Cacat Hukum (Legal Defect) : Pengertian Cacat Hukum Dan Bentuk Cacat Formil Dalam Gugatan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Cacat Hukum. Secara umum, istilah “cacat hukum” atau “legal defect” dapat diartikan sebagai suatu ketidak-sempuraan atau ketidak-lengkapan hukum, baik dalam suatu peraturan, perjanjian, kebijakan, atau suatu hal lainnya, yang disebabkan karena tidak sesuai dengan hukum sehingga tidak mengikat secara hukum. Cacat hukum juga dapat berarti suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat dan tidak mengikat secara hukum.

Susan Ellis Wild
, dalam “Dictionary of Law”, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan cacat hukum adalah :
  • kesalahan atau cacat dalam proses atau produk, mempengaruhi kinerja dan berpotensi menyebabkan kerusakan.
  • suatu kekurangan dalam dokumen hukum yang dapat menyebabkan ketidak-absahannya, atau dalam pembelaan yang dapat menyebabkan pemecatannya.

Cacat hukum dalam konteks suatu putusan pengadilan dikenal dengan istilah “cacat formil”. Adanya cacat formil ini mengakibatkan isi dari putusan hakim menyatakanbahwa gugatan tidak dapat diterima atau “niet ontvankelijke verklaard” atau biasa disebut sebagai putusan “NO”, yaitu putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Maksudnya adalah gugatan yang diajukan tersebut tidak dapat ditindak-lanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili, sehingga tidak ada obyek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi.


Bentuk Cacat Formil dalam Gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, dalam “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, disebutkan bahwa terdapat berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, diantaranya adalah :

1. Tidak Memenuhi Syaratnya Surat Kuasa dalam Gugatan.
Maksudnya adalah gugatan yang ditanda-tangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR (Herziene Indlandsch Reglement) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui. Ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR, menyebutkan bahwa :

Jika dikehendaki, para pihak dapat didampingi atau menunjuk seorang kuasa sebagai wakilnya, untuk ini harus diberikan kuasa khusus untuk itu, kecuali jika si pemberi kuasa hadir. Penggugat juga dapat memberi kuasa yang dicantumkan dalam surat gugatan, atau dalam gugatan lisan dengan lisan, dalam hal demikian harus dicantumkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.”

Ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR tersebut hanya menyebutkan syarat-syarat pokoknya saja berkaitan dengan surat kuasa. Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung mengadakan beberapa penyempurnaan terutama berkaitan dengan pembedaan antara surat kuasa khusus dengan surat kuasa umum, yaitu melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA), diantaranya adalah :
  • SEMA Nomor : 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959.
  • SEMA Nomor : 5 Tahun 1962, tanggal 30 Juli 1962.
  • SEMA Nomor : 1 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971.
  • SEMA Nomor :6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994.

Berdasarkan keempat SEMA tersebut, maka pada prinsipnya syarat-syarat dan formulasi Surat Kuasa Khusus adalah sebagai berikut :
  • menyebutkan dengan jelas dan spesifik surat kuasa, untuk berperan di pengadilan.
  • menyebutkan kompetensi relatif, pada Pengadilan Negeri mana kuasa itu dipergunakan mewakili kepentingan pemberi kuasa.
  • menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (sebagai penggugat dan tergugat).
  • menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara. Paling tidak, menyebutkan jenis masalah perkaranya.

Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan kuasa tidak sah, atau dikatakan surat kuasa khusus tersebut cacat formil.


2. Gugatan Tidak Memiliki Dasar Hukum.
Suatu gugatan dikatakan tidak memiliki dasar hukum, apabila terdapat kondisi sebagai berikut :

2.1. Dalil gugatan berdasarkan perjanjian tidak halal.
Misalnya : perjanjian milik beding, yaitu perjanjian antara debitur dan kreditur, di mana apabila debitur gagal melunasi hutangnya, maka agunan debitur akan menjadi milik kreditur, sekalipun harga agunan jauh melampaui nilai hutangnya. Kondisi tersebut secara tegas dilarang sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyebutkan bahwa :

Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum”.


2.2. Gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum.
Kesalahan hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan, dianggap tidak mempunyai dasar hukum dalam penegasan perkara dimaksud. Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa :

Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.


2.3. Tuntutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta.
Misalnya salah satu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menegaskan bahwa gugatan yang tidak memberikan dasar dan alasan, dalam arti gugatan tidak menjelaskan berapa hasil sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak yang tersebut dalam petitum dianggap sebagai gugatan yang tidak jelas dasar hukumnya.

2.4. Dalil gugatan yang saling bertentangan.
Suatu dalil gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil lainnya, dapat dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai landasan dasar hukum yang jelas.

2.5. Hak atas obyek gugatan tidak jelas.
Dalil gugatan yang tidak menyebutkan secara jelas dan pasti hak penggugat atas obyek yang disengketakan, dianggap tidak memenuhi syarat dan dinyatakan tidak sempurna.


3. Plurium Litis Consortium.
Plurium litis consortium merupakan gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi. M. Yahya Harahap mengelompokkan “error in persona” dalam beberapa hal sebagai berikut :

3.1. Diskualifikasi in person.
Diskualifikasi in person terjadi apabila yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), karena penggugat dalam kondisi berikut :
  • tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan.
  • tidak cakap melakukan tindakan hukum.

3.2. Salah sasaran pihak yang digugat.
Adanya kesalahan atau kekeliruan dalam menarik orang sebagai tergugat atau “gemis aanhoeda nigheid”, atau dapat juga dikatakan salah sasaran apabila yang digugat adalah anak di bawah umur atau di bawah perwalian (pengampuan) tanpa mengikut-sertakan orang tua atau walinya atau pengampunya.

3.3. Gugatan kurang pihak.
Gugatan kurang pihak terjadi apabila pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat.


4. Gugatan Mengandung Cacat Obscuur libel.
Gugatan mengandung cacat obscuur libel maksudnya adalah gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya. Gugatan mengandung cacat obscuur libel terdiri dari :

4.1. Eksepsi obscuur libel.
Obscuur libel oleh M. Yahya Harahap diartikan sebagai surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas (onduidelijk). Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Sehingga untuk memperkuat eksepsi obscuur libel, tergugat dapat mengajukan beberapa argumen diantaranya adalah :
  • adanya ketidakjelasan dasar hukum gugatan.
  • adanya ketidakjelasan objek yang disengketakan oleh penggugat.
  • adanya ketidakjelasan dalam perincian petitum gugatan.
  • posita dan petitum gugatan tidak relevan dan atau saling bertentangan.

4.2. Eksepsi ne bis in idem.
Ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata, menyebutkan bahwa ;

Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama, dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya. Atau dengan kata lain, syarat-syarat ne bis in idem sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1917 KUH Perdata tersebut adalah :
  • apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya.
  • terhadap perkara terdahulu, telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
  • perkara yang disengketakan dalam putusan tersebut telah berakhir dengan tuntas.
  • subyek atau pihak yang berperkara adalah sama.
  • obyek yang digugat adalah sama.

Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga apabila salah satu diantaranya tidak terpenuhi maka pada putusan tersebut tidak melekat asas ne bis in idem.

4.3. Melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.
Hal penting yang harus diperhatikan saat mengajukan gugatan ke pengadilan adalah melihat apakah penggugat sudah benar menujukan gugatan tersebut kepada badan peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut atau tidak. Ketentuan Pasal 134 HIR, menyebutkan bahwa :

Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib mengakuinya karena jabatannya.”

Dalam perkara perdata diatur dua macam kewenangan atau kompetensi, yaitu :

4.3.1. Kewenangan atau kompetensi relatif.
Kewenangan atau kompetensi relatif merupakan pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai kewenangan relatif ini diatur pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini menggunakan asas “actor sequitor forum rei”, yang berarti yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.

Terhadap kewenangan atau kompetensi relatif, apabila tergugat tidak mengajukan jawaban atau eksepsi mengenai kewenangan relatif, maka perkara tetap dapat dilanjutkan pemeriksaannya karena tidak menyangkut hal krusial, yaitu hanya mengenai lokasi pengadilan seharusnya.

4.3.2. Kewenangan atau kompetensi absolut.
Kewenangan atau kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, dan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht). Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 136 HIR, yang menyebutkan bahwa :

Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh si tergugat, dikecualikan hanya hal-hal hakim tidak berkuasa, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang satu-satu, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan sekaligus dengan pokok perkara.”

Terhadap pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut tersebut hakim akan menunda pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut disebabkan karena pemeriksaan serta pemutusan mengenai eksepsi tersebut diambil dan dijatuhkan sebelum pemeriksaan pokok perkara.

Terhadap kewenangan absolut, walaupun tergugat tidak mengajukan eksepsi kewenangan absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka majelis hakim tetap harus memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan yang bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan pemeriksaan.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian cacat hukum (legal defect) dan bentuk cacat formil dalam suatu gugatan.

Semoga bermanfaat.