Tonjokan secara umum berarti pukul-pukulan. Tapi yang dimaksud dengan tonjokan disini bukanlah adegan pukul-pukulan tersebut, melainkan hantaran makanan kepada saudara, kerabat dekat, tetangga, ataupun sahabat dari seseorang yang hendak mengadakan hajatan atau perayaan besar, seperti pernikahan atau khitanan.
Tradisi tonjokan ini adalah salah satu warisan budaya yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat Jawa. Di kota-kota kecil di pulau Jawa, apabila sebuah keluarga akan mengadakan hajatan, biasanya mereka akan melakukan tonjokan. Pengiriman makanan kepada tetangga sekitar (tonjokan) diartikan pula sebagai pemberitahuan sekaligus undangan untuk menghadiri acara hajatan yang diadakan oleh keluarga "penonjok" tersebut. Sebagian orang memang ada yang mengirimkan tonjokan sebagai ganti undangan formal, sembari mengirimkan makanan hantaran tersebut, si pengantar menyampaikan maksud si empunya hajat kepada penerima "tonjokan".
Tonjokan bisa juga merupakan sebuah undangan yang bersifat lebih personal. Dengan mengirim tonjokan, yang punya hajad menunjukkan bahwa dirinya benar-benar mengharapkan kehadiran si penerima. Tidak semua orang menerima tonjokan, hanya mereka yang hubungannya benar-benar dekat dengan yang punya hajat yang akan menerima "tonjokan". Di samping sebagai undangan, hantaran itu juga sebagai bentuk ucapan syukur atau permohonan doa restu.
Isi dari tonjokan bermacam-macam. Pada umumnya berisi nasi dan lauk pauk seperti telur, ayam, sambal goreng, bihun, dan lain sebagainya. Selain itu, akan ditambahkan pula buah-buahan, seperti pisang atau jeruk serta kue-kue jajanan pasar. Isi tonjokan bisa menggambarkan status sosial seseorang. Semakin orang tersebut terpandang, biasanya isi tonjokannya pun semakin banyak dan bervariasi.
Cara mengemas tonjokan juga bermacam-macam, biasanya tonjokan dikemas dalam kardus atau besek. Tapi ada pula di beberapa daerah yang mengemas tonjokan dengan menggunakan rantang atau baskom.
Dalam praktek, tonjokan sering membuat orang salah paham. Hal ini dikarenakan tidak semua orang mendapatkan tonjokan, sehingga orang yang tidak mendapatkan tonjokan seringkali merasa kalau dirinya tidak dianggap atau tidak diharapkan kehadirannya. Sehingga yang terjadi, mereka memutuskan untuk tidak menghadiri acara hajatan tersebut meskipun sudah menerima undangan secara formal.
Bagi mereka yang telah menerima "tonjokan", mereka memiliki kewajiban untuk datang. Jika tidak datang, hal tersebut bisa membuat si "penonjok" akan kecewa. Selain keharusan untuk datang, biasanya penerima tonjokan, secara tidak langsung, juga diharapkan memberikan balasan yang pantas ketika menghadiri hajatan tersebut. (majalah Sekar)