Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia pada tahun 1596, hukum yang berlaku di Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut hukum adat. Dalam sistem hukum adat tidak dikenal pemisahan hukum pidana dan hukum privat. Di berbagai daerah hukum adat banyak dipengaruhi oleh agama Islam dan agama Hindu. Namun sebagian besar hukum adat di daerah-daerah Indonesia masih bersifat asli.
Pada saat Belanda mulai memasuki Indonesia melalui pedagang-pedagang Belanda (VOC) keadaan mulai berubah. Di beberapa daerah yang dikuasai, VOC memberlakukan aturan-aturannya sendiri. Semula aturan-aturan itu berbentuk plakat-plakat, yang kemudia dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia pada tahun 1642, hanya saja belum merupakan kodifikasi. Selain Statuten Van Batavia, pada 1848 VOC juga memberlakukan Interimaire Straf Bepalingen, dan dua aturan lain Oud Hollands Recht dan Romeins Recht, yaitu hukum Belanda kuno dan hukum Romawi.
Pada masa VOC, bagi penduduk asli Indonesia (pribumi) dinyatakan berlaku hukum adat masing-masing. Tetapi dalam berbagai hal VOC mencampuri peradilan-peradilan adat dengan alasan :
- Sistem hukuman pada hukum adat tidak memadai untuk memaksakan rakyat mentaati peraturan-peraturan.
- Hukum adat ada kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena persoalan alat-alat bukti.
- Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindak pidana yang harus diberikan suatu sanksi.
Campur tangan VOC terhadap peradilan adat di Indonesia waktu itu dapat dilihat di antaranya dengan diadakanya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi hakim-hakim peradilan adat, yang isinya antara lain memuat sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750, dikenal juga Kitab Hukum Mocharraer yang berisikan himpunan hukum pidana Islam, yang dihimpun dan dikeluarkan oleh VOC. Pada tahun 1810, Belanda menjalankan politik Agraria, di mana diadakan perubahan sistem dalam menjalankan hukuman, yaitu para narapidana digunakan untuk kerja paksa, dan lain sebagainya.
Kodifikasi Hukum Pidana. Dalam pengaturan perundang-undangan di Hindia Belanda (Indische wetgeving), ditentukan asas konkordansi, yaitu suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negara Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (pasal 75 RR dan pasal 131 IS). Atas dasar asas konkordansi tersebut di Hindia Belanda diberlakukan :
- Bagi orang Eropa berlaku Wetboek van Strafrecht Voor Europeanen yang telah dikodifisir, yang diumumkan dalam stb. 1866/55 dan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1867.
- Bagi yang bukan orang Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht Voor Inlander, yang diumumkan dalam stb 1872/85, dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1873.
Kedua WvS tersebut hampir sama yang mebedakan hanyalah dalam berat atau ringannya ancaman pidananya.
Selain kedua aturan tersebut, diberlakukan juga dua macam Politek Strafreglement, yang satu berlaku untuk golongan Eropa dan yang satunya untuk bukan golongan Eropa. Sehingga pada saat itu terjadi dualisme dalam hukum pidana. Keadaan tersebut berlangsung hingga tanggal 1 Januari 1918.
Unifikasi Hukum Pidana. Idenburg seorang Minister van Kolonien berpendapat bahwa dualisme hukum harus dihapuskan. Usaha untuk menggabungkan dua peraturan perundang-undangan itupun dilakukan. Akhirnya pada tahun 1915 dengan Koningkelijke Beslut (KB) disahkan Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlands Indie, yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918. WvS ini berlaku bagi golongan Eropa maupun yang bukan Eropa. Sejak saat itulah terdapat unifikasi hukum pidana di Indonesia, yang berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia. Bersamaan dengan WvS tersebut diberlakukan pula beberapa peraturan seperti Gestichten Reglement Stb. 1917/708, Wijzigings Ordonantie Stb. 1917/732, Dwangopvoeding Regeling Stb. 1917/741, dan Voowaardelijke invrijheidstelling Stb. 1917/149.
Maksud unifikasi hukum pidana oleh pemerintah Belanda tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Hal ini terkait dengan Peraturan Peradilan Hindia Belanda, yang menurut peraturan tersebut ada tiga macam lingkungan hukum atau lingkungan peradilan (rechts-sfeer), yaitu :
- Peradilan Pemerintah yang berlaku untuk setiap orang.
- Peradilan Swapraja.
- Peradilan Pribumi.
Untuk peradilan pemerintah digunakan WvS, sedangkan untuk Peradilan swapraja dan Peradilan pribumi digunakan hukum adat. Ketentuan tersebut dimuat dalam pasal 130 Indische Staatsregeling (IS), yang mengatakan antara lain bahwa sumber hukum langsung dari hukum pidana bagi daerah-daerah Swapraja dan daerah-daerah yang dibenarkan menggunakan hukum sendiri, adalah hukum adat.
Alasan untuk mengadakan tiga macam lingkungan peradilan pada waktu itu adalah :
- Penghematan biaya negara.
- Pada beberapa bagian di mana berlaku Peradilan Pribumi ditinjau dari sudut ekonomi dianggap tidak penting memberlakukan WvS.
Keadaan tersebut berlaku sampai dengan tahun 1951, hingga terbit Undang-undang Nomor : 1 Drt Tahun 1951, yang menghapuskan peradilan-peradilan Swapraja dan Pribumi, dan berangsur-angsur di Indonesia hanya dikenal satu peradilan saja.
Demikian penjelasan berkaitan dengan sejarah hukum pidana di Indonesia : hukum pidana di masa kolonial Belanda.
Semoga bermanfaat.