Pengertian Qiyas. Dalam salah satu hadits diriwayatkan ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal ke Negeri Yaman, beliau bertanya, yang artinya :
“Dengan apa engkau memutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu ?” Muadz berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah, Al Quran, bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan condong” Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan”. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut adalah Rasulullah SAW memberikan persetujuan kepada Muadz untuk berijtihad dalam memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam Al Quran dan as-sunnah. Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya adalah qiyas.
Secara etimologi, istilah qiyas berasal dari bahasa Arab, yang berakar kata "qaasa - yaqishu - qiyaasan", yang berarti pengukuran, yaitu mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara keduanya. Sedangkan secara terminologi, qiyas memiliki berbagai pengertian. Diantaranya, qiyas dapat berarti mempersamakan ketentuan hukum antara sesuatu yang sudah ada aturan hukumnya, dengan sesuatu yang lain yang belum diatur hukumnya dalam nash (Al Quran dan Sunnah), karena ada kesamaan illat antara keduanya.
Selain itu, pengertian qiyas juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya :
- Wahbah az-Zuhaili, dalam "Ushul al-Fiqh al-Islami", menjelaskan bahwa qiyas adalah status hukum syariah pada suatu masalah yang tidak disebutkan nash-nya, dengan masalah lain yang disebutkan nasahnya, karena adanya persamaan illat di antara keduanya.
- Al-Ghazali, dalam "al-Mustashfa", menjelaskan bahwa qiyas adalah menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
Baca juga : Pengertian Ijtihad
Rukun Qiyas. Qiyas tidak dapat terwujud dan terkonstruksi, kecuali telah dipenuhinya empat unsur yang juga disebut dengan rukun qiyas atau arkan al-qiyas, yaitu :
1. Al-Ashlu.
Al-ashlu merupakan hukum yang sudah jelas dan didasarkan pada nash yang jelas. Suatu ketentuan dapat menjadi al-ashlu, jika memenuhi syarat sebagai berikut :
- keberadaannya ditegaskan oleh nash syara berupa Al Quran, sunnah, dan ijma’.
- nash yang menjadi sandaran al-ashlu tidaklah mansukh.
2. Al-Far'u.
Al-far'u merupakan cabang, yaitu suatu masalah yang tidak ditemukan nash hukumnya di dalam Al-Quran atau as-sunnah secara eksplisit. Al-Far’u sebagai lawan kata dari al-ashlu di atas. Syarat keabsahan al-far’u adalah kebalikan dari syarat keabsahan al-ashlu, yaitu :
- status hukum al-far’u dan al-far’u itu sendiri keberadaannya tidak ditegaskan oleh nash syara’.
- seandainya ada yang mengqiyaskan hukum fara’ pada hukum ashl yang mana terdapat dalil khusus pada fara’, maka qiyas itu dihukumi dengan qiyas fasid al-'itibar.
Di samping itu, disyaratkan pula al-'illah yang terdapat pada ashl memiliki kesamaan dengan al-'illah yang terdapat pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan al-'illah, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyas) dalam keduanya. Adapun qiyas yang tidak terdapat syarat ini, para ulama menyebutnya dengan istilah qiyas ma'a al-fariq.
3. Al-Hukm.
Al-hukm merupakan hukum syar'i yang ada dalam nash, dimana hukum itu tersemat pada al-ashlu di atas. Syarat yang harus dipenuhi sebagai hukum al-ashlu adalah sebagaimana berikut :
- hukum praktis (amaly).
- esensinya dapat dipahami dengan penalaran akal sehat (ma’qul al-ma’na). Oleh karena itu, tidak dibolehkannya melakukan qiyas dalam masalah ta'abuddiyah (progratif Allah), yang al-'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti : jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah, dan lain sebagainya.
- hukumnya bersifat umum serta tidak menyangkut perihal kekhususan tertentu (khushushiyyah). Maka untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Seperti : menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Muhammad SAW saja.
4. Al-Illat.
Al-illat merupakan kesamaan sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan juga pada al-far'u. lllat adalah sifat yang terdapat dalam hukum al-ashlu yang digunakan sebagai dasar hukum. Adanya illat menentukan adanya qiyas atau menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada masalah yang lain. Syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan sebuah sifat yang melekat pada al-ashlu sebagai al-illat adalah sebagai berikut :
- berupa sifat yang kongkrit (zhahir).
- berupa sifat yang pasti dan terukur (mundhabith).
- mempunyai relevansi dengan tujuan penetapan hukum (munasib).
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari’) tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, illat dapat dibedakan menjadi empat, yaitu :
- munasib mu’tsir, merupakan persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, atau dengan kata lain sudah ada hukum yang sesuai dengan sifat itu.
- munasib mulaim, merupakan persesuaian yang diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja.
- munasib mursal, merupakan munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’.
- munasib mulghaa, merupakan munasib yang tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.
Baca juga : Pengertian Ikhtiar
Syarat Rukun Qiyas. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh rukun qiyas adalah :
1. Ashal (pokok) :
- adanya ashal harus lebih dahulu dari cabang (far’un);
- ashal sudah mempunyai hukum yang ditetapkan dengan nash.
2. Far’un (cabang) :
- adanya cabang tidak boleh dahulu daripada ashal. Seperti, wudlu tidak sah diqiyaskan dengan tayamum karena perintah qudlu lebih dahulu dari tayamum.
- cabang tidak mempunyai ketentuan hukum sendiri. Sehingga apabila datang nash untuk cabang, maka qiyas terhadap hal tersebut menjadi batal.
- illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada ashal.
- hukum yang ditetapkan atas cabang harus sama dengan hukum ashal.
3. Illat (titik persamaan atau alasan) :
- illat harus tetap berlaku.
- illat harus berpengaruh terhadap hukum, maksudnya hukum harus terwujud ketika terdapat illat. Misalnya illat memabukkan menjadikan haramnya minuman keras.
- illat harus terang dan tertentu.
- illat tidak berlawanan dengan nash. Apabila terjadi illat yang menghasilkan hukum yang berlawanan dengan nash, maka nash yang didahulukan.
Baca juga : Pengertian Karomah
Pembagian Qiyas. Qiyas dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yang didasarkan pada :
1. Kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal.
Berdasarkan kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada illat yang terdapat pada ashal, qiyas terdiri dari :
- qiyas awlawi, adalah qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
- qiyas musawi, adalah qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
- qiyas adwan, adalah yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2. Kejelasan illat.
Berdasarkan kejelasan illat-nya, qiyas terdiri dari :
- qiyas jail, adalah qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
- qiyas khafi, adalah qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3. Keserasian illat dengan hukum.
Berdasarkan keserasian illat-nya dengan hukum, qiyas terdiri dari :
- qiyas muatsir, adalah qiyas yang diibaratkan dengan dua definisi Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma. Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
- qiyas mulaim, adalah qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas.
Berdasarkan dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas, qiyas terdiri dari :
- qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, adalah qiyas yang meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
- qiyas illat, adalah qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
- qiyas dilalah, adalah qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
5. Metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu.
Berdasarkan metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu, qiyas terdiri dari :
- qiyas ikhalah, adalah qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode munasabah dan ikhalah.
- qiyas syabah, adalah qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
- qiyas sabru, adalah qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
- qiyas thard, adalah qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.
Baca juga : Pengertian Aqidah Dalam Islam
Perbedaan Antara Qiyas dan Ijtihad. Terdapat beberapa hal yang membedakan antara qiyas dan ijtihad. Perbedaan antara qiyas dan ijtihad adalah sebagai berikut :
1. Qiyas :
- berkaitan dengan kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam syara, sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya.
- merupakan suatu sumber ijtihad.
- tidak dapat berlaku dalam bidang ibadah, hudud, dan kafarat.
2. Ijtihad :
- berkaitan dengan kejadian-kejadian baik yang ada nash, maupun yang dzanni wurud dan dalalah-nya tidak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah untuk menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu ‘am atau khas. Jika termasuk ‘am, apakah masih tetap ‘am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada nash, adalah untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.
- merupakan sesuatu yang lebih umum daripada qiyas.
- dapat dilakukan di segala bidang.
Baca juga : Pengertian Al Quran
Qiyas merupakan dalil yang dikuatkan oleh fitrah yang sehat dan logika yang benar, sebagai sumber pembentukan hukum yang sejalan dengan kejadian yang terus menerus datang dan menyingkap hukum syariat terhadap berbagai peristiwa baru yang terjadi dan menyelaraskan antara pembentukan hukum dan kemaslahatan.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian qiyas, rukun, syarat rukun, dan pembagian qiyas, serta perbedaan antara qiyas dan ijtihad.
Semoga bermanfaat.