Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Bagaimanakah cara hakim memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, apabila mengenai hukum dari perkara tersebut tidak ada atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan ? Pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya. Dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim mempunyai kewenangan untuk membuat hukum sesuai dengan keyakinannya, apabila aturan perundang-undangan tidak mengatur tentang perkara yang ditanganinya tersebut. Dalam membuat hukum tersebut, hakim pada umumnya akan melakukan penafsiran hukum.

Penafsiran hukum atau Interprestasi hukum dilakukan oleh hakim bilamana peraturan perundangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi.  Atau dengan kata lain hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit,   oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Akan tetapi keputusan hakim yang diambil berdasarkan penafsiran hukum tersebut hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan saja, karena tujuannya semata-mata untuk memberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil untuk para pihak yang bersengketa dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum.

Dalam menafsirkan hukum, tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang, hakim mesti mengingat pula adat istiadat, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan pendapat hakim sendiri ikut menentukan. Agar dapat mencapai kehendak pembuat undang-undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan perundangan.

Ada beberapa cara penafsiran hukum, antara lain :
  1. Penafsiran tata bahasa (grammatikal), yaitu cara menafsirkan berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang.Yang dianut adalah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan.
  2. Penafsiran sahih (autentik, resmi), ialah penafsiran yang pasti terhadap kata-kata yang dipakai dalam pasal-pasal undang-undang sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
  3. Penafsiran historis. Ditinjau dari dua sisi yaitu : yang pertama adalah dari sisi sejarah hukumnya, yang dicari maksud berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sedangkan yang kedua adalah dari sisi sejarah undang-undangnya, yang dicari maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu.
  4. Penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain.
  5. Penafsiran nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
  6. Penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu.
  7. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan sebagai bagian dari peristiwa hukum.
  8. Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
  9. Penafsiran analogis, yaitu penafsiran pada sesuatuperaturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
  10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam pasal undang-undang.
Dengan cara penafsiran-penafsiran hukum tersebut biasanya seorang hakim mengambil dan menjatuhkan suatu putusan, apabila aturan perundang-undangan tidak  atau belum mengatur mengenai suatu perkara tertentu.

Semoga bermanfaat.