Dasar Hukum Factoring (Anjak Piutang)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Factoring, dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan "anjak piutang". Faktoring merupakan salah satu metode pembiayaan yang dikenal dalam dunia bisnis, yang sebagaimana halnya leasing, consumer finance, dan metode pembiayaan lainnya, factoring tidak lain hanyalah perpanjangan tangan dari bisnis perbankan. Terdapat banyak pengertian tentang factoring, namun demikian secara umum, factoring dapat diartikan dengan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.


Baca juga : Pengertian Factoring, Jangka Waktu Berlakunya, Dan Dokumen Dalam Factoring (Anjak Piutang)

Bisnis factoring termasuk jenis bisnis pembiayaan beresiko tinggi, sebab dalam bisnis factoring hampir tidak tersedia jaminan sama sekali. Oleh karenya  untuk menjamin kepastian hukum kegiatan factoring diperlukan suatu dasar hukum, sehingga hak dan kewajiban para pihak dalam factoring dapat terlindungi.  Ada beberapa ketentuan dalam hukum Indonesia yang dapat menjadi dasar hukum bagi eksistensi suatu jasa factoring, yaitu ketentuan-ketentuan yang merupakan dasar hukum substantif dan ketentuan-ketentuan tentang hukum yang bersifat administratif.
1. Dasar Hukum Substantif.
Dasar hukum yang bersifat substantif merupakan alas hak bagi eksistensi suatu kegiatan factoring. Dasar hukum substantif dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Dasar Hukum Substantif Murni.
Dasar hukum substantif murni merupakan dasar hukum bagi suatu kegiatan factoring yang pada prinsipnya berasaskan sama dengan kegiatan leasing, yaitu apa yang dikenal dengan "asas kebebasan berkontrak", yang bersumber pada ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  • Maksudnya adalah apabila kontrak factoring yang dibuat oleh para pihak telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, kontrak tersebut sudah sah adanya dan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang. 

Dengan kata lain, selama kontrak factoring yang dibuat telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak, maka kontrak factoring tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang dan mengikat para pihak pembuatnya.

Baca juga : Piutang Yang Dialihkan

b. Dasar Hukum Substantif Bertendensi Prosedural.
Dasar hukum substantif bertendensi prosedural, yang juga terdapat dalam KUH Perdata, yaitu :
  • ketentuan dalam buku kedua KUH Perdata tentang Cessie (pengalihan hutang), yang berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 613 KUH Perdata.
  • ketentuan dalam buku ketiga KUH Perdata tetang Subrogasi, yang merupakan pergantian hak si berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada si berpiutang. Subrogasi terjadi baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Subrogasi berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1400 KUH Perdata dan seterusnya. 

Disamping ketentuan tersebut di atas, mesti pula diindahkan ketentuan-ketentuan lainnya yang berhubungan dengan penjualan piutang seperti Pasal 1459, 1491, 1492, 1495, 1533, 1534 KUH Perdata, dan lain sebagainya.

2. Dasar Hukum Administratif.
Dasar hukum yang bersifat administratif dalam tingkatan undang-undang ditemukan dalam :
  • Undang-Undang Nomor : 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 6 huruf I yang memberi alas hukum kepada bank untuk melakukan kegiatan factoring, sekaligus memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan istilah factoring, yang dalam undang-undang tersebut dipakai istilah "anjak piutang". 
  • Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Baca juga : Manfaat Dan Kerugian Menggunakan Factoring (Anjak Piutang)

Untuk menjadi dasar hukum yang bersifat administratif ini, di samping Undang-Undang Perbankan tersebut, pemerintah telah pula mengeluarkan peraturan-peraturan. Peraturan-peraturan dimaksud mengatur masalah factoring, disamping juga mengatur masalah-masalah lembaga finasial lainnya, seperti leasing, modal ventura, kartu kredit, dan sebagainya. Peraturan-peraturan tersebut di antaranya  adalah sebagai berikut :
  • Keppres RI Nomor : 61 tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan.
  • Keputusan Menteri Keuangan RI nomor : 1251/KMK.031/1988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
  • Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. 
  • Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 172/KMK.06/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. 

serta peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan ketentuan-ketentuan administratif yang mengatur masalah factoring untuk sektor-sektor tertentu, misalnya, tentang factoring yang dipraktekkan oleh perbankan yang diatur oleh Bank Indonesia.

Baca juga : Subrogasi, Novasi, Dan Cessie Dalam Factoring (Anjak Piutang)

Demikian penjelasan berkaitan dengan dasar hukum factoring (anjak piutang). Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, karangan Munir Fuady, SH, MH. LLM.

Semoga bermanfaat.