Pemberlakuan Sistem Hukum Bagi Penduduk Indonesia Di Masa Pemeritahan Kolonial Belanda

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia (Hindia Belanda), penduduk Indonesia digolongkan atau dibagi menjadi beberapa golongan yang berbeda. Penggolongan penduduk tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda diatur dalam IS (Indische Staatregelling) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 melalui Stb.1925-577, yaitu dalam ketentuan Pasal 163 IS yang berasal dari Pasal 109 RR (Regering Reglement) baru yang menetapkan bahwa dalam berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di Hindia Belanda. 

Dalam ketentuan Pasal 163 IS, menyebutkan bahwa :

(1). Apabila ketentuan-ketentuan undang-undang ini, peraturan-peraturan umum lainnya, reglement-reglement, peraturan-peraturan kepolisian, dan ketentuan-ketentuan administratif membedakan antara orang-orang Eropa, orang-orang pribumi dan Timur Asing, maka berlaku pelaksanaannya aturan-aturan sebagaimana disebutkan di bawah ini.

(2). Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa adalah :
  • semua orang Belanda.
  • semua orang yang berasal dari Eropa.
  • semua orang Jepang.
  • semua orang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda.
  • anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak dari semua orang yang berasal dari Eropa dan semua orang Jepang yang lahir di India.

(3). Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang pribumi kecuali kedudukan bagi orang-orang Kristen pribumi yang harus diatur dengan ordonantie, ialah semua orang yang termasuk penduduk Hindia Belanda dan tidak pindah kedalam kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, demikian pula mereka, demikian pula yang pernah termasuk kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, namun telah membaurkan dengan penduduk asli.

(4). Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang timur asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan ordonantie bagi orang-orang diantara mereka yang yang menganut keyakinan Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat yang disebut dalam ayat (2) dan (3) pasal ini.


Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 163 IS tersebut, penduduk Indonesia (Hindia Belanda) pada masa pemerintahan kolonial Belanda dibagi menjadi 3 golongan, sebagai berikut :

1. Golongan Eropa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (2) IS, penduduk golongan Eropa didasarkan pada 5 kriteria, yaitu :
  • kebangsaan.
  • berasal dari Eropa.
  • hukum keluarga.
  • perjanjian.
  • asas keturunan.

Sehingga, berdasarkan kriteria tersebut, yang termasuk dalam penduduk golongan Eropa adalah :
  • bangsa Belanda (semua warga negara Belanda).
  • bukan bangsa Belanda tetapi berasal dari Eropa (warga negara salah satu negara Eropa).
  • negara lain yang hukum keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda.
  • Jepang, berdasar perjanjian Jepang dengan pemerintah Hindia Belanda.
  • keturunan dari semua kriteria yang disebutkan di atas, baik itu anak sah, anak yang diakui, anak yang disahkan, maupun anak angkat.

2. Golongan Bumiputera (Pribumi/Asli Indonesia).
Berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (3) IS, yang termasuk dalam penduduk golongan bumiputera (pribumi/asli Indonesia) adalah :
  • Orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan penduduk lain. Yang dimaksud dengan "orang Indonesia asli" menurut Prof. Soepomo adalah orang Indonesia asli adalah orang yang mempunyai leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia. Jadi bukan sekedar orang yang lahir dan besar di Indonesia.
  • Orang yang semula masuk golongan lain dan "meleburkan diri" ke dalam golongan bumi putra.

3. Golongan Timur Asing.
Berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (4) IS, yang termasuk dalam penduduk golongan Timur Asing adalah :
  • semua orang yang tidak termasuk golongan Eropa dan Bumiputra, seperti orang cina, mesir, arab, india, pakistan, dan lain sebagainya.


Penggolongan penduduk tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda dimaksudkan untuk menentukan sistem hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan penduduk, yang secara garis besar adalah sebagai berikut :
  • Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, berlaku dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat, yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas konkordansi (dengan bentuk hukum "raad van justitie").
  • Bagi golongan bumiputera dan yang dipersamakan, berlaku Hukum Adat mereka (dengan bentuk hukum "landraad"). 
  • Bagi golongan timur asing, berlaku hukum mereka masing-masing, dengan catatan bahwa golongan bumiputera dan timur asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada hukum Eropa (dengan bentuk hukum "gelijk gestellt") .


Pemberlakuan Sistem Hukum Berdasarkan Penggolongan Penduduk di Masa Pemrintah Kolonia Belanda. Untuk memungkinkan berlakunya hukum Belanda bagi golongan penduduk bukan Belanda (Eropa), oleh pemerintah kolonial Belanda dikeluarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS. Hukum perdata yang diberlakukan terhadap tiap-tiap golongan penduduk tersebut adalah (didasarkan pada) sebagai berikut :

1. Pasal 131 ayat (2) sub.a IS.
Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub.a IS, hukum perdata yang berlaku untuk golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) tanpa kecuali termasuk undang-undang di luar kedua undang-undang tersebut, seperti misalnya :
  • Undang-Undang Octrooi (undang-undang hak cipta dalam industri dan perdagangan).
  • Undang-Undang Autheur (undang-undang yang mengatur hak cipta dalam bidang kesusastraan).
  • hukum pidana material dan hukum acara (pidana dan perdata).

2. Pasal 131 ayat (2) sub.b IS.
Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub.b IS :
  • hukum perdata yang berlaku terhadap golongan bumiputra (pribumi) adalah hukum perdata adat (hukum yang tidak tertulis) yang berlaku bagi penduduk pribumi.
  • hukum perdata yang berlaku terhadap golongan timur asing adalah sejajar atau sama dengan golongan pribumi yakni hukum perdata adat. Hukum perdata adat disini bukanlah yang berlaku bagi golongan pribumi,tetapi hukum perdata adat yang berlaku bagi golongan timur asing (menurut hukum adatnya) sendiri.


Dalam perjalanan selanjutnya, bagi golongan timur asing, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan aturan sebagaimana dimuat dalam Stb.1917-129, yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut :

1. Membedakan golongan timur asing menjadi dua golongan, yaitu :
  • golongan timur asing tionghoa.
  • golongan timur asing bukan tionghoa.
yang mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919 (Stb.1919-81),

2. Berlakunya Hukum Perdata Eropa bagi Golongan Timur Asing Tionghoa.
Berdasarkan Pasal 131 ayat (2) sub.b IS jo Stb.1917-129 jo Stb 1924-557, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1925, ditentukan bahwa seluruh Hukum Perdata Eropa, yang meliputi Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), serta peraturan kepailitan berlaku bagi golongan timur asing tionghoa, kecuali mengenai adopsi dan kongsi.
  • adopsi. Adopsi tidak dikenal dalam lapangan hukum perdata barat, tetapi diperuntukkan bagi golongan timur asing tionghoa yang masih memerlukan menurut hukum adatnya. Oleh pemerintah kolonial Belanda ketentuan adopsi diatur dalam Stb.1917-129 bab II. Yang dimaksud dengan adopsi di sini adalah pengambilan atau pemungutan anak yang berlaku bagi golongan timur asing tionghoa, yaitu mengangkat anak laki-laki orang lain sebagai anak laki-lakinya.
  • kongsi. Kongsi, menurut hukum adat tionghoa adalah suatu perdagangan berbentuk perusahaan yang merupakan badan hukum dan mirip dengan suatu perseroan menurut hukum perdata eropa. Akan tetapi setelah sepuluh tahun sejak berlakunya Stb.1917-129, kongsi tidak lagi diakui sebagai badan hukum.

3. Pemberlakuan Hukum Perdata Eropa bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa.
Menurut ketentuan Pasal 131 ayat (2) sub.b I.S. jo Stb.1917-129 jo Stb.1924-556, hukum perdata yang berlaku bagi golongan timur asing bukan tionghoa adalah seluruh hukum perdata Eropa dan hukum dagang Eropa, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), kecuali hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat (hukum waris menurut undang-undang) yang masih berlaku menurut hukum adat mereka masing-masing.


Penundukan pada Hukum Perdata Eropa. Pada awalnya menurut ketentuan Pasal 75 ayat (4) RR lama yang kemudian diubah menjadi ketentuan Pasal 131 ayat (4) IS, menyebutkan bahwa :

"Bagi orang Indonesia asli (pribumi/bumiputra) dan timur asing sepanjang mereka belum ditempatkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa."


Berdasarkan ketentuan Pasal 131 ayat (4) IS tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda menerbitkan peraturan tentang penundukan sukarela ke dalam Hukum Perdata Eropa yang diatur dalam Stb. 1917-12, yang menentukan adanya 4 macam cara penundukan sukarela ke dalam Hukum Perdata Eropa, yaitu sebagai berikut :
  • Penundukan untuk seluruhnya kepada Hukum Perdata Eropa. Hal ini berarti seluruh Hukum Perdata Eropa berlaku baginya (Pasal 1 sampai 17) untuk selama-lamanya, tetapi tidak berarti ia pindah golongan dari golongan pribumi ke golongan eropa. Ia tetap golongan pribumi.
  • Penundukan dengan sukarela untuk sebagian dari Hukum Perdata Eropa. Hal ini berarti orang yang melakukan tindakan ini, di kemudian hari berlaku baginya sebagian Hukum Perdata Eropa. Menurut ketentuan Pasal 18 sampai dengan Pasal 25, penundukan sebagian ini seperti yang berlaku bagi golongan timur asing bukan tionghoa (Stb.1924-556), misalnya : hukum kekayaan (harta benda) dan hukum waris testament, tidak termasuk hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat.
  • Penundukan dengan sukarela kepada Hukum Perdata Eropa mengenai suatu tindakan hukum tertentu. Tindakan penundukan hukum tertentu ini merupakan penundukan asli, maksudnya adalah penundukan ke dalam Hukum Perdata Eropa yang pertama-tama dibuka bagi mereka yang baginya tidak berlaku Hukum Perdata Eropa. Bagi yang melakukan penundukan tertentu ini yang bersangkutan menyadari bahwa tindakan yang dilakukan dan akibat hukum yang terjadi di kemudian hari dikuasai oleh hukum Eropa, misalnya : hukum yang berhubungan dengan kekayaan, jual beli, sewa menyewa.
  • Penundukan anggapan atau penundukan diam-diam. Tindakan ini merupakan penundukan diri tidak dengan sengaja pada Hukum Perdata Eropa, misalnya : menandatangani surat-surat dagang, wesel atau cek, promes, mengasuransikan jiwa pada suatu perusahaan asuransi, menjadi anggota perseroan yang tunduk pada Hukum Perdata Eropa.


Sedangkan untuk golongan pribumi (bumiputra) yang tetap tunduk pada hukum adat-nya berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Stb. 1912-12.

Demikian penjelasan berkaitan dengan pemberlakuan sistem hukum bagi penduduk Indonesia di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Semoga bermanfaat.