Asas merupakan prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan. Asas juga dapat diartikan sebagai dasar atau dasar hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan asas hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.
Perjanjian, menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Secara umum, ketentuan tentang perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Perikatan atau diatur dalam ketentuan Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
Baca juga : Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Syarat Sahnya Perjanjian. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : "Untuk sahnya suatu suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Beginsel der Contract Vrijheid).
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
Perjanjian, menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Secara umum, ketentuan tentang perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Perikatan atau diatur dalam ketentuan Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
- "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."
Baca juga : Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Syarat Sahnya Perjanjian. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa : "Untuk sahnya suatu suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- suatu hal tertentu.
- suatu sebab yang halal".
Syarat pertama dan kedua yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum disebut sebagai syarat subyektif perjanjian, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat, yaitu adanya obyek perjanjian dan causa yang halal disebut sebagai syarat obyektif perjanjian, karena menyangkut obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif atau syarat obyektif :
Asas-Asas Hukum Perjanjian. Suatu perjanjian, selain harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, juga harus memperhatikan dan menerapkan asas-asas dalam hukum perjanjian. Dalam hukum perjanjian, khususnya dalam KUH Perdata, dikenal beberapa asas perjanjian, yaitu :- apabila syarat pertama dan kedua (syarat subyektif) tidak terpenuhi, maka akan berakibat perjanjian dapat dibatalkan.
- apabila syarat ketiga dan keempat (syarat obyektif) tidak terpenuhi, maka akan berakibat perjanjian batal demi hukum, maksudnya adalah dari semula perjanjian dianggap tidak pernah terjadi.
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Beginsel der Contract Vrijheid).
Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
- membuat atau tidak membuat perjanjian.
- mengadakan perjanjian dengan siapapun.
- menentukan isi perjanjian atau pelaksanaan dan persyaratannya.
- menentukan bentuk perjanjian, lisan atau tertulis.
kekuatan berlakunya perjanjian bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian adalah dengan beberapa pembatasan, yaitu :
- tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.
- tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
- tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (dwingendsrecht).
Baca juga : Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
2. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (Verbindende Kracht der Overeenkomst).
Asas kekuatan mengikat perjanjian mengandung arti bahwa bahwa perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan mengikat bagi kedua belah pihak atau pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Atau dengan kata lain, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pengertian tersebut dikenal dengan adagium "pacta sunt servanda".
Asas kekuatan mengikat perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
- (2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Dari perkataan 'berlaku sebagai undang-undang' dan 'tidak dapat ditarik kembali' dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata tersebut mempunyai konsekuensi bahwa :
- perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lawannya.
- para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama dalam perjanjian yang mereka buat.
- pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat melakukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawan.
Baca juga : Itikad Baik Dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata
3. Asas Itikad Baik (Geodetrouw).
Asas itikad dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- (3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas itikad baik tersebut berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Itikad baik dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :
- dari segi subyektif, itikad baik berarti kejujuran, yang berkaitan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian.
- dari segi obyektif, itikad baik berarti kepatutan, yang berkaitan erat dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Baca juga : Teori Untuk Menentukan Telah Terjadinya Kata Sepakat Dalam Perjanjian
4. Asas Konsensualisme.
Maksud dari asas konsensual adalah bahwa dalam perjanjian yang dibuat haruslah berdasarkan kesepakatan para pihak. Bahwa pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan. Secara tegas bahwa para pihak telah menyetujui adanya perjanjian itu dengan suatu konsensus, baik secara lisan maupun secara tertulis. Kalau para pihak telah saling mempercayai, maka konsensus tersebut cukup dengan lisan, tetapi untuk lebih memperkuat konsensus (kesepakatan) hendaknya dibuat secara tertulis ataupun dengan suatu akta, baik akta bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). Asas konsensualisme ini secara prinsip terdapat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas, yaitu tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Pengecualian terhadap asas ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalnya undang-undang mensyaratkan perjanjian dibuat secara tertulis. Contoh perjanjian harus dibuat secara tertulis sebagaimana amanat dari undang-undang adalah jual beli tanah. Perjanjian jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik (akta notaris).
Baca juga : Janji Dan Perikatan Dalam Buku III KUH Perdata
5. Asas Kepribadian (Personality).
Asas kepribadian adalah suatu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat suatu perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kepribadian ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata.
* Pasal 1315 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
Dari ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata tersebut jelaslah untuk mengadakan suatu perjanjian, seseorang harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dari ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata tersebut tegas menjelaskan perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Pasal 1317 KUH Perdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan.
Dengan begitu, ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualian, sedangkan ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
Pengecualian terhadap asas ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalnya undang-undang mensyaratkan perjanjian dibuat secara tertulis. Contoh perjanjian harus dibuat secara tertulis sebagaimana amanat dari undang-undang adalah jual beli tanah. Perjanjian jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik (akta notaris).
Baca juga : Janji Dan Perikatan Dalam Buku III KUH Perdata
5. Asas Kepribadian (Personality).
Asas kepribadian adalah suatu asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat suatu perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kepribadian ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata.
* Pasal 1315 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
- Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.
Dari ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata tersebut jelaslah untuk mengadakan suatu perjanjian, seseorang harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
* Pasal 1340 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
- Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Dari ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata tersebut tegas menjelaskan perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya, yaitu sebagaimana ditentukan dalam ketentuan :
* Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal 1317 KUH Perdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan.
* Pasal 1318 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan telah nyata dari sifat perjanjian itu bahwa bukan itu maksudnya.
Apabila dibandingkan antara ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata dengan Pasal 1318 KUH Perdata tersebut, maka :
- Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga.
- Pasal 1318 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuat perjanjian.
Dengan begitu, ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualian, sedangkan ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
6. Asas Penambahan (Aanvullendsrecht).
Asas penambahan ini mengandung arti, bahwa secara prinsip menghendaki pihak-pihak yang membuat isi perjanjian harus secara lengkap dan sempurna tanpa mempunyai kekurangan. Akan tetapi apabila isi perjanjian yang dibuat tersebut terdapat kekurangan, maka kekurangan akan ditambah atau dilengkapi dari pasal-pasal undang-undang yang berlaku. Asas ini menunjukkan bahwa yang diutamakan dalam perjanjian itu, kehendak dan maksud kedua belah pihak secara bebas, dan jika dalam isi perjanjian yang dibuat tersebut terdapat kekurangan, maka akan ditambah atau dilengkapi dari aturan yang termuat dalam pasal-pasal yang terdapat pada buku III KUH Perdata.
Jadi dapat dilihat, bahwa buku III KUH Perdata bersifat sebagai hukum penambah (aanvullendsrecht) dari perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut. Contoh dari hukum penambah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah ketentuan mengenai syarat batal suatu perikatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
Baca juga : Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian
Jadi dapat dilihat, bahwa buku III KUH Perdata bersifat sebagai hukum penambah (aanvullendsrecht) dari perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut. Contoh dari hukum penambah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah ketentuan mengenai syarat batal suatu perikatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
- Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
- Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
- Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
- Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk, menuntut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Baca juga : Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian
7. Asas Terbuka (Open Systeem).
Maksud sistem terbuka ini adalah dalam membuat perjanjian, diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian dan hukum apa yang akan dipergunakan demi kebebasan asasi setiap orang, yang dijamin oleh hukum. Asas terbuka suatu perjanjian, selain terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, juga terdapat dalam ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata, yang menyebutkab bahwa :
Setiap orang tidak dapat dipaksa oleh siapapun dan ia bebas menciptakan keadilan dan kepatutan menurut kehendak pihak-pihak tersebut secara bersama-sama. Kalau para pihak telah bersepakat secara terbuka dalam memberlakukan hukum yang disepakatinya, maka perjanjian itu mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang bersepakat tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata.
Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
Selain asas-asas tersebut, masih terdapat lagi beberapa asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
Baca juga : Pengertian Serta Hubungan Antara Perjanjian, Persetujuan, Kontrak, Perikatan, Dan Kesepakatan
- Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Setiap orang tidak dapat dipaksa oleh siapapun dan ia bebas menciptakan keadilan dan kepatutan menurut kehendak pihak-pihak tersebut secara bersama-sama. Kalau para pihak telah bersepakat secara terbuka dalam memberlakukan hukum yang disepakatinya, maka perjanjian itu mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang bersepakat tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUH Perdata.
Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
Selain asas-asas tersebut, masih terdapat lagi beberapa asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
- Asas Kepercayaan (Vetrouwensbeginsel). Para pihak yang membuat perjanjian harus saling menumbuhkan kepercayaan di antara keduanya, bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Tanpa adanya kepercayaan tersebut, maka tidak mungkin terjadi suatu perjanjian.
- Asas Persamaan Hak. Asas persamaan hak menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan tidak ada pembedaan apapun.
- Asas Kepastian Hukum. Kepastian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian tersebut, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak pembuat perjanjian.
- Asas Keseimbangan (Evenwichtsbeginsel). Asas keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada pihak lain.
- Asas Moral. Asas moral terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak lainnya.
- Asas Kebiasaan. Asas kebiasaan dipandang sebagai bagian dari perjanjian yang tidak hanya mengikat untuk apa saja yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam kebiasaan dan lazim diikuti.
- Asas Kepatutan. Asas kepatutan berhubungan erat dengan isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
- Asas Perlindungan. Asas perlindungan maksudnya adalah semua pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus sama-sama dilindungi kepentingannya.
Baca juga : Pengertian Serta Hubungan Antara Perjanjian, Persetujuan, Kontrak, Perikatan, Dan Kesepakatan
Asas-asas tersebut di atas merupakan dasar pijakan bagi para pihak dalam menentukan dan membuat suatu perjanjian.
Demikian penjelasan berkaitan dengan asas-asas hukum perjanjian.
Demikian penjelasan berkaitan dengan asas-asas hukum perjanjian.
Semoga bermanfaat.