Pembelaan Debitur Yang Dituduh Lalai (Wanprestasi)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Wanprestasi atau lalai terjadi apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Seorang debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi dapat membela dirinya dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman. Pembelaan dari debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi dapat dilakukan dengan 3 macam cara, yaitu :
  1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).
  2. Mengajukan tuntutan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai  (exceptio non adimpleti contractus/mora creditoris).
  3. Mengajukan tuntutan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk mengajukan ganti rugi (pelepasan hak atau rechtsverwerking).

Baca juga : Pengertian Wanprestasi (Ingkar Janji) Dan Akibat-Akibat Wanprestasi

Penjelasan dari tiga cara pembelaan debitur yang dituduh lalai atau wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mengajukan Tuntutan Adanya Keadaan Memaksa (Overmacht atau Force Majeur).
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan di luar kekuasaan debitur yang memaksanya sehingga debitur tidak dapat memenuhi perjanjian sesuai dengan hal yang telah dijanjikan. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang tidak dapat diketahuinya akan terjadi (keadaan memaksa tersebut) pada waktu perjanjian dibuat. Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tersebut. Atau dengan kata lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Jadi debitur tidak bisa dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan kepadanya.
Keadaan memaksa ini diatur dalam ketentuan pasal 1244 dan pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenai aturan ganti rugi. Dasar pikiran pembuat undang-undang saat itu ialah bahwa keadaan memaksa merupakan suatu alasan debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
  • Jika ada alasan untuk itu, siberhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pihaknya.

Sedangkan  pasal 1245 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
  • Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Baca juga : Pengertian Somasi Dan Akibat Hukum Somasi

Berdasarkan pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata tersebut, apabila debitur dapat membuktikan dirinya dalam keadaan memaksa (overmacht), maka di pengadilan gugatan yang dilayangkan oleh pihak kreditur dapat ditolak dan bahkan tidak dapat dikabulkan mengenai ganti rugi, biaya, dan bunga yang dituntut oleh pihak kreditur. Dari kedua pasal tersebut diatas, dapat kita lihat, bahwa keadaan memaksa itu adalah suatu kejadian yang tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janjinya.

Baca juga : Pengertian Keadaan Memaksa (Overmacht/Force Majeure) Dalam Hukum Perdata

Pengertian keadaan memaksa dapat dibedakan menjadi dua macam :
  1. Keadaan memaksa absolut (mutlak), yaitu bahwa dalam perjanjian tidak mungkin lagi debitur melaksanakan perjanjian tersebut.
  2. Keadaan memaksa relatif (tidak mutlak), yaitu bahwa dalam perjanjianmasih mungkin debitur untuk melaksanakan perjanjian tersebut, tetapi dibutuhkan niat dan pengorbanan yang besar dari debitur. 

Keadaan memaksa adalah kewajiban debitur. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1244 KUH Perdata yang menerangkan bahwa debitur tidak akan dihukum untuk membayar ganti rugi apabila ia membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakannya perjanjian adalah disebabkan oleh keadaan memaksa. Dengan kata lain, apabila prestasi tidak datang, debitur itu apriori dianggap salah kecuali kalau ia membuktikan bahwa ia tidak salah. Dalam hal keadaan memaksa ini yang menjadi persoalan adalah apakah perjanjiannya telah gugur karenanya ataukah perjanjian tersebut masih ada ? Dalam hal suatu keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut), sudah selayaknya perjanjian itu hapus, tetapi bila keadaan memaksa tadi hanya bersifat relatif, perjanjian itu dianggap masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya, manakala hal yang menyebabkan terjadinya keadaan memaksa tersebut sudah berhenti.
2. Mengajukan Tuntutan Bahwa Kreditur Sendiri Juga Telah Lalai  (Exceptio Non Adimpleti Contractus/Mora Creditoris).
Dengan pembelaan ini debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi mangajukan tuntutan di pengadilan bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa keduabelah pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya.

Dalam jual beli misalnya, ditegaskan dalam pasal 1478 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa :
  • Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya.

Exeptio non adimpleti contractus, sebagai suatu pembelaan debitur yang dituduh lalai, yang jika ternyata benar dapat membebaskan debitur dari pembayaran ganti rugi ini. Exeptio non adimpleti contractus  tidak diatur dalam undang-undang, tetapi merupakan suatu yurisprudensi, suatu aturan hukum yang telah diciptakan oleh hakim.
3. Mengajukan Tuntutan Bahwa Kreditur Telah Melepaskan Haknya Untuk Mengajukan Ganti Rugi (Pelepasan Hak atau Rechtsverwerking).
Pelepasan hak adalah alasan yang dapat membebaskan debitur yang dituduh lalai dari kewajiban mengganti kerugian dan memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian. Atau suatu alasan pihak debitur dalam melakukan tangkisan atas tuduhan kreditur bahwa kreditur dari sikapnya telah kelihatan menunjukkan sikap melepaskan haknya.

Misalnya, ketika kreditur menuduh debitur melakukan wanprestasi, karena barang yang diserahkan oleh debitur cacat dan tidak memuaskan bagi pihak kreditur. Dalam hal ini pihak debitur melakukan pembelaan bahwa pihak kreditur mengetahui barang tersebut kurang baik, tetapi tetap membeli barang itu, sehingga seolah-olah pihak kreditur dari sikapnya terlihat menunjukkan melepaskan haknya.

Baca juga : Kesalahan, Kelalaian, Dan Kesengajaan

Demikian penjelasan berkaitan dengan pembelaan debitur yang dituduh lalai  atau wanprestasi. Tulisan tersebut bersumber dari dari buku Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Semoga bermanfaat.