Ikhlas : Pengertian, Karakteristik, Bentuk, Tingkatan, Dan Keutamaan Ikhlas, Serta Faktor Yang Mempengaruhi Keikhlasan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Ikhlas. Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar : 11-12, yang artinya :

Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintah agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan lepada-Nya (mengikhlaskan) dan aku diperintahkan supaya aku menjadi yang pertama dari orang-orang uang berserah diri kepada Allah.”

M. Quraish Shihab
, dalam "Tafsir al-Misbah", menafsirkan QS. Az-Zumar : 1112 tersebut sebagai perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW agar menyampaikan kepada kaum mukminin untuk selalu bertakwa kepada Allah tanpa syirik dan pamrih, bahkan bukan untuk sesuatu balasan untuk memperoleh surga atau terhindar dari neraka, namun semata-mata karena Allah ta’ala dan syukur atas nikmat yang selalu diberikan.

Ikhlas merupakan ruh dari sebuah amal perbuatan jika amal perbuatan tidak disertai ikhlas maka bagaikan jasad tubuh yang tak mempunyai ruh. Secara etimologi, ikhlas berasal dari bahasa Arab, yang berarti bersih hati atau tulus hati. Ikhlas juga berarti murni (al-shafi) dan bersih dari campuran, maksudnya niat yang murni semata-mata mengharap penerimaan dari Allah dalam melakukan suatu perbuatan serta tanpa menyekutukan Allah dengan yang lainnya.

Sedangkan secara terminologi, ikhlas berarti membersihkan hati supaya menuju kepada Allah semata, dengan kata lain dalam beribadah hati tidak boleh menuju kepada selain Allah. Ikhlas juga berarti membersihkan amalan dari penilaian manusia sehingga jika seseorang sedang melakukan suatu amalan teretentu, maka ia akan membersihkan diri dari perhatian manusia. Imam Al-Ghazali, dalam "Ihya 'Ulumuddin", berpendapat bahwa ikhlas adalah melakukan segala sesuatu dengan disertai niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dari segala bentuk ketidak-murnian selain taqarub illallah. Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ikhlas merupakan sebuah maksud yang hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dengan tujuan taqqorub kepada-Nya, serta mengesampingkan hal-hal selain Allah, baik berupa penghormatan, pujian, atau pun pandangan baik dari orang lain terhadap dirinya. Ikhlas dapat dikatakan sebagai kemurnian, menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan makhluk lain.

Hakikat ihklas adalah al-tabarri ‘an kulli ma dunallah, bebas dari apa yang selain Allah. Maksudnya, seseorang beribadah hanya mengharap ridha Allah, bukan karena mengharap pujian makhluk. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :

Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan hanya mengharap ridha dari Allah.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)


Baca juga : Iman Kepada Allah

Karakteristik Ikhlas. Terdapat beberapa karakteristik atau ciri khas dari ikhlas. Imam Al-Ghazali  menyebutkan bahwa karakteristik ikhlas merujuk pada dua hal, yaitu :

1. Mendekatkan diri kepada Allah.
Hakikat ikhlas adalah mendekatkan diri pada Allah dari segala bentuk ketidak-murnian, maksudnya ketidak-murnian adalah segala niatan yang tidak ditujukan kepada Allah.

2. Mencari keridhaan Allah.
Ridha dari Allah merupakan niatan dan tujuan utama dalam berperilaku atau beramal bukan karena faktor lain untuk menyekutukkan Allah dan bukan karena faktor lain untuk mengharapkan balasan sesuai yang diharapkan. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :

Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridhaan Allah.” (HR. Ibnu Majah)


Baca juga : Pengertian Jumud

Bentuk Ikhlas. Ikhlas terdiri dari beberapa bentuk. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya “Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin” mengatakan bahwa ikhlas terdiri dari dua bentuk, yaitu :
  • ikhlas dalam beramal atau beribadah, maksudnya adalah berniat ikhlas dalam beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan perintah-Nya, dan memenuhi panggilan-Nya.
  • ikhlas dalam mencari pahala, maksudnya adalah suatu keinginan untuk menggapai keselamatan di akhirat dengan cara melakukan amal shaleh.

Sedangkan Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi, dalam "Al-Minahul Qudsiyyah alal Hikam Al-Atha’iyyah", menyebutkan bahwa ikhlas berbeda-beda sesuai perbedaan tingkat spiritualitas orang. Selanjutnya Syekh Abdullah As-Syarqawi menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk keikhlasan manusia dalam beramal, yaitu :

1. Keikhlasan ibad (para hamba Allah).
Keikhlasan ibad hanya terbatas pada keselamatan amal mereka dari penyakit riya, baik yang nyata maupun tersamar, serta dari unsur nafsu mereka. Kelompok ibad atau abidin beribadah atau beramal sesuatu semata lillahi ta’ala atau karena Allah dengan mengharapkan ganjaran pahala dan berharap selamat dari siksa neraka. Mereka menisbahkan amal itu kepada diri mereka. Mereka juga menyandarkan diri pada amal tersebut untuk meraih apa yang mereka inginkan.

2. Keikhlasan muhibbin (para pecinta Allah).
Keikhlasan muhibbin berupa amal atau ibadah lillahi ta’ala atau karena Allah seraya mengagungkan dan membesarkan-Nya karena memang Allah berhak atas keagungan dan kebesaran tersebut. Mereka beribadah bukan untuk tujuan ganjaran pahala dan keselamatan dari siksa neraka.

3. Keikhlasan arifin (ahli makrifat).
Keikhlasan arifin dalam beribadah berupa kesaksian mereka atas keesaan Allah dalam menggerakkan dan meredakan perilaku mereka. Mereka tidak melihat kekuatan dan daya pada diri mereka. Dalam cara pandang mereka, ibadah yang mereka lakukan dapat terlaksana karena billah atau sebab kekuatan Allah, bukan karena kekuatan dan daya dalam diri mereka.


Tingkatan Ikhlas. Terdapat beberapa tingkatan ikhlas. Abdul Qadir ‘Isa, dalam  "Haqiqah Tashawwuf", menyebutkan bahwa mengutip dari pendapat Ibnu ‘Ajibah, ikhlas dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu :

1. ‘Awamm.
‘Awamm merupakan ikhlas tingkatan orang umum. Mereka beribadah kepada Allah, tetapi masih disertai mencari keuntungan duniawi dan ukhrawi.

2. Khawas.
Khawas merupakan ikhlas tingkatan orang-orang khusus. Dalam tingkatan ini seorang beribadah semata-mata untuk mencari keuntungan akhirat. Tidak ada moivasi sedikitpun untuk mencari keuntungan duniawi. Namun, didalam hatinya masih ada keinginan untuk memperoleh pahala, surga, dan lain sebagainya.

3. Khawashul khawas.
Khawashul khawas merupakan ikhlas tingkatan orang-orang yang telah benar-benar berserah diri pada Allah. Seorang dalam tingkatan ikhlas ini, jika ia beribadah tidak ada motivasi atau tendensi apapun, kecuali mengharap ridha dari Allah. Ia beribadah untuk menegaskan sifat kehambaannya. Ia beribadah didasari oleh rasa mahabbah (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah.


Keutamaan Ikhlas. Keikhlasan merupakan suatu hal yang sangat penting. Beberapa keutamaan dari sikap ikhlas adalah sebagai berikut :

1. Orang yang ikhlas tidak akan diperdaya oleh setan.
Allah berfirman dalam QS. Al-Hijr : 39-40, yang artinya :

"Iblis berkata : “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkai telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) dimuka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka”."


2. Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah : 5, yang artinya :

Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan) agama dengan lurus, supaya mereka mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.


3. Salah satu ciri khas ibadahnya para sahabat dan pengikut Rasulullah SAW.
Para sahabat dan pengikut Rasulullah SAW beribadah semata-mata mencari karunia dan ridha Allah.

4. Menjadi kekuatan batin dalam melaksanakan amal ibadah.
Motivasi ibadahnya hanya untuk Allah semata. Allah berfirman dalam QS. Al-An’am : 162, yang artinya :

"Katakanlah : “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”."



Faktor yang Mempengaruhi Keikhlasan. Kata ikhlas sangat mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan banyak hal yang harus dilawan, terutama melawan kebutaan ilmu dan hawa nafsu. Iman Al-Ghazali, menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keikhlasan seseorang, yaitu :
  • Pengetahuan. Diperlukan pengetahuan untuk memahami makna dari ikhlas, karena ikhlas tidak akan terealisasi dengan minimnya pemahaman dan pengetahuan tentang hakekat ikhlas itu sendiri.
  • Hawa nafsu dan dorongan keagamaan. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cenderung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Jika hawa nafsu lebih besar dibandingkan dorongan keagamaan, maka ikhlas tidak akan pernah dapat diwujudkan.
  • Ketenagan dan ketentraman batin. Apabila seseorang beraktivitas dengan ikhlas dan khusyuk hanya karena Allah, maka dalam kondisi apapun akan tercermin ketenangan dan kejernihan baik dari sikap, wajahnya dan hatinya.
  • Godaan serta tipu daya iblis. Seseorang yang sudah tertanam dan mengakar sikap ikhlas dalam dirinya niscaya tidak akan sanggup ditembus pertahanan imannya oleh iblis.

Sedangkan beberapa faktor yang dapat merusak keikhlasan seseorang, diantaranya adalah :

1. Bersikap riya’.
Maksudnya adalah memamerkan amal ibadah karena ingin mendapat pujian dari orang lain. Allah berfirman dalam QS. Al-Ma’un : 6, yang artinya :

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 
orang-orang yang berbuat riya.


2. Bersikap ujub.
Maksudnya adalah mengagumi kehebatan ibadah dalam hati, meskipun hal iu tidak diceritakan kepada orang lain. Sifat ujub dapat diobati dengan ilmu (pengetahuan) dan kesadaran bahwa dia dapat beribadah seperti itu semata-mata atas pertolongan dan rahmat dari Allah. Dia sesungguhnya milik Allah. Tiada kekuatan apapun kecuali atas izin dan pertolongan Allah.

3. Merasa puas terhadap amal ibadah.
Rasa puas juga dapat merusak keikhlasan dalam beribadah. Sikap seperti ini hanya bisa sembuh dengan cara mengetahui aib (cacat) yang ada dalammu perbuatan. Karena sedikit sekali suatu perbuatan yang benar-benar bisa selamat dari bisikan setan.

4. Ingin dipuji dan ingin popular (hubb al-madh wa al-syuhrah).
Orang yang memiliki dua sifat seperti ini sulit untuk beramal dengan ikhlas dan pada saat yang bersamaan ia juga takut dicela oleh orang lain. Dia beramal li ajlin nas, karena manusia, bukan karena Allah.


Ikhlas akan selalu berhubungan dengan niat. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya :

Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian ikhlas, karakteristik, bentuk, tingkatan, dan keutamaan ikhlas, serta faktor yang mempengaruhi keikhlasan.

Semoga bermanfaat.