Factoring dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan "anjak piutang". Seperti halnya leasing, consumer finance, dan metode pembiayaan lainnya, factoring tidak lain hanyalah perpanjangan tangan dari bisnis perbankan. Yang dimaksud dengan factoring adalah usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.
Subrogasi, Novasi, dan Cessie Dalam Factoring. Subrograsi, novasi, dan cessie mempunyai kaitan yang erat dengan factoring. Ketentuan Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan subrogasi adalah perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga, di mana pihak ketiga tersebut melakukan pembayaran harga piutang yang bersangkutan kepada pihak kreditur. Ditentukan juga bahwa subrogasi dapat terjadi karena undang-undang maupun karena perjanjian.
Subrogasi, Novasi, dan Cessie Dalam Factoring. Subrograsi, novasi, dan cessie mempunyai kaitan yang erat dengan factoring. Ketentuan Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan subrogasi adalah perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga, di mana pihak ketiga tersebut melakukan pembayaran harga piutang yang bersangkutan kepada pihak kreditur. Ditentukan juga bahwa subrogasi dapat terjadi karena undang-undang maupun karena perjanjian.
Baca juga : Pengertian Factoring, Jangka Waktu Berlakunya, Dan Dokumen Dalam Factoring (Anjak Piutang)
Sementara yang dimaksud dengan novasi adalah pembaharuan hutang, dalam hal ini hutang yang lama hapus dan diganti dengan hutang yang baru. Menurut ketentuan Pasal 1413 KUH Perdata, pada prinsipnya novasi dapat dibedakan dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut :
- Novasi Obyektif. Yaitu terjadi jika seorang debitur membuat suatu perikatan hutang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan hutang lama, yang dihapuskan karenanya.
- Novasi Subyektif Pasif. Yaitu jika seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya. Sebagai konsekuensinya adalah timbullah peralihan hutang (bukan peralihan piutang) dari debitur lama kepada debitur baru.
- Novasi Subyektif Aktif. Dalam hal ini, sebagai akibat dari suatu perjanjian baru, maka seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, di mana debitur dibebaskan hutangnya terhadap kreditur lama, selanjutnya timbul hutang terhadap kreditur baru.
Baca juga : Dasar Hukum Factoring (Anjak Piutang)
Perbedaan antara subrogasi dengan novasi (novasi subyektif aktif), adalah terletak pada keadaan hutang setelah tindakan tersebut dilakukan.
- Pada subrogasi, hutangnya tidak pernah hapus dan tidak pernah ada hutag baru. Melainkan hutang lama yang dialihkan dari kreditur lama ke kreditur baru.
- Pada novasi subyektif aktif, hutangnya diperbaharui. Jadi, piutang dari kreditur baru tersebut bukan piutang lama yag dialihkan, tetapi timbul piutang baru yang menggantikan piutang lama yang sudah dihapuskan.
Jadi yang tepat pada transaksi factoring adalah subrogasi, karena pada transaksi factoring yang terjadi adalah peralihan piutang, bukan pembaharuan piutang.
Sedangkan yang dimaksud dengan cessie adalah penyerahan piutang dari kreditur lama kepada kreditur baru. Dilihat dari segi cessienya, maka perusahaan factor sebagai pembeli piutang tersebut juga dengan cessionaries, sementara pihak klien sebagai penjual piutang disebut cedent. Dan pihak debitur sebagai yang berhutang disebut cessus.
Ketentuan Pasal 613 KUH Perdata, pada intinya menjelaskan bahwa :
- penyerahan piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta, baik otentik ataupun di bawah tangan, yang disebut dengan "akta cessie". Penyerahan tersebut tidak akan ada akibatnya bagi yang berhutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya, sedangkan ;
- penyerahan surat-surat hutang atas tunjuk, dilakukan dengan memberikannya, dan penyerahan surat hutang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.
Jadi penerapan ketentuan Pasal 613 KUH Perdata tersebut pada suatu transaksi factoring akan menimbulkan konsekuensi antara lain :
- Setiap transaksi factoring haruslah diikuti dengan penyerahan hak lewat suatu akta khusus, baik otentik maupun bahwa tangan, yang disebut akta cessie.
- Adanya notifikasi oleh kreditur lama kepada debitur, atau persetujuan tertulis ataupun pengakuan dari debitur tentang adanya pengalihan piutang.
Persayaratan notifikasi atau persetujuan tertulis atau pengakuan dari debitur merupakan syarat mutlak menurut sistem KUH Perdata. Selain notification factoring ada pula yang disebut dengan non notification factoring, yang merupakan factoring tanpa notifikasi. Non notification factoring, biasanya dilakukan dalam hal :
- Pengalihan piutang sengaja disembunyikan dari debitur.
- Notifikasi tidak praktis.
- Menghindari kekurangseriusan atau prejudice dari pihak debitur.
Terhadap factoring tanpa notifikasi ini, maka menurut sistem hukum dalam KUH Perdata, trasaksi factoring tersebut tidak punya kekuatan hukum sama sekali, kecuali dikemudian hari pihak debitur mengakuinya atau menyetujuinya secara tertulis. Akibat dari factoring tanpa notifikasi ini, pihak debitur hanya berkewajiban untuk membayar hutangnya kepada pihak kreditur lama, sesuai dengan perjanjian yang berlaku.
Demikian penjelasan berkaitan dengan subrogasi, novasi, dan cessie dalam factoring (anjak piutang). Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, Munir Fuady, SH, MH, LLM.
Semoga bermanfaat.
Demikian penjelasan berkaitan dengan subrogasi, novasi, dan cessie dalam factoring (anjak piutang). Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, Munir Fuady, SH, MH, LLM.
Semoga bermanfaat.