Ketentuan pasal 118 H.I.R mengatur bahwa gugatan harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Surat permintaan tersebut dalam praktek disebut surat gugatan. Oleh karena gugatan harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan lisan kepada Ketua Pegadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Berdasarkan ketentuan 120 H.I.R, Ketua Pengadilan Negeri akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud.
Menurut yurisprudensi (putusan Mahkamah Agung, Nomor : 769 K/Sip/1975, tertanggal 24 Agustus 1978), surat gugatan yang bercap jempol harus dilegalisasi terlebih dahulu. Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisasi, berdasarkan yurisprudensi tersebut bukanlah batal, tetapi akan dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian.
Baca juga : Mengajukan Gugatan Di Pengadilan
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 118 H.I.R tersebut, bahwa surat gugatan harus ditandatangai oleh penggugat atau wakilnya. Yang dimaksud wakil dalam pasal tersebut adalah seorang kuasa yang sengaja diberi kuasa berdasarkan suatu surat kuasa khusus, untuk membuat dan menandatangani surat gugatan. Jadi oleh karena surat gugatan ditandatangani oleh kuasa berdasarkan surat kuasa yang telah diberikan oleh pemberi kuasa kepadanya, maka tanggal pemberian kuasa harus lebih dahulu daripada tanggal surat gugatan.
Surat gugatan selain harus bertanggal, juga harus menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka, dan kalau dianggap perlu dapat juga disebutkan kedudukan penggugat dan tergugat. Surat gugatan sebaiknya diketik, tetapi apabila yang bersangkutan tidak mempunyai alat ketik (komputer, dan lain sebagainya), surat gugatan dapat juga ditulis dengan tangan di atas kertas biasa. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi meterai, dan dibuat beberapa rangkap, yaitu satu lembar asli untuk Pengadilan Negeri, satu lembar untuk arsip penggugat, dan beberapa lembar lagi salinanannya untuk masing-masing tergugat dan turut tergugat.
Baca juga : Ketentuan Menambah Atau Mengubah Surat Gugatan
Setelah surat gugatan atau gugatan lisan dibuat, maka surat tersebut harus didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan, serta harus membayar lebih dahulu uang perkara sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 121 ayat 4 H.I.R. Besarnya uang perkara yang harus dibayar oleh penggugat tergantung dari sifat dan macam perkaranya. Untuk penerimaan uang perkara tersebut, kepada penggugat atau kuasanya akan diberikan kuitansi tanda penerimaan uang yang resmi. Berkaitan dengan biaya perkara tersebut, menurut ketentuan pasal 237 H.I.R ada perkara-perkara yang diperiksa secara prodeo yang artinya tanpa suatu bayaran. Dalam hal perkara yang diperiksa secara prodeo atau cuma-cuma, juga dapat diajukan permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Suatu gugatan harus memuat memuat gambaran yang jelas mengenai duduk perkara atau persolan atau dengan kata lain gugatan harus dikemukakan dengan jelas. Dalam Hukum Acara Perdata bagian dari gugatan ini disebut fundamenteum petendi atau posita. Suatu posita terdiri dari dua bagian, yaitu :
- Bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan.
- Bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum.
Dalam surat gugatan harus pula dilengkapi dengan petitum yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan, dan atau diperintahkan oleh hakim. Petitum ini harus lengkap dan jelas, karena petitum merupakan bagian dari surat gugatan yang terpenting. Menurut pasal 178 ayat 3 H.I.R hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan hakim dilarang untuk memutuskan lebih dari apa yang diminta oleh penggugat, demikian itu sebagaimana ditetapkan dalam yurisprudensi, yaitu keputusan Mahkamah Agung, Nomor : 46 K/Sip/1969, tertanggal 19 Juni 1971, dan putusan Mahkamah Agung, Nomor : 650 P.K/Pdt/1994, tertanggal 29 Oktober 1994.
Baca juga : Kumulasi Gugatan Dan Penggabungan Perkara
Demikian penjelasan berkaitan dengan gugatan lisan dan gugatan tertulis.
Semoga bermanfaat.