Perjanjian, menurut pendapat dari Prof. Subekti, SH diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pengertian perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
- Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Baca juga : Janji Dan Perikatan Dalam Buku III KUH Perdata
Dalam suatu perjanjian dikenal adanya suatu asas yang disebut dengan asas kepribadian suatu perjanjian. Asas kepribadian suatu perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
- Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.
Kata "mengikatkan diri" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata tersebut, maksudnya adalah ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan minta ditetapkannya suatu janji, berarti ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu.
Baca juga : Sistem Terbuka Dan Asas Konsensualisme Dalam Hukum Perjanjian
Sudah sepatutnya, perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, hanya mengikat orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut dan tidak mengikat orang-orang lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang lain yang merupakan pihak ketiga, tidak mempunyai sangkut paut dengan perjanjian tersebut.
Terhadap hak-hak yang timbul sebagai akibat dari suatu perjanjian, diperluas sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa :
- Jika seseorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak demikianlah maksudnya.
Segal hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian, diwarisi oleh para ahli waris dari masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian itu. Hak-hak yang diperoleh dari suatu perjanjian merupakan aktiva, sedangkan sebaliknya kewajiban-kewajiban yang disanggupi merupakan passiva dari yang meninggal. Menurut hukum waris, segala hak dan kewajiban, atau segala utang piutang, atau aktiva dan passiva dari yang meninggal secara otomatis diwarisi atau pindah kepada sekalian ahli waris.
Baca juga : Pengalihan Hak Berdasarkan Alas Hak Khusus Dan Alas Hak Umum
Ketentuan Pasal 1318 KUH Perdata tersebut, selain menyebutkan para ahli waris, juga menyebutkan orang-orang yang memperoleh hak dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Orang-orang yang memperoleh hak dari seorang ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu :
- Orang yang memperoleh hak dari seorang dengan alas hak umum. Termasuk dalam kelompok ini adalah para ahli waris dari seorang yang sudah meninggal, suami atau isteri terhadap harta kekayaan isteri atau suaminya. Orang-orang ini memperoleh hak dari seorang dengan alas hak umum, karena mereka memperoleh segala hak dari seorang secara tidak terperinci atau tidak disebutkan satu persatu.
- Orang yang memperoleh hak dari seorang dengan alas hak khusus. Termasuk dalam kelompok ini adalah pembeli barang, penerima hibah dan lain sebagainya. Orang-orang ini memperoleh hak dari seorang lain secara khusus, mengenai barang-barang tertentu.
Teori Tentang Timbulnya Hak Bagi Pihak Ketiga. Untuk menentukan timbulnya hak bagi pihak ketiga, terdapat tiga teori, yaitu :
1. Teori Penawaran.
Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran dari seseorang yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga. Selama pihak ketiga belum menyatakan menerima penawaran tersebut, penawaran itu masih bisa dicabut kembali. Janji hak bagi pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima.
2. Teori Pernyataan Yang Menentukan Suatu Hak (Theorie Recht Bevestigende Verklaring).
Menurut teori ini, hak pihak ketiga terjadi pada saat dibuatnya persetujuan antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Janji tersebut masih bisa ditarik kembali dan ini akan menghapuskan hak pihak ketiga. Penerimaan oleh pihak ketiga meniadakan hak untuk mencabut janji tersebut.
3. Teori Pernyataan Untuk Memperoleh (Theorie Recht Verkrijgende Verklaring).
Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru terjadi setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut.
Baca juga : Syarat Sahnya Janji Untuk Pihak Ketiga
Demikian penjelasan berkaitan dengan timbulnya hak bagi pihak ketiga. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan dan buku SH, Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.
1. Teori Penawaran.
Menurut teori ini janji untuk pihak ketiga dianggap sebagai suatu penawaran dari seseorang yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga. Selama pihak ketiga belum menyatakan menerima penawaran tersebut, penawaran itu masih bisa dicabut kembali. Janji hak bagi pihak ketiga baru timbul setelah penawaran diterima.
2. Teori Pernyataan Yang Menentukan Suatu Hak (Theorie Recht Bevestigende Verklaring).
Menurut teori ini, hak pihak ketiga terjadi pada saat dibuatnya persetujuan antara pihak yang menjanjikan sesuatu untuk kepentingan pihak ketiga dan pihak yang mempunyai kewajiban terhadap pihak ketiga. Janji tersebut masih bisa ditarik kembali dan ini akan menghapuskan hak pihak ketiga. Penerimaan oleh pihak ketiga meniadakan hak untuk mencabut janji tersebut.
3. Teori Pernyataan Untuk Memperoleh (Theorie Recht Verkrijgende Verklaring).
Teori ini mengemukakan bahwa hak pihak ketiga baru terjadi setelah pihak ketiga menyatakan kehendaknya untuk menerima janji tersebut.
Baca juga : Syarat Sahnya Janji Untuk Pihak Ketiga
Demikian penjelasan berkaitan dengan timbulnya hak bagi pihak ketiga. Tulisan tersebut bersumber dari buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan dan buku SH, Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.