Penemuan Hukum (Rechtvinding) Oleh Hakim : Pengertian, Dasar, Kegunaan, Metode, Serta Aliran Dalam Penemuan Hukum (Rechtvinding) Oleh Hakim

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Dalam praktek hukum, hakim senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkret, yang terkadang atas peristiwa konkret tersebut tidak jelas atau bahkan belum ada pengaturan hukumnya. Dalam hal demikian, hakim dituntut untuk mencari jalan pemecahannya yaitu dengan mencari atau menemukan hukumnya, sehingga terhadap kasus atau peristiwa yang ditanganinya tersebut dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya.  

Pengertian Penemuan Hukum (Rechtvinding). Penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit, yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.  Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH dalam bukunya yang berjudul "Mengenal Hukum Suatu Pengantar" menyebutkan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.

Baca juga : Macam-Macam Putusan Pengadilan Berikut Penjelasannya

Van Apeldorn menyebutkan bahwa seorang hakim dalam usahanya untuk melakukan penemuan hukum harus berpegang pada hal-hal sebagai berikut :
  • menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan fakta konkret. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkret (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan  kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup di dalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal tersebut perlu dilakukan oleh seorang hakim karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada di dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
  • menambah atau melengkapi peraturan perundang-undangan apabila diperlukan. Dalam melaksankan tugasnya, hakim harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut perlu dijalankan oleh karena ada kalanya pembuat peraturan perundang-undangan tertinggal oleh perkembang-perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.   
Dasar Penemuan Hukum (Rechtvinding). Kewajiban bagi seorang hakim untuk menemukan hukum terhadap kasus atau peristiwa konkret yang ditanganinya yang tidak jelas atau tidak ada aturan hukumnya adalah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 

1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009.
Ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa :
  • 1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia

Ketentuan tersebut mengandung maksud bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman merupakan asas universal yang terdapat dalam berbagai negara. Kebebasan peradilan merupakan kebebasan bagi hakim dalam mengadili dan bebas dari campur tangan pihak manapun juga. Kebebasan ini memberikan kewenangan pada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa.

2. Pasal 4 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009.
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa :
  • (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  • (2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan tersebut mengandung maksud bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada di dalam satu sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.

3. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009.
Ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang : 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa :
  • (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya

Ketentuan tersebut mengandung maksud bahwa hakim wajib memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang ditanganinya walaupun tidak atau belum ada hukumnya. Hal tersebut berarti hakim wajib menemukan hukumnya.
Sedangkan dalam melakukan penemuan hukum, hakim berpegang pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa :
  • (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kata "menggali" sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut mengasumsikan bahwa hukumnya ada tetapi tersembunyi, oleh karenanya hukum tersebut harus dicari dan diketemukan. Hukum dimaksud bukannya tidak ada, kemudian diciptakan. Sedangkan :
  • Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat, atau berkarya oleh itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari, atau menemukannya.
  • Scholten, berpendapat bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya oleh karenanya harus digali, dicari, dan diketemukan.
Kegunaan Penemuan Hukum (Rechtvinding). Penemuan hukum berguna untuk mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat, yang secara tidak langsung akan memberikan kepastian hukum dalam masyarakat. Hal tersebut (penemuan hukum) dilakukan oleh hakim dikarenakan beberapa hal diantaranya :
  • adakalanya pembuat undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang sifatnya sangat umum, sehingga oleh sebagian orang hal tersebut dapat menimbulkan lebih dari satu pengertian atau pemaknaan.
  • adakalanya istilah, kata, atau kalimat yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.
Metode Penemuan Hukum (Rechtvinding). Dalam praktek peradilan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan oleh hakim dalam menemukan hukum, yang pada garis besarnya dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu :

1. Penafsiran (Interpretasi).
Penafsiran adalah suatu metode penemuan hukum yang digunakan oleh hakim dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.  Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi. Singkatnya, metode penafsiran adalah suatu sarana atau alat untuk mengetahui makna dari undang-undang.

Metode penafsiran sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara berdasarkan sebagai berikut :
  • penafsiran menurut bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran undang-undang menurut arti kata yang terdapat pada undang-undang. 
  • penafsiran secara historis, yaitu penafsiran undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang. Penafsiran secara historis dapat dibedakan menjadi dua bagian : 1. penafsiran menurut sejarah hukum (recht historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. 2. penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (wethistorirsche interpretatie) adalah penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi di legislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukan undang-undang tersebut.
  • penafsiran secara sistematis, yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, atau dengan undang-undang lain, serta membaca penjelasan undang-undang tersebut sehingga dapat dipahami maksudnya. 
  • penafsiran secara teleologis sosiologis, yaitu penafsiran menurut makna undang-undang tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, maksudnya peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
  • penafsiran secara perbandingan (komparatif), yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain. Cara ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum, terutama bagi hukum yang timbul dari suatu perjanjian internasional.
  • penafsiran secara futuristik atau penafsiran menurut aturan yang  belum mempunyai kekuatan hukum, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan jalan menjelaskan undang-undang dengan berpedoman pada kekuatan rancangan atau rencana undang-undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku. 
  • penafsiran secara resmi (autentik), yaitu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang tersebut.
  • penafsiran secara memperluas (ekstentif), yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya.
  • penafsiran secara membatasi (restriktif), yaitu pembafsiran yang membatasi atau mempersempit maksud suatu pasal dalam undang-undang.

2. Konstruksi Hukum.
Konstruksi hukum adalah suatu metode penemuan hukum yang digunakan oleh hakim apabila dalam mengadili suatu perkara tidak atau belum ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode konstruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa konkrit yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.

Konstruksi hukum dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara :
  • argumentum per analogiam (analogi). Metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang, maupun yang belum ada pengaturannya. Dalam metode ini dianalogikan bahwa suatu peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis, atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
  • penyempitan hukum (rechtsvervijnings). Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. 
  • argumentum a contrario. Metode ini memberikan kesempatan pada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan tersebut terbatas pada peristiwa tertentu tersebut dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Oleh karenanya ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang. Maksud dari metode ini adalah menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.
  • fiksi hukum. Esensi dari fiksi hukum adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Fungsi dari fiksi hukum, di samping untuk memenuhi kebutuhan menciptakan stabilitas hukum, juga untuk mengisi kekosongan undang-undang. Metode ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik pengadilan, karena seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana kejahatan, tidak dapat berdalih untuk dibebaskan dengan alasan tidak mengetahui hukumnya bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan suatu kejahatan yang dapat dijatuhi pidana.


Persyaratan dalam Melakukan Konstruksi Hukum. Rudolph von Jhering menyebutkan bahwa untuk melakukan metode konstruksi hukum diperlukan tiga hal sebagai persyaratan utama, yaitu :
  • konstruksi hukum harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang bersangkutan.
  • dalam pembuatan konstruksi hukum tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya atau tidak boleh membantah dirinya sendiri.
  • konstruksi tersebut mencerminkan faktor keindahan (estetika), yaitu konstruksi tersebut bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan konstruksi harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, sehingga dimungkinkan penggabungan berbagai peraturan, pembuatan pengertian-pengertian baru dan lain-lain.

Baca juga : Asas Larangan Penggunaan Analogi Dalam Hukum Pidana

Aliran dalam Penemuan Hukum (Rechtvinding). Terdapat beberapa aliran dalam penemuan hukum, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Legisme.
Aliran legisme berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Peradilan yang dilakukan adalah semata-semata merupakan penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. Hakim hanyalah subsimpte automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis. Kebiasaan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang. Dalam aliran legisme, hukum dan undang-undang adalah identik, yang dipentingkan adalah kepastian hukum.

2. Freirechtbewegung.
Aliran  Freirechtbewegung muncul sebagai reaksi dari aliran legisme. Aliran ini menentang keras pendapat yang menyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses penemuan hukum tidak memiliki sumbangan kreatif. Aliran  Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim memang harus menghormati undang-undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima. Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya. Di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.

3. Begriffsjurisprudenz.
Aliran begriffsjurisprudenz berpendapat bahwa undang-undang sekalipun tidak lengkap, tetap mempunyai peran penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Dalam aliran ini, tidak hanya mengakui undang-undang sebagai sumber hukum, tetapi ada yang lain yang dianggap sebagai sumber hukum, seperti kebiasaan dalam masyarakat. Aliran begriffsjurisprudenz melihat hukum sebagai suatu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem asas-asas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang pasti untuk setiap peristiwa konkret.

4. Interessenjurisprudenz.
Aliran Interessenjurisprudenz muncul sebagai reaksi dari aliran begriffsjurisprudenz. Aliran Interessenjurisprudenz menitik-beratkan pada kepentingan-kepentingan yang difiksikan, dan oleh karena itu pula aliran ini disebut interessenjurisprudenz. Aliran Interessenjurisprudenz berpendapat bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis saja, akan tetapi harus dinilai menurut tujuannya.

Baca juga : Dapatkah Perkara Perdata Diproses Menjadi Perkara Pidana ?

Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian penemuan hukum (rechtvinding), dasar, kegunaan, metode, dan aliran dalam penemuan hukum (rechtvinding) oleh hakim.

Semoga bermanfaat.