Pengertian Makar Dan Tindak Pidana Makar

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Makar dan Kudeta. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak ditemukan penjelasan yang tegas tentang pengertian dari makar. Makar merupakan istilah yang digunakan oleh para akademisi hukum untuk menjelaskan suatu perbuatan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud untuk menjatuhkan atau menentang kebijaksanaan yang sudah menjadi ketetapan dengan melawan hukum, baik melalui kekuatan senjata maupun dengan kekuatan lainnya atau dengan cara lain. Kata makar sendiri adalah terjemahan dari "aanslag" yang berasal dari bahasa Belanda, yang berarti serangan yang bersifat kuat. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makar diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu :
  1. akal busuk, tipu muslihat.
  2. perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya.
  3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Sebagian orang menyamakan perbuatan makar dengan kudeta. Apa yang dimaksud dengan kudeta ? Istilah "kudeta", berasal dari bahasa Perancis, yaitu "coup d'etat" yang berarti :
  1. merobohkan legitimasi atau pukulan terhadap negara.
  2. suatu tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan seringkali bersifat brutal, inkonstitusional.
  3. pengambilalihan kekuasaan, penggulingan kekuasaan sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.

Dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia, kudeta diartikan sebagai perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Jika merujuk pada laman Wikipedia, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kudeta adalah suatu tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan seringkali brutal, inkonstitusional berupa pengambilalihan kekuasaan, penggulingan kekuasaan sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.


Antara Makar dan Kudeta, Apakah Ada Perbedaannya ? Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disebutkan bahwa antara makar dan kudeta pada hakekatnya adalah sama yaitu suatu usaha untuk menjatuhkan dan merebut kekuasaan negara dari pemerintahan yang sah dengan cara yang ilegal dan inkonstitusional. Secara umum, kudeta lebih merujuk pada istilah politik, sedangkan makar merujuk pada istilah hukum. Lebih jelasnya dapat disebutkan sebagai berikut : 
  • kudeta merupakan perbuatan pidana, tetapi perbuatan pidana tersebut akan hilang apabila kudeta yang dilakukan berhasil. Hal tersebut disebabkan karena adanya legitimasi politik dari rakyat dan militer.
  • makar merupakan pengganti istilah kudeta yang dikenal dalam hukum pidana (KUH Pidana). Tindak pidana makar termasuk ke dalam rumpun kejahatan terhadap keamanan negara.


Makar Menurut Hukum Pidana Indonesia. Meskipun pengertian makar secara tegas tidak tercantum dalam KUH Pidana, tetapi ketentuan tentang makar dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 87 KUH Pidana, yang menyebutkan bahwa :
  • Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dengan Pasal 53 KUH Pidana.

Pasal 87 KUH Pidana tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa itu yang disebut dengan makar. Tetapi Pasal 87 KUH Pidana merujuk pada Pasal 53 KUH Pidana yang mengatur tentang percobaab (poging), di mana ketentuan Pasal 53 Ayat (1) KUH Pidana tersebut menyebutkan bahwa : 
  • (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, buka semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Dari ketentuan Pasal 53 Ayat (1) KUH Pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dikatakan sebagai perbuatan pidana (dalam konteks ini adalah makar) apabila memenuhi tiga syarat, yaitu :
  • adanya niat/maksud (voornemen). Perbuatan makar harus didasari dengan niat dan kesengajaan. Jika tidak sengaja, maka tidak termasuk makar. Pada prinsipnya niat merupakan unsur subyektif karena menyangkut sikap batin seseorang sehingga pembuktian adanya niat ini harus dinormatifkan atau diobyektifkan. Pembuktian unsur niat pada dasarnya sama dengan pembuktian kesengajaan (dolus/opzet) di mana harus dibuktikan bahwa pelaku percobaan mengetahui dan menghendaki kejahatan maupun akibatnya (willen en wetten). Hal yang perlu diketahui bahwa percobaan (poging) dalam ketentuan Pasal 53 Ayat (1) KUH Pidana yang dirujuk oleh Pasal 87 KUH Pidana tersebut hanya bisa dilakukan terhadap delik yang disyaratkan dilakukan dengan sengaja, dan tidak mungkin dilakukan terhadap delik yang disyaratkan dilakukan dengan lalai. 
  • permulaan pelaksanaan. Artinya adalah adanya rencana yang dilakukan. Suatu perbuatan makar pastilah melalui rencana dan kesepakatan. Berdasarkan doktrin dalam ilmu hukum pidana, terdapat dua istilah penting dalam konsep percobaan, yaitu : 1. perbuatan persiapan, yang diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan untuk mempersiapkan tindak pidana yang akan dilakukan yang sering juga disebut sebagai permulaan pelaksanaan niat. 2. permulaan pelaksanaan, yang diartikan sebagai tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan.
  • pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri. Artinya adalah perbuatan tersebut terhenti dan tidak diteruskan disebabkan oleh alasan dari luar dirinya, seperti karena ketahuan atau digagalkan oleh aparat kepolisian.

Ketiga syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga ketiganya harus terpenuhi seluruhnya agar seseorang dapat didakwa melakukan percobaan kejahatan (makar). Karena ketentuan Pasal 87 KUH Pidana tentang tindak pidana makar mengacu pada ketentuan Pasal 53 Ayat (1) KUH Pidana tentang percobaan, maka tindak pidana makar juga dianggap telah terjadi (voltooid delict) sebelum akibat tergulingnya pemerintah atau terbunuhnya atau hilangnya kemampuan presiden memerintah benar-benar terjadi.


Bentuk Kejahatan Makar dalam Hukum Pidana (Tindak Pidana Makar). Suatu bentuk kejahatan yang masuk dalam kategori makar, yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUH Pidana, dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut : 

1. Menyerang Keamanan Presiden dan Wakil Presiden.
Bentuk kejahatan makar ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 104 KUH Pidana sebagai berikut :
  • Makar dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

2. Menyerang Keamanan dan Keutuhan Wilayah Negara.
Bentuk kejahatan makar ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 106 KUH Pidana sebagai berikut :
  • Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

3. Menyerang Kepentingan Hukum Tegaknya Pemerintahan Negara.
Bentuk kejahatan makar ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 107 KUH Pidana sebagai berikut :
  • (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama duapuluh tahun.

Kejahatan makar yang dimaksud dalam Pasal 107 KUH Pidana tersebut bukan suatu kejahatan makar yang dilakukan dengan kekerasan menggunakan senjata, melainkan cukup misalnya dengan membentuk organisasi yang bertujuan untuk melakukan penggulingan pemerintahan yang sah. 


Selain tindak pidana makar sebagaimana disebutkan di atas, dalam KUH Pidana juga diatur tentang tindak pidana pemberontakan, sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 108 KUH Pidana, yang menyebutkan :
  • (1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara sementara paling lama lima belas tahun : 1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan sengaja; 2. orang yang dengan maksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemerintah dengan senjata.
  • (2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.


Uji Materi Pasal-Pasal tentang Makar di Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tentang kejahatan makar (Pasal 87, 104, 106, 107, 139A, 139B, dan 140 KUH Pidana) tersebut, pernah dimohonkan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai multitafsir. Pemohon minta supaya makar harus dimaknai sebagai "serangan", sehingga harus dianggap sebagai delik selesai.
  • Atas permohonan tersebut, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menilai argumen pemohon tidak bisa diterima. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa percobaan makar (tanpa perlu tujuan makar tercapai yaitu pemerintah yang terguling) sudah bisa dikenai delik. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa apabila kata "makar" dimaknai dengan "serangan", hal tersebut justru akan menimbulkan ketidak-pastian hukum, karena penegak hukum baru dapat melakukan tindakan hukum terhadap seseorang apabila orang yang bersangkutan telah melakukan tindakan "serangan" dan telah nyata timbul korban.
  • Mahkamah Konstitusi juga menyebutkan bahwa rumusan makar adalah niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Cukup terpenuhinya dua syarat tersebut, maka suatu perbuatan dapat disebut sebagai makar.  Adanya kekuatiran jika defenisi makar akan menjadi alat represi aparat penegak hukum, bukanlah merupakan alasan konstitusional untuk menghapuskan delik makar. Hal tersebut hanyalah persoalan implementasi norma yang disebabkan karena tidak adanya persepsi yang sama antar penegak hukum tentang pengidentifikasian batas-batas yang jelas tentang tindak pidana makar.

Sedangkan adanya anggapan pasal-pasal KUH Pidana tentang makar tersebut akan mengekang kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh UUD 1945, juga tidak beralasan. Hukum pidana hadir untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak merusaknya. Kepentingan hukum meliputi kepentingan hukum individu, kepentingan hukum masyarakat, dan kepentingan hukum negara. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi kehidupan berbangsa, termasuk melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu,  Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal makar adalah turunan langsung dari kedaulatan negara, sehingga pasal makar dalam KUH Pidana tidak dapat dihapuskan. Pasal makar tetap diperlukan untuk melindungi kepentingan hukum negara. 


Peristiwa Makar Yang Terjadi Dalam Sejarah Indonesia. Di Indonesia, perbuatan makar telah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sudah terjadi sejak jaman kerajaan-kerajaan Nusantara yang pada umumnya dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa. Beberapa peristiwa makar yang tercatat dalam sejarah sebelum Indonesia merdeka beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Peristiwa Tumapel, yaitu kudeta yang dilakukan oleh Ken Arok terhadap Tunggul Ametung penguasa Tumapel, pada tahun 1222 Masehi.
  • Pemberontakan Ra Kuti, yaitu peristiwa kudeta yang dilakukan oleh Ra Kuti terhadap Jaya Negara raja Majapahit, pada tahun 1319 Masehi.
  • Pemberontakan Aryo Penangsang terhadap Kesultanan Demak, pada tahun 1549.


Sedangkan setelah Indonesia merdeka, beberapa peristiwa makar juga tercatat dalam sejarah Indonesia, diantaranya :

1. Peristiwa 3 Juli 1946
Peristiwa 3 Juli 1945 dikenal sebagai peristiwa makar pertama kali yang terjadi setelah Indonesia merdeka.  Peristiwa 3 Juli 1946 bukanlah peristiwa makar untuk menggulingkan presiden sebagai kepala negara, melainkan untuk mengganti pemerintahan yang sah waktu itu di bawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrin. Peristiwa ini disulut oleh ketidak-puasan kelompok oposisi terhadap pemerintahan kabinet Sutan Sjahrir. Akibat peristiwa ini, pemerintah menangkap para tokoh oposisi seperti Tan Malaka, Sukarni, dan Achmad Soebardjo. Mereka dituduh melakukan percobaan makar kepada Sutan Sjahrir. 

Dalam buku "Peristiwa 3 Juli 1946 : Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia", disebutkan bahwa pada tanggal 3 Juli 1945, Mayor Jenderal Sudarsono, pelaku utama penculikan terhadap Sutan Sjahrir menghadap kepada Presiden Sukarno, ia bersama beberapa rekannya menyodorkan maklumat yang harus ditanda-tangani oleh Presiden Sukarno, yang berisi :
  • Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II.
  • Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik. 
  • Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai oleh Tan Malaka, dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoadmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
  • Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya tercantum dalam maklumat.

Tidak terima dengan permintaan tersebut, Presiden Sukarno memerintahkan penangkapan kepada para pengantar maklumat dan menangkap empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya makar tersebut.

2. Pemberontakan PRRI/Permesta.
Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) pada awalnya dipicu oleh pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949.  Akibatnya pada tanggal 17 Pebruari 1950 para tokoh militer di Sulawesi memproklamirkan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Masalah tersebut semakin membesar dengan adanya pengerucutan Divisi Banteng, ditambah dengan adanya ketidak-harmonisan antara pemerintah pusat dan daerah terutama di daerah Sumatera dan Sulawesi, yang disebabkan oleh masalah ekonomi daerah dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Akibat ketidak-puasan tersebut, para perwira militer dari Divisi Banteng membentuk dewan militer daerah, yang meliputi :
  • Dewan Banteng, dibentuk pada tanggal 20 Desember 1956 di Sumatera Barat oleh Kolonel Ismail Lengah dan diketuai oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
  • Dewan Gajah, dibentuk pada tanggal 22 Desember 1956 di Sumatera Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon.
  • Dewan Garuda, dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 di Sumatera Selatan oleh Letnan Kolonel Barlian.
  • Dewan Manguni, dibentuk pada tanggal 17 Pebruari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.

Pada tanggal 9 Januari 1958, para tokoh militer dan sipil berkumpul di Sungai Daerah, Sumatera Barat. Pertemuan itu menghasilkan sebuah pernyataan yang disebut "Piagam Jakarta" yang berisi tuntutan agar Presiden Sukarno bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, serta menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 dan membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. 

Tuntutan tersebut ditolak oleh Presiden Sukarno. Akibat penolakan tersebut pada tanggal 15 Pebruari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara. Pada awal pembangunan pemerintahannya, PRRI mendapatkan dukungan dari Permesta dan rakyat setempat. Dengan bergabungnya Permesta dengan PRRI tersebut maka gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/Permesta.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer gabungan yang diberi nama Operasi Merdeka, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Akhirnya pemberontakan PRRI/Permesta dapat ditumpas pada bulan Agustus 1956.

3. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pemberontakan DI/TII dipicu dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda pada bulan Januari 1948. Adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo seorang tokoh yang mendirikan dan memproklamirkan Darul Islam (Negara Islam) di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 7 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Darul Islam diproklamirkan pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan ketentuan yang disepakati dalam Perjanjian Renville, dan saat Negara Pasundan buatan Belanda mengangkat Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden. Dalam perkembangan selanjutnya, DI/TII menyebar sampai ke beberapa wilayah, terutama Jawa Barat hingga perbatasan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan. 

Untuk menumpas pemberontakan DII/TII, pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut "Gerakan Banteng Negara" yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini (selanjutnya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Pemberontakan DII/TII baru benar-benar dapat berhasil ditumpas pada tahun 1962, bersamaan dengan ditangkapnya pimpinan DI/TII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 4 Juli 1962. 

4. Pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G.30.S/PKI).
Pemberontakan G.30.S/PKI tanggal 30 September 1965 merupakan peristiwa makar yang paling dikenal hingga saat ini. Doktrin nasakom (nasionalis, agamis, dan komunis) yang dikembangkan oleh Presiden Sukarno memberikan keleluasaan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan D.N. Aidit untuk memperluas pengaruhnya. Kondisi perekonomian negara yang sangat memprihatinkan pada saat itu mendukung usaha PKI dalam memperluas pengaruhnya.

Pemberontakan G.30.S/PKI dipicu oleh beberapa hal, yaitu :
  • keinginan PKI untuk mendirikan negara komunis.
  • Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan kelima.
  • Angkatan Darat menolak doktrin nasakom, karena dianggap hanya akan menguntungkan kedudukan PKI.
  • Angkatan Darat menolak poros Jakarta - Peking dan konfrontasi dengan Malaysia. 

Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan satu gerakan yang disebut dengan "aksi sepihak". Beberapa petani dan buruh dibantu oleh beberapa kader PKI, menggantikan/merampas tanah masyarakat, melakukan demonstrasi dan pemogokan. Puncak dari pemberontakan G.30.S/PKI adalah tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di mana mereka berhasil menculik para perwira Angkatan Darat dan dibawa ke daerah Lubang Buaya, Jakarta. 

Dalam peristiwa G.30.S/PKI tersebut, 6 jenderal Angkatan Darat dan satu perwira menengah Angkatan Darat telah menjadi korban. Mereka adalah :
  • Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi).
  • Mayor Jenderal Mas Titodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat bidang Perencanaan dan Pembinaan).
  • Mayor Jenderal R. Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat bidang Administrasi).
  • Mayor Jenderal Siswono Parman (Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat bidang Intelejen).
  • Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat bidang Logistik).
  • Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).
  • Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution). 
Pada saat peristiwa penculikan, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil meloloskan diri dari penculikan, tetapi putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal dunia.

Setelah PKI berhasil membunuh para pimpinan Angkatan Darat tersebut, pimpinan G.30.S/PKI mengumumkan apa yang mereka sebut dekrit melalui RRI yang telah berhasil dikuasai : 
  • Dekrit Nomor : 1, yang berisi tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi di Indonesia. 
  • Dekrit Nomor : 2, yang berisi penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat militer di atas Letnan Kolonel diturunkan, sedang prajurit yang mendukung G.30.S/PKI dinaikkan pangkatnya satu atau dua tingkat).

Pemberontakan G.30.S/PKI tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga pasukan RPKAD berhasil mengambilalih kembali RRI, gedung telokomunikasi, dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka, Jakarta. Pada tanggal 3 Oktober 1965 jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat berhasil di temukan di dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Para perwira Angkatan Darat yang menjadi korban pemberontakan G.30.S/PKI dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, dan mereka dianugerahi gelar sebagai "Pahlawan Revolusi". 

Beberapa tahun sebelum meletusnya G.30.S, PKI juga pernah melakukan pemberontakan yaitu pada tahun 1948 di Madiun. Pemberontakan PKI Madiun tidak lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin akibat dari kegagalannya dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville, yang menghasilkan "Perjanjian Renville", yang sangat merugikan Indonesia. 

Untuk merebut kembali kedudukannya, pada tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membuat Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berbasiskan golongan petani dan buruh. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso pulang dari Moskow. Selanjutnya Amir Syarfuddin bersama Muso bekerja sama menyusun suatu doktrin untuk PKI yang diberi nama "Jalan Baru". Pada tanggal 18 September 1948, Muso memproklamirkan berdirinya negara pemerintahan Soviet di Indonesia yang  berbasis di Madiun.

Untuk menumpas pemberontakan PKI Madiun, pemerintah melancarkan operasi militer yang berintikan pasukan dari Divisi Siliwangi. Pada tanggal 30 September 1948, pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas dan kota Madiun dapat diambil alih oleh tentara Republik Indonesia. 


Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian makar, makar menurut hukum pidana Indonesia, bentuk kejahatan makar dalam hukum pidana (tindak pidana makar), dan peristiwa makar yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Semoga bermanfaat.