Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Hukum perjanjian menganut suatu sistem terbuka artinya bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
  • Berbeda dengan hukum perjanjian, hukum benda mempunyai suatu sistem tertutup artinya bahwa macam-macam hak atas benda adalah terbatas  pada  peraturan-peraturan  yang  mengenai  hak-hak atas benda itu bersifat memaksa. 

Baca juga : Teori-Teori Untuk Menentukan Telah Terjadi Kata Sepakat Dalam Perjanjian

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjajian atau lazim disebut asas kebebasan berkontrak, diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan :
  • Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

Dengan menekankan pada perkataan 'semua', maka pasal tersebut seolah-olah berisikan pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atau tentang apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang.  Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang menyebutkan :
  • Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Baca juga : Hapusnya Suatu Perjanjian Dan Akibat-Akibat Perjanjian

Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian. Para pihak tersebut diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian.

Selanjutnya, sistem terbuka dari hukum perjanjian itu juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang dikenal saja dalam  masyarakat pada waktu KUH Perdata dibentuk. Misalnya undang-undang yang mengatur tentang jual beli dan sewa menyewa.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme, yang artinya  sebagai berikut :
  • bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. 

Atau dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila para pihak sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok untuk diperjanjikan, dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

Dalam KUH Perdata, asas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 
  1. sepakat mereka yang mengikat dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal.

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti mengikat para pihak) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Dalam hal para pihak mengikatkan diri adalah menunjukkan adanya asas konsensualisme  atau sepakat itu.

Baca juga : Janji Dan Perikatan Dalam Buku III KUH Perdata

Terhadap asas konsensualisme itu ada juga pengecualiannya, yaitu untuk beberapa macam perjanjian undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu dan apabila dilanggar ancamannya adalah batalnya perjanjian tersebut, misalnya : perjajian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak haruslah dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain-lain. Perjajian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan Perjanjian Formil.

Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan

Dengan demikian konsensus atau sepakat dapat dilakukan dengan cara :
  • Mengucapkan secara lisan, berarti mengatakan setuju sehingga terjadi perjanjian.
  • Dengan isyarat, dapat dilakukan dengan menganggukkan kepala sebagai tanda setuju, atau menggeleng sebagai tanda tidak setuju.
  • Dengan tertulis, dapat dilakukan dengan membuat akta di bawah tangan atau dengan akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.

Demikian penjelasan berkaitan dengan sistem terbuka dan asas konsensualisme dalam hukum perjanjian. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Semoga bermanfaat.