Tidak semua orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana. Dalam hukum pidana dikenal adanya satu asas yaitu "geen straf zonder schuld" yang artinya tidak dipidana tanpa kesalahan. Dalam hukum pidana, seseorang dapat dijatuhi pidana apabila memenuhi dua hal, yaitu :
- Perbuatannya bersifat melawan hukum. Perbuatan yang didakwakan harus terbukti memenuhi rumusan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (melawan hukum formal), bertentangan dengan norma hukum atau tata nilai yang berlaku umum dalam masyarakat (melawan hukum material) dan tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang dilakukannya (alasan pembenar).
- Pelaku tindak pidana dapat mempertanggung-jawabakan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Pelaku tindak pidana dapat tidak dikenai atau terbebas dari pidana apabila memenuhi alasan-alasan penghapusan pidana. Secara umum, alasan penghapusan pidana dapat diartikan sebagai suatu keadaan khusus yang menyebabkan suatu perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana kehilangan sifat tindak pidana-nya, sehingga si pelaku bebas dari hukuman pidana. Atau dengan kata lain, alasan penghapusan pidana adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak dihukum. Hal tersebut dikarenakan :
Alasan Penghapusan Pidana Menurut Teori Hukum Pidana. Dalam teori hukum pidana. alasan penghapusan pidana dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgrond).
Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dalam KUH Pidana, alasan pembenar terdapat dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1).
2. Alasan Pemaaf (Schuldduitsluitingsgrond).
Alasan pemaaf merupakan alasaan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, sedangkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap melawan hukum sehingga tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Dalam KUH Pidana, alasan pemaaf terdapat dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (2) dan Pasal 51 Ayat (2).
3. Alasan Penghapus Tuntutan.
Alasan penghapus tuntutan merupakan otoritas dari pemerintah. Apabila pemerintah beranggapan bahwa perbuatan melawan hukum terdakwa membawa atau atas dasar kemanfaatan (utilitas) kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan demi kepentingan umum. Dalam KUH Pidana, alasan penghapus tuntutan terdapat dalam ketentuan misalnya pada Pasal 53.
4. Dasar Penghapusan Pidana Umum.
Dasar penghapusan pidana umum merupakan dasar yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, yaitu semua tindak pidana yang dilakukan karena alasan untuk membela diri, paksaan, perintah atasan, dan perintah undang-undang tidak dapat dihukum.
5. Dasar Penghapusan Pidana Khusus.
Dasar penghapusan pidana khusus hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, misalnya dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 221 Ayat (2) KUH Pidana.
Baca juga : Pengertian Sanksi
Alasan Penghapusan Pidana Dalam KUH Pidana. Dalam KUH Pidana tidak ada penjelasan konkrit tentang apa yang dimaksud dengan alasan penghapusan pidana, KUH Pidana hanya menyebutkan hal-hal yang dapat menghapuskan pidana saja. Berikut alasan-alasan pengahapus pidana yang terdapat dalam KUH Pidana, yaitu sebagai berikut :
1. Tidak Mampu Bertanggung Jawab.
Perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab secara mental (orang dengan gangguan jiwa atau di bawah pengampuan) tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUH Pidanya menyebutkan bahwa :
- (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Kalimat "tidak dapat dipertanggungkan" dalam ketentuan pasal tersebut mengandung arti bahwa berkaitan dengan keadaan daya pikir si pelaku. Untuk dapat menentukan tidak dapat dipertanggung jawabkannya suatu perbuatan melawan hukum oleh terdakwa harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidang tersebut, seperti psikiater atau dokter spesialis.
Ketentuan Pasal 44 Ayat (2) KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Apabila hakim memutuskan bahwa pelaku berdasarkan keadaan daya berpikir tersebut tidak dikenakan hukuman, maka hakim dapat menentukan penempatan si pelaku dalam rumah sakit jiwa selama jangka waktu percobaan, yang tidak melebihi satu tahun. Hal tersebut bukan merupakan hukuman akan tetapi berupa pemeliharaan.
2. Belum Dewasa.
Perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan belum cukup umur menurut undang-undang atau belum dewasa tidak dikenakan pidana. Dalam KUH Pidana, aturan-aturan yang berkaitan dengan orang yang dianggap belum dewasa, terdapat dalam :
a. Ketentuan Pasal 45 KUH Pidana menyebutkan bahwa : Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umum enam belas tahun, hakim dapat menentukan :
- memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun.
- atau memerintahakan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggatan berdasarkan pasal-pasal 489, 490. 492. 496. 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
b. Ketentuan Pasal 46 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (1) Jika hakim memerintahkan kepada yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kapada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelanggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain, dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
- (2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
c. Ketentuan Pasal 47 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (1) Jika hakim menjatuhkan pidana, aka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
- (2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- (3) Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.
3. Keadaan Memaksa (Overmacht).
Perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan memaksa atau darurat tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 48 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- Barang siapa melakukan perbuatan karena pengarug daya paksa, tidak dipidana.
Sifat dari keadaan memaksa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
- bersifat fisik (vis absolut).
- bersifat psikis (vis compulsiva), yang terdiri dari : 1. daya paksa dalam arti sempit (overmarcht in enge zin), 2. keadaan darurat (noodtoestand).
Sedangkan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 48 KUH Perdata tersebut adalah keadaan memaksa yang bersifat psikis bukan bersifat fisik. Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan Pasal 48 KUH Pidana pelaku perbuatan melawan hukum tidak dikenakan hukuman pidana, bukan karena perbuatannya tidak melawan hukum, akan tetapi karena keadaan memaksa pelaku dimaafkan (fait d'execuse).
4. Membela Diri (Noodweer).
Perbuatan pidana yang dilakukan karena membela diri atau dalam kondisi nyawa dan keselamatan dirinya terancam tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUH Pidana tersebut, perbuatan seseorang dapat dikatakan membela diri apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
- harus ada serangan atau ancaman serangan.
- harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu dan harus masuk akal.
- perbuatan pembelaan diri harus seimbang dengan sifat serangan atau seimbang dengan ancaman yang diterima.
Sedangkan kepentingan yang dapat dilakukan pembelaan adalah berkaitan dengan :
- diri orang.
- kehormatan dan kesusilaan.
- harta benda.
5. Pembela Diri yang Melampaui Batas (Noodweer Exces).
Perbuatan pidana yang dilakukan karena pembelaan diri yang melampaui batas yang disebabkan oleh keguncangan jiwa karena adanya serangan yang mengancam nyawa dan keselamatan dirinya tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 49 Ayat (2) KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pelampauan batas membela diri terjadi apabila :
- serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan sudah dihentikan.
- tidak ada imbangan antara kepentingan yang mula-mula diserang dan kepentingan lawan yang diserang kembali.
Dalam kondisi demikian, pelaku hanya akan terhindar dari pidana apabila hakim menerima aksesnya yaitu "langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat", di mana hal tersebut sangat berhubungan dengan perasaan seseorang ketika dihadapkan pada sebuah peristiwa.
6. Melaksanakan Perintah Undang-Undang.
Perbuatan pidana yang dilakukan melaksanakan perintah undang-undang tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 50 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.
Ketentuan tersebut dicantumkan dalam KUH Pidana dengan alasan untuk menghilangkan keragu-raguan aparat negara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam penegakan hukum.
7. Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel).
Perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan perintah jabatan tidak dikenakan pidana. Ketentuan Pasal 51 KUH Pidana menyebutkan bahwa :
- (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
- (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Alasan Penghapusan Pidana Menurut Memorie van Toelichting (M.v.P). Dalam Memorie van Toelichting (M.v.P) dari KUH Pidana dijelaskan mengenai alasan penghapusan pidana, yaitu alasan-alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipindananya seseorang karena dua alasan, yaitu :
1. Inwendig.
Inwendig adalah alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya perbuatan seseorang yang terletak pada diri orang itu, yang meliputi :
- pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (Pasal 44 KUH Pidana).
- umur yang masih muda (di bawah umur). Mengenai hal tersebut, sejak tahun 1905 baik di Belanda maupun di Indonesia, tidak lagi merupakan alasan penghapus pidana melainkan menjadi dasar untuk memperingan hukuman.
2. Uitwendig.
Uitwendig adalah alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkan perbuatan seseorang yang terletak di luar orang itu, yang meliputi :
- keadaan memaksa atau overmarcht (Pasal 48 KUH Pidana).
- pembelaan terpaksa atau noodweer (Pasal 49 KUH Pidana).
- melaksanakan undang-undang (Pasal 50 KUH Pidana).
- melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUH Pidana).
Alasan Penghapusan Pidana di Luar KUH Pidana. Selain alasan penghapusan pidana yang ada dalam KUH Pidana, terdapat beberapa alasan penghapusan pidana diluar apa yang disebutkan dalam KUH Pidana, yaitu :
- hak mendidik dari orang tua.
- ijin dari orang yang dirugikan.
- hak jabatan dari dokter.
- mewakili urusan orang lain.
- tidak adanya perbuatan melawan hukum yang bersifat materiil.
- tidak adanya kesalahan sama sekali.
- alasan penghapus pidana putatif.
Demikian penjelasan berkaitan dengan alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsgrond).
Semoga bermanfaat.