tidak berdasar.
  • hendaknya upaya menghilangkan kondisi membahayakan tersebut tidak menimbulkan bahaya baru yang lebih besar.
  • mengukur darurat dengan secara proporsional tanpa ditambah-tambahi atau dilebih-lebihkan.
  • hendaknya menghindari darurat itu dalam rangka mewujudkan tujuan syariat.

2. Kondisi kesulitan.
Kesulitan atau “al-masyaqqah” adalah suatu kondisi di mana dalam kondisi biasa mampu dilakukan, tetapi dalam keadaan tertentu menyebabkan seseorang mukallaf mengalami kesukaran untuk melaksanakannya. Berdasarkan ukuran kesulitan, para ulama membedakan kondisi kesulitan tesebut dalam beberapa tingkatan, yaitu :
  • al-masyaqqah al-‘azimah, merupakan kesulitan yang sangat berat dalam bentuk kemudharatan, seperti kekhawatiran akan hilangnya nyawa atau rusaknya anggota badan. Kondisi kesulitan jenis ini membawa keringanan.
  • al-masyaqqah al-mutawasitah, merupakan kesulitan yang pertengahan, ia tidak terlalu berat tapi juga tidak ringan. Kondisi kesulitan semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kondisi kesulitan yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kondisi kesulitan yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.
  • al-masyaqqah al-khafifah, merupakan kesulitan ringan yang bisa diatasi tanpa mengurangi pelaksanaan ibadah tersebut. Kondisi kesulitas jenis ini tidak membawa keringan.

3. Kondisi bepergian.
Terdapat perbedaan di antara para ulama berkaitan dengan batasan minimum jarak seseorang bepergian sehingga mendapatkan keringanan dalam beribadah, sebagai berikut :
  • ulama Malikiyyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, menyebutkan bahwa batas minimum jarak perjalanan yang mendapatkan keringanan adalah 88,704 kilo meter.
  • ulama Hanafiyah, menyebutkan bahwa batas minimum jarak perjalanan yang mendapatkan keringanan adalah sekitar perjalanan 3 hari 3 malam dengan mengendarai onta atau jalan kaki.

4. Kondisi paksaan.
Paksaan atau “al-ikrah” adalah suatu upaya membuat orang lain harus melakukan sesuatu yang tidak disukai dengan ancaman yang mampu dilaksanakan oleh pelakunya. Dalam paksaan harus terkandung unsur ancaman yang membahayakan orang yang dipaksa, baik jiwanya, badannya atau hartanya atau membahayakan orang lain yang sangat diperhatikan.

5. Kondisi sakit.
Sakit atau “al-marad” adalah cobaan yang diberikan kepada manusia oleh Allah. Tidak setiap jenis sakit yang diderita oleh seseorang dapat diberikan rukhsah. Terdapat dua pendapat yang berkaitan dengan kondisi sakit yang dapat memperoleh keringanan, yaitu :
  • pertama, sakit yang memperoleh rukhsah adalah setiap jenis sakit, tidak ada perbedaan antara sakit satu dengan lainnya. Intinya, selama dapat dikatakan sakit, ia mendapatkan rukhsah.
  • kedua, bila sakit tersebut sangat menyakitkan, menyulitkan atau dikhawatirkan akan menunda kesembuhan, maka kondisi seperti itu ia akan diberikan rukhsah.

6. Kondisi lupa.
Lupa atau “an-nisyan” adalah kondisi tidak mampunya seseorang menghadirkan sesuatu dalam otaknya pada saat ia diperlukan. Lupa merupakan salah satu dari kelonggaran hukum syari’at yang membolehkan yang terlupa itu tidak dikira berdosa akan apa yang dilupainya itu. Kondisi lupa dapat dibedakan menjadi tiga hal, yaitu :
  • jika yang lupa itu adalah perkara yang tidak dapat ulangi kembali, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang dimaafkan.
  • jika yang terlupa itu adalah sesuatu yang dapat diulangi kembali, maka adalah wajib didirikan seperti semula disaat teringat.
  • jika yang terlupa itu adalah hak orang lain, maka wajib dikembalikan atau dibayar seperti sedia kala bila teringat sekalipun sudah berpuluhan tahun lamanya.

7. Kondisi keliru.
Keliru atau “al-khata’” adalah terjadinya suatu perbuatan atau perkataan yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelakunya. Keliru dapat dibedakan menjadi tiga hal, sebagai berikut :
  • keliru dalam pelaksanaan, yaitu kekeliruan yang terjadi pada pelaksanaan perbuatan itu sendiri.
  • keliru dalam sasaran, yaitu kekeliruan yang terjadi pada sasaran yang diinginkannya.
  • keliru dalam perkiraan, yaitu kekeliruan yang terjadi berkaitan dengan sesuatu yang diperkirakan.

8. Kondisi tidak tahu.
Tidak tahu atau “al-jahlu” adalah ketidak-tahuan tentang sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Sifat ketidak-tahuan dapat menyebabkan seseorang diberikan keringanan apabila seseorang tersebut tidak mengetahui sesuatu informasi tentang hal-hal yang memang memungkinkan untuk tidak mengetahuinya. Para ulama membedakan kondisi tidak tahu dalam beberapa tingkatan, yaitu :
  • ketidak-tahuan yang tidak bisa dimaafkan dan tidak ada kesamaran. Misalnya : murtad setelah iman, melanggar hukum yang ditetapkan keharamannya secara pasti dalam al-Quran dengan menganggapnya halal, dan lain sebagainya.
  • ketidak-tahuan yang dimaafkan karena adanya kesamaran dalil. Misalnya : ketidaktahuan tentang masalah-masalah yang perlu adanya tafsir dan takwil dan tidak jelas kecuali setelah diselidiki dan dipikirkan secara mendalam.
  • ketidak-tahuan tentang masalah yang harus menjadi obyek ijtihad yang tidak ada sandaran dalil yang pasti atau adanya kesamaran yang menggugurkan hukuman.
  • ketidak-tahuan tentang hukum-hukum Islam bagi orang-orang tinggal di negara (lingkungan) non muslim. Tingkat ketidaktahuan ini sangat kuat sehingga menurut jumhur fuqaha dapat menggugurkan taklif (beban) hukum syara’.

9. Kondisi umum al-balwa.
Kondisi umum al-balwa maksudnya adalah banyaknya suatu kondisi yang kurang baik (al-bala’) terjadi di masyarakat yang mana seseorang tidak bisa menghindarinya atau menjauhinya.

10. Kondisi Kekurangan.
Kekurangan atau “an-naqs” adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menerima kewajiban dan menerima hak.


Hikmah Rukhsah. Adanya rukhsah atau hukum pengecualian yang meringankan memiliki banyak hikmah bagi umat muslim, diantaranya adalah :
  • agar selalu mengingat Allah dalam menjalani kehidupan. Apa pun yang dilakukan bahkan apa pun yang dipikirkan diusahakan termasuk dalam perbuatan ibadah.
  • terhindar dari perbuatan maksiat. Bila kita selalu mengingat Allah, tentunya kita akan selalu merasa diawasi dan dilihat oleh-Nya.
  • sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah karena kenikmatan yang sudah diberikan.
  • menunjukkan bahwa ajaran Islam sebenarnya tidak membebani umatnya di luar kadar kemampuannya.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian rukhsah, hukum, unsur, jenis, dan sebab rukhsah, serta hikmah rukhsah.

Semoga bermanfaat.