Itikad Baik Dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Perjanjian. Yang dimaksud dengan perjanjian menurut Prof. Subekti, SH adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dimaksud dengan perjanjian termuat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
  • Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.


Suatu perjanjian akan berlaku dan mengikat para pihak pembuatnya, apabila memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. suatu hal tertentu.
  4. suatu sebab yang halal.
Para pihak dalam membuat suatu perjanjian dibebaskan untuk menentukan isi dari perjanjian yang akan dibuatnya, selama hal tersebut tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak. Dalam KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak tersebut termaktub dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi :
  1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
  3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksud dengan itikad baik dalam ketentuan pasal tersebut adalah keharusan untuk melaksanakan suatu perjanjian secara pantas dan patut. Jadi titik beratnya pada pelaksanaan suatu perjanjian, sesudah perjanjian itu ada yang dibuat secara sah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut, pelaksanaan dari isi suatu perjanjian dibatasi oleh kepantasan dan kepatutan. Namun begitu, apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian salah satu pihak tidak memenuhi ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut,  hal itu tidak lantas dapat mengubah hak dan kewajiban pokok dari para pihak yang telah disepakati dalam perjanjian.

Lebih jauh, karena KUH Perdata tidak menganut prinsip justum pretium, maka ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut tidak dapat digunakan oleh hakim untuk mengubah atau menghapus hak dan kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian yang sejak semula mengandung hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Mengapa demikian ? Hal tersebut dikarenakan :
  • KUH Perdata, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 tersebut, tidak menuntut adanya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban atau prestasi dan kontra prestasi untuk sahnya suatu perjanjian.
  • Ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tersebut menetapkan bahwa apa yang telah disepakati oleh para pihak, mengikat para pihak sebagai undang-undang. 
Syarat itikad baik adalah syarat obyektif, yang mana dalam penerapannya berupa pelaksanaan perjanjian sedemikian rupa sehingga memberikan hasil yang konkret. Dengan demikian, dalam melaksanakan suatu perjanjian haruslah memperhatikan peristiwa konkretnya, dalam peristiwa mana perjanjian tersebut hendak dilaksanakan. Bisa jadi, suatu rangkaian kalimat yang ditulis dalam suatu perjanjian akan mempunyai arti yang lain atau lebih luas daripada kalimat yang sama apabila kalimat itu berdiri sendiri.  Sehingga, arti isi dari suatu perjanjian tidak selalu sama dengan arti harfiah dari kata-kata atau kalimat yang membentuk perjanjian tersebut. 

Jadi, itikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut merupakan itikad baik obyektif yang berkaitan dengan pendapat umum, dalam arti bahwa apakah masyarakat pada umumnya  menganggap tindakan yang dilakukan tersebut bertentangan dengan itikad baik. Berbeda dengan itikat baik subyektif pada umumnya, yang berkaitan dengan sikap batin para pembuat perjanjian. Dalam arti bahwa apakah yang bersangkutan menyadari atau tahu, bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik. Sehingga dalam melaksanakan ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut berlaku dan terikat pada suatu norma tidak tertulis atau tata krama yang wajib diikuti oleh siapa saja yang ada dalam pergaulan hidup masyarakat yang bersangkutan.
Dalam suatu persidangan, sebelum hakim memutuskan suatu perselisihan sebagai akibat dari tidak dilaksanakan isi dari perjanjian oleh salah satu pihak, hakim dituntut harus tahu terlebih dahulu mengenai isi perjanjian dan tahu peristiwa konkretnya. Untuk itu hakim akan melakukan penafsiran terhadap kata-kata atau kalimat-kalimat yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Dari hasil penafsiran isi perjanjian tersebut, hakim akan mengetahui apa yang dikenhendaki oleh para pihak pembuat perjanjian dan pelaksanaan dari isi perjanjian tersebut apakah didasarkan atas niat baik atau tidak.
Satu hal yang penting adalah karena ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata ditafsirkan sebagai ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, maka para pihak pembuat perjanjian tidak bisa memperjanjikan untuk mengesampingkannya.

Demikian penjelasan berkaitan dengan itikad baik dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata.

Semoga bermanfaat.