Politik Hukum Adat Belanda

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum perundangan Indonesia, oleh karena sejak tahun ini dimulai pengkodifikasian hukum, yaitu pembukuan hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis.

gambar : nasionalisme.net
Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang berlaku bagi golongan penduduk Eropa dengan mempertahankan asas konkordansi. Sehingga hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah tiruan dari kodifikasi hukum perdata yang dibuat di negera Belanda pada tahun 1838.

Oleh karena bagi golongan Eropa di Indonesia diadakan beberapa kekecualian dalam keadaan yang istimewa, maka untuk menyesuaikannya dengan keadaan di Indonesia, pada tahun 1839, Raja Belanda membentuk suatu panitia yang diketuai Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Panitia tersebut kemudian membuat beberapa rencana peraturan perundangan, antara lain ialah :
  1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB), yaitu ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundangan di Indonesia.
  2. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  3. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
  4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie (RO) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justitie.
Keempat kitab undang-undang tersebut kemudian setelah diundangkan dimasukkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1847 Nr.23

Sedangkan untuk hukum pidana, pada mulanya kodifikasi hukum pidana di Indonesia itu berbeda-beda antara yang berlaku bagi golongan Eropa dan bagi golongan pribumi dan timur asing. Pada tahun 1915 baru dibuat kodifikasi hukum pidana yang bersifat unifikasi, yaitu suatu hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan rakyat di Indonesia. Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang berlaku, tidak lain merupakan tiruan dari KUH Pidana Belanda yang dibuat tahun 1881.

Mengenai hukum perdata antara golongan rakyat tersebut dibedakan, oleh karena kodifikasi hukum perdata tahun 1848 tidak termasuk hukum adat, timbullah perbedaan pendapat antara :
  • Mr. Wichers, menghendaki agar sebagian hukum perdata barat harus diberlakukan juga untuk golongan yang bukan Eropa.
  • Gubernur Jenderal Rochussen, menghendaki agar bagi golongan rakyat bukan Eropa harus berlaku hukum adat sepenuhnya.

Perbedaan pendapat yang berkepanjangan itu akhirnya menempatkan dasar perundangan berlakunya hukum adat bagi golongan pribumi dan timur asing dalam pasal 11 AB yang berbunyi  :
"Kecuali dalam hal-hal orang pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka (orang Timur Asing), dengan sukarela menaati (vrijwillige onderwerping) peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum dagang Eropa, atau dalam hal-hal bahwa bagi mereka berlaku peraturan perundangan semacam itu, atau peraturan perundangan lain, maka hukum yang berlaku dan yang diperlakukan oleh Hakim pribumi (Inlandse rechter) bagi mereka itu adalah "godsdienstige wetten", "volksinstellingen en gebruiken" (undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan) mereka, asal saja peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diakui umum."

Ketika itu istilah "hukum adat" (adatrecht) belum dikenal, maka istilah yang digunakan pembuat perundangan adalah "undang-undang keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan".

Dengan adanya pasal 11 AB tersebut, maka hukum perdata yang berlaku di Hindia Belanda sejak waktu itu berdasarkan dua asas, yaitu :
  1. Asas Konkordansi, untuk golongan hukum Eropa, sehingga diperlakukannya Hukum Perdata barat yang sama dengan Hukum Perdata yang berlaku di Belanda.
  2. Asas Dualisme, bagi golongan pribumi dan timur asing, dimana berlaku Hukum Perdata barat atas dasar menaati secara sukarela dan berlakunya hukum perdata adat yang berupa aturan keagamaan, kelembagaan rakyat, dan kebiasaan mereka.

Ketika kemudian terjadi perubahan undang-undang pada tanggal 31 Desember 1906, S.1907 Nr.204, maka asas dualisme itu dimasukkan ke dalam pasal 75 ayat 3 (redaksi lama) Regeerings Reglement (RR) tahun 1854. Jadi pada dasarnya antara redaksi pasal 11 AB dan pasal 75 RR (redaksi lama) adalah sama isinya.

Selanjutnya pada tanggal 10 - 12 Oktober 1906 dilakukan amandemen terhadap pasal 75 RR (redaksi baru), yang kemudian menjadi redaksi pasal 131 ayat 2 b IS (Indiesche Staatsregeling) sampai pecah perang dunia kedua.

Pasal 131 IS yang berlaku sejak ytanggal 1 Januari 1929 itu menyatakan bahwa :
  1. bagi golongan Eropa berlaku hukum yag sama...
  2. bagi golongan pribumi, golongan Timur Asing, dan bagian-bagian daripadanya berlaku peraturan-peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka, namun dapat dikecualikan terhadap peraturan-peraturan tersebut dalam hal kepentingan umum atau kebutuhan sosial mereka memerlukan kekecualian itu. Dalam hal kebutuhan sosial mereka memerlukan, maka dapat ditetapkan bagi meraka hukum Eropa, jika perlu diadakan perubahan, maupun hukum yang berlaku bagi mereka dan golongan Eropa bersama-sama.

Antara pasal 11 AB dan pasal 131 ayat 2 b IS, yang merupakan dasar berlakunya hukum adat menurut perundangan di masa Hindia Belanda, terdapat perbedaan, yaitu :
  • Pasal 11 AB, ditujukan kepada 'Hakim Indonesia'. Jadi memuat tugas hakim.
  • Pasal 131 ayat 2 b, ditujukan kepada 'pembuat ordonansi'. Jadi memuat tugas bagi pembuat ordonansi.
Dengan demikian maka pasal 131 IS itu merupakan pasal kodifikasi di jaman Hindia Belanda.

Demikian penjelasan berkaitan dengan politik hukum adat Belanda. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, karangan Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH.

Semoga bermanfaat.