Memaafkan (Forgiveness) : Pengertian, Dimensi, Jenis, Manfaat, Dan Tahapan Dalam Memaafkan, Serta Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Memaafkan (Forgiveness)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Memaafkan. Secara umum, memaafkan atau forgiveness dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk tidak melakukan pengindaran serta tidak lagi memiliki keinginan untuk membalas dendam, adanya perubahan emosi dengan munculnya motivasi untuk berdamai dengan orang yang pernah melakukan tindakan yang menyakitkan. Memaafkan juga dapat berarti suatu proses yang terjadi di dalam diri seseorang di mana orang yang telah disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memaafkan diartikan dengan :
  • memberi ampun atas kesalahan dan sebagainya.
  • tidak menganggap salah dan sebagainya.

Selain itu, pengertian memaafkan atau forgiveness juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya adalah :
  • Asep H. Gani, dalam "Forgiveness Therapy", berpendapat bahwa memaafkan adalah suatu proses melepaskan rasa nyeri, kemarahan dan dendam yang disebabkan oleh pelaku pelanggaran. Hal ini akan membantu individu untuk menghilangkan segala pikiran dan perasaan negatif terhadap pelaku sehingga individu dapat hidup lebih tenang dan bahagia.
  • H.F. Nashori, dalam "Psikologi Pemaafan", berpendapat bahwa memaafkan adalah kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan inter-personal dengan orang lain dan menumbuh-kembangkan pikiran, perasaan, dan hubungan inter-personal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran secara tidak adil.
  • Michael E. McCullough, Everett L. Worthington, dan Kenneth C. Rachal, dalam "Interpersonal Forgiving Inclose Relationships", yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology, berpendapat bahwa memaafkan adalah serangkaian perubahan motivasi seseorang untuk menurunkan motivasi membalas dendam, motivasi untuk menjauhkan diri atau menghindari orang yang menyakiti serta meningkatnya motivasi untuk berbuat baik dan berdamai pada orang yang sudah melakukan tindakan yang menyakitkan.


Dimensi Memaafkan. Menurut R.F. Baumeister, J.J. Exline, dan K.L. Sommer, dalam "The Victim Role, Grudge Theory, and Two Dimensions of Forgiveness", menyebutkan bahwa terdapat dua dimensi dalam memaafkan, yaitu :
  • intrapsikis. Dimensi intrapsikis melibatkan keadaan dan proses yang terjadi di dalam diri orang yang disakiti secara emosional maupun pikiran dan perilaku yang menyertainya.
  • interpersonal. Dimensi interpersonal lebih melihat bahwa memaafkan orang lain merupakan tindakan sosial antara sesama manusia.

Sedangkan C.R. Snyder dan S.J. Lopez, dalam "Positive Psychological Assessment : A Handbook of Models and Measures", menyebutkan bahwa tindakan memaafkan terdiri dari tiga dimensi motivasi, yaitu :
  • Avoidance motivations. Penurunan motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan pelaku. Dalam hal ini, korban tidak menghindar ataupun menjauhi si pelaku, dia akan tetap berusaha menjaga hubungan yang dekat tersebut.
  • Revenge motivations. Penurunan motivasi untuk membalas dendam atau melihat-lihat bahaya datang kepada pelanggar. Maksudnya, korban akan membuang keinginannya untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku.
  • Beneviolence motivations. Peningkatan motivasi untuk berbuat kebajikan dengan pelaku. Korban akan tetap menjaga hubungan agar tetap baik dengan pelaku.


Jenis Memaafkan. Menurut R.F. Baumeister, J.J. Exline, dan K.L. Sommer, tindakan memaafkan dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Hollow Forgiveness.
Hollow forgiveness terjadi saat pihak yang tersakiti dapat mengekspresikan forgiveness secara konkret melalui perilaku namun pihak yang tersakiti belum dapat merasakan dan menghayati adanya forgiveness di dalam dirinya. Pihak yang tersakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan pada pihak yang menyakiti bahwa ia telah memaafkan.

2. Silent Forgiveness.
Silent forgiveness terjadi saat intrapsychic forgiveness dirasakan namun tidak diekspresikan melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal. Pihak yang tersakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci kepada pihak yang menyakiti namun tidak mengekspresikannya. Pihak yang tersakiti membiarkan pihak yang menyakiti terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan tetap bersalah.

3. Total Forgiveness.
Total forgiveness terjadi saat pihak yang tersakiti menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pihak yang menyakiti tentang kesalahannya, kemudian hubungan antara pihak yang disakiti dengan orang yang menyakiti pulih secara total seperti sebelum keadaan sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.

4. No Forgiveness.
R.F. Baumeister, J.J. Exline, dan K.L. Sommer menyebutkan bahwa kondisi no forgiveness sebagai total grudge combination. No forgiveness terjadi karena pihak yang tersakiti telah salah persepsi mengenai forgiveness. Kesalahan persepsi yang menjadi faktor penyebab terjadinya no forgiveness adalah sebagai berikut :
  • Claims on reward benefit, suatu kondisi di mana pihak yang tersakiti merasa bahwa dirinya berhak atas reward atau keuntungan sebelum ia harus memaafkan. Karena ia beranggapan bahwa pihak yang menyakiti telah memiliki hutang yang harus dibayar karena telah menyakiti drinya.
  • To prevent reccurence, suatu kondisi di mana memaafkan dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa menyakitkan yang dialami pihak yang tersakiti di masa mendatang.
  • Continued suffering, suatu kondisi di mana pihak yang tersakiti terus menerus merasa menderita karena peristiwa menyakitkan yang dialami oleh pihak yang tersakiti dimasa lalu memengaruhi hubungannya dengan pihak yang menyakiti dimasa depan, maka memaafkan merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
  • Pride and revenge, suatu kondisi di mana pihak yang tersakiti merasa bahwa dengan memberikan maaf kepada pihak yang menyakiti maka ia telah melakukan perbuatan yang mempermalukan dirinya bahkan menunjukkan rendahnya harga diri pihak yang tersakiti.
  • Principal refusal, suatu kondisi di mana pihak yang tersakiti menilai forgiveness sebagai pembebasan terhadap pelaku dari peradilan. Pihak yang tersakiti takut tidak dapat mendapat perlindungan hukum jika ia sudah memaafkan orang yang menyakiti.


Manfaat Memaafkan. Memberikan maaf kepada orang lain memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah :
  • Meningkatkan kualitas diri. Memaafkan dapat berdampak baik bagi kualitas hidup seseorang. Memaafkan dapat meningkatkan kualitas hubungan, baik kepada diri sendiri maupun dengan orang lain.
  • Menurunkan risiko stress. Dengan memaafkan, seseorang akan berusaha menerima kondisi yang menyakitkan dan rasa tidak nyaman. Dengan adanya fase menerima, kondisi mental akan dilatih sehingga dapat lebih baik ketika menghadapi masalah berikutnya. Hal ini juga dapat menurunkan risiko stres.
  • Melatih empati. Ketika seseorang memaafkan orang lain berarti ia telah menaruh empati pada orang tersebut. Seseorang mampu memaafkan karena ia dapat memahami kondisi orang tersebut dan mengapa orang tersebut dapat bertindak demikian.


Tahapan dalam Memaafkan. Secara umum, untuk dapat memaafkan kesalahan seseorang dapat dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, sebagai berikut :
  • Koreksi diri. Mengoreksi diri sendiri, apakah sudah menjadi pribadi yang baik untuk orang lain atau belum. Bisa jadi konflik terjadi karena ada yang salah dari cara bertindak atau berinteraksi dengan orang lain.
  • Mencoba memahami orang lain. Ketika terjadi konflik, cobalah berpikir dengan latar belakang dan perspektif dia. Mungkin saja ada berbagai faktor lain yang memicu orang tersebut harus bertindak demikian, hingga menyakiti dan memicu terjadinya konflik.
  • Berusaha memberi kesempatan kembali. Ketika seseorang berbuat salah, belum tentu karena orang tersebut berniat melakukannya. Bisa saja dia mendapat tekanan dari berbagai pihak.

R.D. Enright, dalam "Forgiveness is a Choice", menyebutkan bahwa tahap-tahap dalam proses memaafkan terdiri atas empat tahapan, yaitu :

1. Menyadari kemarahan.
Menyadari kemarahan merupakan tahap dimana seseorang berusaha untuk menyadari bahwa saat ia dalam kondisi marah bisa saja sangat menyakitkan, namun dengan memaafkan bukan berarti berpura-pura bahwa sesuatu tidak terjadi atau bersembunyi dari perasaan sakit. Seseorang menderita karena merasa disakiti dan ia harus jujur kepada dirinya sendiri dan mengakui bahwa ia  sedang menderita atau merasa sakit.

2. Memutuskan untuk memaafkan.
Memaafkan membutuhkan pengambilan keputusan dan komitmen dari diri orang itu sendiri, karena pengambilan keputusan ini merupakan bagian yang penting dari proses ini, yang terbagi dalam tiga bagian, sebagai berikut :
  • melupakan atau meninggalkan masa lalu.
  • berusaha untuk melihat kepada masa depan.
  • memilih untuk melakukan pemaafan.

3. Berusaha untuk melakukan pemaafan.
Memutuskan untuk memaafkan tidaklah cukup. Seseorang harus mengambil tindakan yang konkrit untuk membuat keputusan itu menjadi nyata.

4. Menemukan dan melepaskan diri dari penjara emosi.
Saat seseorang menolak untuk memaafkan maka kepahitan, kebencian, dan kemarahan seperti empat tembok sel penjara dan memaafkan merupakan kunci yang dapat membuka pintunya dan mengeluarkan individu dari sel penjara tersebut.


Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Memaafkan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku memaafkan. Menurut E. McCullough, Everett L. Worthington, dan Kenneth C. Rachal, beberapa faktor dimaksud adalah :

1. Faktor sosial kognitif.
Faktor sosial kognitif merupakan faktor penentu seseorang untuk memaafkan, di mana seseorang berpikir dan mengingat dengan jelas kronologis peristiwa yang terjadi, dan dalam proses ini berupa empati terhadap pelaku yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memaafkan peristiwa tersebut. Proses sosial kognitif dapat berupa :
  • empati.
  • penilaian terhadap pelaku.
Empati terhadap pelaku merupakan salah satu mediator yang paling penting dalam memaafkan dan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk memaafkan.

2. Karakteristik peristiwa yang menyakitkan.
Tingkat keparahan yang dirasakan seseorang atas peristiwa yang menyakitkan juga sangat mempengaruhi seseorang untuk memaafkan. Semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami, maka semakin sulit  untuk memaafkan. Artinya memaafkan atau tidaknya seseorang bergantung pada tingkat kelukaan yang dirasakan oleh korban atau sebanding dengan besarnya pelanggaran yang dirasakan korban.

3. Kualitas hubungan interpersonal.
Seseorang yang memiliki hubungan interpersonal yang lebih dekat, cenderung lebih mudah untuk memaafkan dan adanya niat untuk meminta maaf dari pelaku juga dapat mempengaruhi orang untuk memaafkan pelaku. Ada beberapa alasan mengapa kualitas hubungan interpersonal mempengaruhi seseorang untuk memaafkan :
  • seseorang lebih bersedia memaafkan karena untuk menjaga hubungan dekat mereka.
  • memiliki orientasi jangka panjang untuk hubungan mereka dengan mengabaikan rasa sakit untuk menjaga hubungannya. 
  • kualitas hubungan yang tinggi dari masing-masing orang. 
  • memiliki orientasi yang kolektif dalam berperilaku untuk memberi manfaat bagi mereka.

4. Karakteristik kepribadian.
Kecenderungan untuk memaafkan dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian, diantaranya :
  • pemahaman seseorang akan konsep memaafkan.
  • sikap seseorang terhadap upaya balas dendam.
  • respon yang dimunculkan saat merasa marah.
  • norma religiusitas sebagai alat untuk meredam perilaku yang mengarah pada pertikaian.


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian memaafkan (forgiveness), dimensi, jenis, manfaat, dan tahapan dalam memaafkan, serta faktor yang mempengaruhi tindakan memaafkan (forgiveness).

Semoga bermanfaat.