Perjanjian, oleh Sudikno Mertokusumo, diartikan sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pengertian tentang perjanjian dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- Suatu hal tertentu.
- Suatu sebab yang halal.
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata butir 2 tersebut di atas ditegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan adanya kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan).
Baca juga : Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa, yaitu apabila seseorang, laki-laki atau perempuan, telah berumur minimal 21 tahun atau sudah menikah, dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Mengenai kecakapan dalam membuat perikatan, hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
- Orang-orang yang belum dewasa.
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
- Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Baca juga : Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian
Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan tidak cakap hukum, apabila :
- Seorang tersebut masih di bawah umur, yaitu orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah (Pasal 330 ayat 1 KUH Perdata).
- Seorang yang berada di bawah pengampuan atau curatele, yaitu orang yang sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun atau sudah menikah, tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila (sakit ingatan/mental), dan pemboros.
- Wanita yang bersuami, karena ia harus mendampingi suami. Mengenai ketidak-cakapan wanita yang sudah bersuami ini ada hubungannya dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat di Belanda yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga kepada suami, yang dinamakan maritale macht. Ketentuan tersebut di negara Belanda sekarang sudah dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Demikian juga di Indonesia ketentuan tersebut pelan-pelan juga sudah mulai dihapuskan.
Orang-orang yang tergolong dalam ketiga hal tersebut di atas, apabila melakukan perjanjian harus diwakili oleh orang yang cakap hukum, yaitu orang tua, wali, atau kurator. Apabila tidak, maka perjanjian yang dibuatnya akan cacat hukum, dan akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Baca juga : Asas-Asas Hukum Perjanjian
Dalam ketentuan Pasal 1320 dan 1330 KUH Perdata tersebut, digunakan istilah kecakapan dan bukan kewenangan. Istilah kecakapan dan kewenangan mempunyai perbedaan maksud yang sangat mendasar. Perbedaan istilah kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak adalah sebagai berikut :
* Kecakapan Bertindak :
- Kecakapan bertindak menunjuk kepada kewenangan yang umum, maksudnya kewenangan umum untuk membuat suatu perjanjian atau untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah pasti orang yang tidak berwenang. Orang yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataannya adalah orang tahu betul akan akibat atau konsekuensi dari tindakannya.
* Kewenangan Bertindak :
- Kewenangan bertindak menunjuk kepada sesuatu hal yang khusus, maksudnya kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa yang khusus. Sehingga ketidakwenangan dapat dikatakan menghalang-halangi untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Orang yang dikatakan tidak wenang (tidak berwenang) adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak, tetapi untuk hal-hal tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum, dalam hal ini tidak berwenang untuk membuat suatu perjanjian tertentu.
Orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak, pada umumnya berkaitan dengan masalah kehendak. Undang-undang beranggapan bahwa orang tertentu tidak atau belum dapat menyatakan kehendaknya dengan sempurna, dalam arti belum dapat menyadari sepenuhnya, akibat hukum yang muncul dari pernyataan kehendaknya. Sehingga atas tindakan hukum yang mereka perbuat, tidak dapat diberikan akibat hukum sebagaimana mestinya. Sehingga orang yang tidak cakap dalam penyelenggaraan kepentingannya atau dalam melakukan tindakan hukum harus diwakili oleh orang lain, yaitu orang yang cakap hukum, seperti orang tua, wali, atau curator.
Orang yang tidak cakap adalah orang-orang yang secara umum tidak dapat membuat perjanjian, sedangkan orang yang tidak berwenang adalah orang-orang yang tidak dibenarkan untuk membuat perjanjian tertentu, sehingga perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang tidak cakap, mempunyai konsekuensi batal demi hukum.
Demikian penjelasan berkaitan dengan kecakapan bertindak dalam perjanjian.
Demikian penjelasan berkaitan dengan kecakapan bertindak dalam perjanjian.
Semoga bermanfaat.