Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, penikmat seni pertunjukan wayang (wayang kulit, wayang orang, atau wayang golek) pasti tidak asing dengan tokoh Punakawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, punakawan diartikan dengan pelayan atau pengawal raja atau bangsawan pada jaman dahulu, abdi pengiring. Sebagaimana yang banyak dipahami oleh masyarakat, bahwa dalam cerita pewayangan Punakawan terdiri dari empat tokoh, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang masing-masing mempunyai karakter yang berbeda.
Dalam cerita pewayang, Punakawan memiliki beberapa peran, selain menjadi pengasuh dan teman para ksatria, Punakawan juga berperan sebagai penasehat, penghibur, dan lain sebagainya. Dalam pertunjukan wayang, terutama wayang kulit, dalang dalam setiap bagian pertengahan pertunjukan wayang,
hampir selalu mengisahkan adanya peristiwa "goro-goro", yaitu suatu keadaan saat terjadi
bencana besar atau kekacauan yang menimpa bumi.
Sang dalang kemudian mengisahkan bahwa setelah "goro-goro" berakhir, para Punakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan
bersenda gurau. Hal tersebut merupakan suatu simbol bahwa setelah munculnya "goro-goro" (bencana besar atau peristiwa
kekacauan) yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat
kecil (yang disimbolkan oleh para Punakawan) adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya. Selain itu, dialog yang penuh humor yang ditampilkan oleh para tokoh Punakawan tersebut, juga dimaksudkan untuk menyegarkan kembali para penonton pertunjukan wayang, mengingat adegan "goro-goro" biasanya terjadi setelah lewat tengah malam.
Baca juga : Hikayat Bumi Jawa : Manusia Jawa Keturunan Dewa
Transformasi Tokoh Punakawan. Istilah Punakawan atau juga disebut dengan Panakawan, berasal dari penggabungan dua kata, yaitu "pana" yang berarti paham, dan "kawan" yang berarti teman. Sehingga, istilah Punakawan dapat diartikan sebagai teman
yang memahami. Apabila dikaitkan dengan cerita yang menaunginya, maka Punakawan berarti abdi setia yang paham dan mengerti akan berbagai kesulitan dan
masalah yang dialami oleh para tuannya. Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa istilah Punakawan berasal dari penggabungan kata "puna" yang berarti susah dan kata "kawan" yang berarti teman. Sehingga, istilah Punakawan diartikan dengan teman di kala susah.
Meskipun dalam pentas pewayangan tokoh Punakawan digambarkan sebagai pengasuh dan penasehat para ksatria, tapi jangan harap menemukan para tokoh Punakawan tersebut di naskah Mahabharata atau Ramayana. Punakawan merupakan karakter asli dari tanah Jawa (Indonesia), yang sengaja diciptakan oleh para pujangga atau tokoh tertentu, yang sengaja disisipkan dalam pertunjukan seni wayang, sebagai kearifan lokal.
Para tokoh yang ditampilkan dalam Punakawan telah mengalami beberapa transformasi. Menurut Slamet Muljana, seorang filolog dan sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam naskah karangan Empu Panuluh, yang berjudul "Ghatotkacasraya" yang merupakan gubahan dari cerita Mahabharata, pada jaman Kerajaan Kediri. Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Gatotkaca memberikan bantuan kepada sepupunya, yaitu Abimanyu (putra dari Arjuna) yang hendak menikahi Dewi Siti Sundari, putri dari Sri Kresna. Dikisahkan bahwa Abimanyu memiliki tiga orang Punakawan yang bernama Jurudyah, Punta, dan Prasanta. Ketiga tokoh tersebut dianggap sebagai Punakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa.
Selanjutnya pada jaman Kerajaan Majapahit, para tokoh Punakawan ciptaan dari Mpu Panuluh tersebut dikembangkan lagi. Pada jaman Kerajaan Majapahit ini diciptakan seorang tokoh yang selanjutnya disebut Semar. Menurut Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali muncul dalam karya sastra yang berjudul "Sudhamala", yang masih mengambil lakon dari wiracarita Mahabharata. Selain dalam bentuk kakawin, kisah "Sudhamala" juga dapat ditemui dalam pahatan relief pada dinding Candi Sukuh dan Candi Cetho di daerah Karanganyar, Solo yang berangka tahun 1439.
Untuk menjaga keterkaitan antara tokoh Punakawan ciptaan Empu Panuluh dalam naskah "Ghatotkacasraya" dengan tokoh Punakawan dalam cerita "Sudhamala", para dalang dalam pertunjukan wayang kulit sering kali menyebut Jurudyah
Puntaprasanta sebagai salah satu nama lain dari tokoh Semar.
Transformasi selanjutnya dari tokoh Punakawan terjadi pada jaman kerajaan Islam mulai tumbuh di tanah Jawa, terutama pada jaman Kasultanan Demak. Saat itu tokoh Punakawan menjadi lebih berkembang, sekaligus sebagai media dakwah. Adalah Sunan Kalijaga (Raden Said), salah satu anggota Walisongo, seorang ulama sekaligus budayawan, yang menggunakan pertunjukan wayang kulit (sebagai bentuk akulturasi budaya) sebagai metode dalam dakwahnya. Dalam setiap pertunjukan wayang kulit yang digelarnya, Sunan Kalijaga selalu menyisipkan ajaran-ajaran Islam sebagai bentuk dari dakwah yang dilakukannya.
Pada Sunan Kalijaga inilah terjadi transformasi pada tokoh Punakawan. Semar yang sudah lahir sejak jaman Kerajaan Majapahit tetap dipertahankan, dan selanjutnya dimunculkan tokoh Punakawan yang lain, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong yang diceritakan sebagai anak-anak dari Semar.
Baca juga : Wayang Orang, Kesenian Asli Indonesia
Wujud dan Karakter Tokoh Punakawan. Para tokoh Punakawan yang terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong memiliki wujud dan karakter masing-masing yang menyimbolkan watak dan karakter manusia pada umumnya. Berikut wujud dan watak dari para tokoh Punakawan tersebut :
1. Semar.
Semar digambarkan sebagai dewa yang bernama Hyang Ismaya, yang turun ke bumi dan mewujud menjadi manusia, dengan wujud perawakan bertubuh gemuk dan pendek, serta matanya senantiasa berair.
Karakter Semar. Nama Semar berasal dari kata "Samara" yang berarti bergegas. Dalam cerita pewayangan :
- Semar merupakan sosok yang sabar dan bijaksana, mengasihi sesama, serta selalu memberikan nasehat dan petuah hidup agar manusia tidak terjerumus pada nafsu duniawi.
- Semar sangat disegani oleh siapa saja, baik kawan maupun lawan.
- Semar adalah sumber rujukan untuk para kesatria bila mereka hendak meminta nasehat dan petunjuk dalam peperangan.
- Semar adalah teladan dan panutan.
- kepala dan pandangan Semar menghadap ke atas, memiliki makna bahwa dalam hidup manusia harus selalu mengingat pada Sang Kuasa.
- jari telunjuk Semar yang menuding ke bawah, memiliki makna sebagai karsa atau keinginan yang kuat untuk menciptakan sesuatu.
- matanya yang sipit, memiliki makna melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam mencipta.
- wajahnya yang murung dan matanya yang selalu berair, memiliki makna menggambarkan kesedihan yang berkolerasi dengan perasaannya yang nelangsa (merana) prihatin terhadap keadaan manusia di dunia.
- kain yang dipakai sebagai baju oleh Semar, yaitu kain bermotif Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
2. Gareng.
Gareng atau Nala Gareng merupakan tokoh dengan ketidaksempurnaan. Gareng merupakan anak angkat dari Semar. Dalam salah satu cerita pewayangan Jawa, Gareng disebutkan sebagai anak dari Gandarwa (Gandaruwo/sebangsa jin) yang diangkat anak oleh Semar. Gareng digambarkan dengan wujud sebagai berikut : memiliki mata yang juling, hidung besar, tangan bengkok, kaki kanan yang pincang, serta memiliki mulut yang kecil.
Karakter Gareng. Nama Nala Gareng disebutkan berasal dari kata "Nala Khairan" yang berarti memperoleh kebaikan. Selain itu, nama Gareng juga dapat berarti "pujan" (dalam bahasa Jawa) atau yang didapat dengan cara memuja. Gareng memiliki nama lain Pancalparnor yang artinya menolak godaan duniawi. Gareng memiliki kehalusan budi dan sifat menerima meskipun fisiknya kurang sempurna. Dalam cerita pewayangan :
- Gareng adalah sosok yang tidak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang-kadang serba salah. Gareng juga digambarkan sebagai orang yang lucu, yang senantiasa menghibur orang-orang di sekitarnya.
- matanya yang juling, memiliki makna untuk menunjukkan manusia mesti memahami realitas kehidupan yang kadang tidak seperti apa yang diinginkan.
- kakinya yang pincang (jinjit kalau berjalan), memiliki makna manusia harus hati-hati dalam kehidupan.
- tangannya yang bengkok, memiliki beberapa makna, yaitu manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin, namun tetap Tuhan-lah yang menentukan hasilnya. Sedangkan makna yang lain adalah untuk tidak merampas hak orang lain.
3. Petruk.
Petruk merupakan anak angkat kedua dari Semar. Petruk digambarkan dengan wujud sebagai berikut : bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, memiliki tubuh yang tinggi dan kurus, hidungnya panjang, bermata juling, dahi yang lebar, berkucir, serta kaki dan tangan yang panjang.
Karakter Petruk. Nama Petruk berasal dari kata "Fat ruk" yang artinya tinggalkanlah. Petruk memiliki nama lain "Kanthong Bolong" yang artinya suka berdema. Dalam cerita pewayangan :
- Petruk adalah sebagai sosok yang pandai bicara, jenaka dan memiliki selera humor yang tinggi.
- Petruk adalah sosok yang nakal dan cerdas.
- Petruk merupakan sosok yang bisa mengasuh, merahasiakan masalah, pendengar yang baik, dan selalu membawa manfaat bagi orang lain.
- postur tubuh Petruk yang serba tinggi dan panjang, memiliki makna bahwa Petruk senantiasa memiliki pikiran yang panjang, tidak grusa-grusu, dan sabar.
4. Bagong.
Bagong merupakan anak angkat ketiga dari Semar. Berbeda dengan kedua anak angkat Semar yang lain, yaitu Gareng dan Petruk, asal mula Bagong diceritakan berasal dari bayangan Semar. Oleh karena itu, wujud dari Bagong digambarkan mirip dengan Semar, yaitu berpostur badan pendek dan gemuk. Perbedaannya dengan Semar adalah Bagong memiliki mata besar membelalak, dan mulut yang lebar.
Karakter Bagong. Nama Bagong berasal dari kata "Al ba gho ya" yang berarti perkara buruk. Dalam cerita pewayangan :
- Bagong adalah sosok yang suka bercanda dan melucu, bahkan saat menghadapi persoalan yang serius seringkali dihadapinya dengan bercanda.
- Bagong memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh.
- Bagong juga memiliki sifat yang sederhana, jujur, sabar, dan tidak terlalu kagum dengan kehidupan dunia.
- matanya yang membelalak, memiliki makna senantiasa awas terhadap sekitarnya.
- mulutnya yang besar, memiliki makna bahwa Bagong banyak bicara dan ceroboh.
Baca juga : Asal Usul Aksara Jawa
Dalam tokoh Punakawan, Bagong merupakan perwujudan dari manusia yang seutuhnya, manusia yang memiliki berbagai watak dan perilaku. Tidak semuanya baik, justru hal tersebut mengingatkan bahwa sebagai manusia harus dapat memahami watak orang lain, toleran, dan bermasyarakat dengan baik.
Demikian penjelasan berkaitan dengan para tokoh Punakawan, transformasi, wujud, dan karakter dari Punakawan.
Semoga bermanfaat.