Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji). Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu "wanprestatie" yang berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu dalam suatu perikatan. Wanprestasi juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana debitur (yang berhutang) tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau debitur tidak memenuhi prestasinya.
Sedangkan menurut pendapat beberapa ahli yang dimaksud dengan wanprestasi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Baca juga : Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Bentuk Wanprestasi. Pada dasarnya wanprestasi adalah tidak terpenuhinya prestasi yang telah diperjanjikan. Prestasi yang harus dipenuhi oleh seorang debitur kepada kreditur dapat berupa :
Sedangkan menurut pendapat beberapa ahli yang dimaksud dengan wanprestasi, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
- Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya yang berjudul "Asas-Asas Hukum Perjanjian", menyebutkan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.
- M. Yahya Harahap, dalam bukunya yang berjudul "Segi-Segi Hukum Perjanjian", menyebutkan bahwa wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga hal tersebut menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalah perjanjian.
- Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perikatan", menyebutkan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Baca juga : Perjanjian Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Bentuk Wanprestasi. Pada dasarnya wanprestasi adalah tidak terpenuhinya prestasi yang telah diperjanjikan. Prestasi yang harus dipenuhi oleh seorang debitur kepada kreditur dapat berupa :
- prestasi untuk berbuat sesuatu.
- prestasi untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu.
- prestasi untuk tidak berbuat sesuatu.
Sehingga, berdasarkan hal tersebut seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila debitur tersebut :
- tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
- melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
- melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
- melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Syarat Terjadinya Wanprestasi. Karena wanprestasi mempunyai akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan terlebih dahulu apakah debitur melakukan wanprestasi. Dan kalau debitur menyangkal terjadinya wanprestasi, maka harus dibuktikan di depan pengadilan. Kadang-kadang tidak mudah untuk menetapkan seseorang melakukan wanprestasi, karena seringkali juga tidak diperjanjikan dengan tepat dan pasti seseorang diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang debitur sehingga dikatakan dalam keadaan wanprestasi adalah :
1. Syarat Materiil.
Syarat materiil, yaitu adanya kesengajaan berupa :
- kesengajaan, adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dikehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.
- kelalaian, adalah suatu hal yang dilakukan di mana seseoarang yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan menimbulkan kerugian pihak lain.
2. Syarat Formil.
Syarat formil yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur yang harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur bahwa kreditur menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu tertentu. Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari kreditur berupa akta kepada debitur supaya debitur memenuhi prestasinya dan disertai dengan sanksi atau denda atau hukuman yang akan dijatuhkan atau diterapkan apabila debitur wanprestasi atau lalai.
- Misalkan dalam perjanjian hutang piutang, setelah jatuh tempo masa perjanjian debitur belum juga melaksanakan prestasinya, kreditur akan memberikan peringatan atau masa tenggang kepada debitur. Setelah lewat masa tenggang, kreditur akan melakukan hal-hal untuk menuntut prestasi dari debitur sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dengan kata lain, apabila debitur melakukan wanprestasi (ingkar janji) atau lalai, kreditur dapat melakukan tindakan berupa :
- Melakukan peringatan, supaya debitur memenuhi prestasinya.
- Kalau debitur tidak memenuhi prestasinya, kreditur dapat melakukan teguran (peringatan keras).
- Kalau tidak dipenuhi juga prestasinya, kreditur dapat melakukan somasi, yaitu surat peringatan yang dilakukan melalui jru sita pengadilan.
- Melakukan gugatan di pengadilan.
Mengenai cara memperingatkan debitur ini, ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata menentukan bahwa,
- Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut, adalah suatu peringatan resmi oleh seorang jurusita pengadilan. Sedangkan perkataan akta sejenis dalam pasal tersebut sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis. Atau jika perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris, maka pernyataan wanprestasi tersebut harus dengan akta notaris yang sejenis pula. Ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan "akta sejenis itu" memang masih menimbulkan pertentangan dikalangan para sarjana. Namun dewasa ini, pada umumnya telah diterima pendapat bahwa yang dimaksud oleh undang-undang adalah "perbuatan hukum yang sejenis dengan itu". Jadi sama dengan perintah dari juru sita.
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, seperti diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi dan terhadap hal tersebut dapat diperlakukan sanksai-sanksi sebagaimana disebutkan diatas, yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau peralihan resiko.
Baca juga : Klausula Exonoratie Dan Penyalahgunaan Keadaan
Menyimpang dari ketentuan tersebut, penetapan wanprestasi atau lalai tidak diperlukan jika :
Baca juga : Pengertian Somasi Dan Akibat Hukum Somasi
Penyebab Terjadinya Wanprestasi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah :
1. Adanya Kelalaian Debitur.
Kelalaian adalah peristiwa di mana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. Sehingga apabila terdapat unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan kreditur, maka kerugian tersebut dapat dipersalahkan kepada debitur. Kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak dilaksanakan oleh debitur, yaitu :
Baca juga : Gugatan Lisan Dan Gugatan Tertulis
Akibat Hukum Wanprestasi. Terhadap wanprestasi yang dilakukannya tersebut, debitur diancam beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, adalah sebagai berikut :
Baca juga : Dapatkah Perkara Perdata Diproses Menjadi Perkara Pidana ?
Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian wanprestasi berikut akibat-akibat wanprestasi. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH, buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan, SH, buku Hukum Perikatan, karangan J. Satrio, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, seperti diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau wanprestasi dan terhadap hal tersebut dapat diperlakukan sanksai-sanksi sebagaimana disebutkan diatas, yaitu ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau peralihan resiko.
Baca juga : Klausula Exonoratie Dan Penyalahgunaan Keadaan
Menyimpang dari ketentuan tersebut, penetapan wanprestasi atau lalai tidak diperlukan jika :
- debitur menuntut pemenuhan prestasi.
- debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
- keliru memenuhi prestasi menurut ajaran HR.
- telah ditentukan oleh undang-undang, sebagaimana termuat dalam Pasal 1626 KUH Perdata.
- dalam perjanjian ditentukan verval terminj.
- debitur mengakui bahwa ia dalam keadaan lalai.
Baca juga : Pengertian Somasi Dan Akibat Hukum Somasi
Penyebab Terjadinya Wanprestasi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah :
1. Adanya Kelalaian Debitur.
Kelalaian adalah peristiwa di mana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. Sehingga apabila terdapat unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan kreditur, maka kerugian tersebut dapat dipersalahkan kepada debitur. Kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak dilaksanakan oleh debitur, yaitu :
- kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah dijanjikan.
- kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan.
- kewajiban untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan.
2. Adanya Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majuere).
Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadinya suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ini, debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.
Baca juga : Gugatan Lisan Dan Gugatan Tertulis
Akibat Hukum Wanprestasi. Terhadap wanprestasi yang dilakukannya tersebut, debitur diancam beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, adalah sebagai berikut :
- kewajiban membayar ganti rugi. Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya barang-barang milik kreditur sebagai akibat kelalaian dari debitur. Untuk menuntut ganti rugi harus ada peringatan (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan peringatan (somasi) terlebih dahulu.
- pembatalan perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
- peralihan resiko. Akibat wanprestasi yang berupa peralihan resiko berlaku pada perjanjian yang obyeknya suatu barang, seperti dalam perjanjian pembiayaan leasing. Ketentuan Pasal 1237 KUH Perdata menyebutkan bahwa : "Jika si berhutang lalai akan menyerahkannya, maka semjak saat kelalainnya kebendaan adalah atas tanggungannya".
- membayar perkara, kalau permasalahannya diajukan didepan pengadilan.
Baca juga : Dapatkah Perkara Perdata Diproses Menjadi Perkara Pidana ?
Apabila terjadi peristiwa wanprestasi, dan kreditur membawa kasusnya ke pengadilan, maka ada beberapa kemungkinan yang akan dituntut oleh kreditur, diantaranya :
- Menuntut pelaksanaan perjanjian. Kreditur tetap menuntut supaya perjanjian dilaksanakan seperti yang telah disepaki oleh kedua belah pihak sesuai dengan isi dari perjanjian yang telah disepakati.
- Menuntut pembatalan perjanjian. Kreditur menuntut supaya perjanjian dibatalkan, karena tidak puas dengan tindakan debitur yang melakukan wanprestasi.
- Menuntut ganti rugi. Kreditur menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami yang disebabkan karena wanprestasinya debitur. Ganti rugi yang dituntut kreditur bisa berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immateriil.
- Menuntut pelaksanaan perjanjian ditambah dengan ganti rugi.
- Menuntut pembatalan perjanjian dengan diikuti ganti rugi.
Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian wanprestasi berikut akibat-akibat wanprestasi. Tulisan tersebut bersumber dari buku Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH, buku Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan, SH, buku Hukum Perikatan, karangan J. Satrio, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Semoga bermanfaat.