Piutang Yang Dialihkan

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pada prinsipnya piutang yang dapat dialihkan adalah piutang yang sudah ada pada waktu akta cessie dibuat. Piutang dianggap sudah ada jika telah terjadi transaksi yang menyebabkan hutang piutang itu terjadi, sungguhpun piutang tersebut belum jatuh tempo untuk ditagih. Misalnya, antara pihak klien dengan pihak customer telah melakukan jual beli suatu barang perdagangan. Penagihan oleh perusahaan factor baru dapat dilakukan setelah jatuh tempo piutang tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah apakah dapat dilakukan perjanjian factoring terhadap piutang yang akan ada ?

Baca juga : Pengertian Factoring, Jangka Waktu Berlakunya, Dan Dokumen Dalam Factoring (Anjak Piutang)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dibedakan dahulu antara piutang yang belum ada, piutang yang akan ada, piutang yang sudah ada tetapi belum jatuh tempo, dan piutang yang sudah ada dan sudah jatuh tempo. Dalam praktek, yang umumnya dilakukan adalah factoring terhadap piutang yang telah ada tetapi belum jatuh tempo. Dalam hal ini, factoring diperlukan agar pembayarannya dapat cepat dilakukan oleh perusahaan factor, mengingat piutang tersebut masih belum dapat ditagih.

Sedangkan untuk piutang yang sudah ada dan sudah jatuh tempo, dapat juga dialihkan lewat transaksi factoring. Misalnya jika ternyata proses penagihan piutang tersebut sulil atau memakan waktu. Sementara terhadap piutang yang akan ada, dan sudah barang tentu belum jatuh tempo, dapat saja diikat dengan perjanjian factoring dengan syarat pada waktu hak atas piutang tersebut beralih, yaitu ketika akta cessie dibuat, piutang tersebut sudah benar-benar ada dan telah beralih kepemilikannya ke tangan pihak klien.
Baca juga : Manfaat Dan Kerugian Menggunakan Factoring (Anjak Piutang)

Seseorang tentu tidak mungkin menandatangi kontrak factoring  terhadap piutang yang belum ada sama sekali, yaitu perjanjian yang menyebabkan timbulnya piutang antara klien dengan customer sama sekali belum ditandatangani. Dalam hal ini "obyek tertentu" dari perjanjian factoring sama sekali belum terbentuk. Satu dan lain hal mengingat adanya salah satu persyaratan dalam Ketentuan  Pasal 1320 KUH Perdata, yang mengharuskan adanya "obyek tertentu" agar suatu perjanjian menjadi sah.

Kadangkala piutang juga tidak dapat atau setidak-tidaknya sulit dialihkan karena alasan-alasan yang bersifat kontraktual. Karena itu konsekuensinya, transaksi factoringpun tidak dapat atau sulit dilakukan. Hambatan-hambatan kontraktual tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Jika bisnis yang menimbulkan piutang tersebut adalah dalam bentuk imbal beli.
  2. Jika bisnis yang menimbulkan piutang tersebut dalam bentuk Sale of  Return Goods, yaitu suatu bentuk transaksi jual beli di mana harga baru dibayar oleh pembeli setelah dia berhasil menjual kembali barang tersebut kepada pihak pembeli selanjutnya.
  3. Jika transaksi yang menimbulkan pitang tersebut dalam bidang konstruksi. Hal ini di karenakan tagihan dalam bidang konstruksi tidak serta merta diterima, meskipun pekerjaan sudah selesai. 
  4. Jika terdapat ketentuan ROT (Reservation of Title) dalam transaksi yang menimbulkan piutang. Artinya, pihak penjual barang secara legal masih dianggap pemilik barang sampai dengan harga barang dibayar lunas. Atau dengan kata lain, sebelum harga barang dibayar lunas, pihak penjual dapat sewaktu-waktu menarik kembali barang tersebut, atau meminta agar harga barang tersebut diserahkan langsung kepada penjual tersebut, jika pihak pembeli berkehendak menjual kembali barang tersebut kepada pihak lain.

Baca juga : Dasar Hukum Factoring (Anjak Piutang)

Demikian penjelasan berkaitan dengan piutang yang dialihkan dalam factoring (anjak piutang). Tulisan tersebut bersumber dari dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, karangan Munir Fuady, SH, MH, LLM.

Semoga bermanfaat.