Pengertian Risiko Dalam Hukum Perjanjian

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Resiko. Secara umum, resiko diartikan sebagai tanggung jawab seseorang sebagai akibat dari perbuatannya. Dalam hukum perikatan, resiko diartikan sebagai kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda seperti yang dimaksud dalam perjanjian. Sebagai contoh : barang yang diperjualbelikan musnah di tengah jalan, karena kapal yang mengangkut karam.  Dalam hal demikian siapa yang mesti menanggung kerugian itu ? Itulah persoalan yang dinamakan risiko.

Persoalan risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam Hukum Perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi. Oleh karenanya, demi lengkapnya suatu perjanjian dan untuk menghindari sengketa di kemudian hari, serta memudahkan dalam penyelesaian sengketa tersebut, sudah seharusnya para pihak dengan tegas mengatur dan  menetapkan dalam perjanjian ketentuan tentang risiko tersebut.

Baca juga : Pengertian Serta Hubungan Antara Perjanjian, Persetujuan, Kontrak, Perikatan, Dan Kesepakatan

Sesuai dengan asas Hukum Penambahan (aanvullendsrecht), jika para pihak tidak menetapkan risiko dalam perjanjian yang dibuatnya, maka akan berlaku pasal-pasal tentang risko yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata. Persoalan risiko ini diatur dalam pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa :
  • Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang

Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan risiko. Dengan begitu, sesuai dengan jetentuan pasal 1237 KUH Perdata tersebut, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, jika barang itu sebelum diserahkan musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian itu harus dipikul oleh si berpiutang, yaitu pihak yang berhak menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. Pembuat undang-undang hanya memikirkan suatu perjanjian di mana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu.

Baca juga : Perumusan Dan Manfaat Pembedaan Perjanjian

Pembedaan Resiko Dalam Perjanjian. Di luar dari ketentuan pasal 1237 KUH Perdata tersebut, persoalan risiko dibedakan dalam :

1. Risiko pada perjanjian sepihak.  
Pasal 1237 KUH Perdata tersebut, bagaimanapun hanya dapat dipakai untuk perjanjian sepihak, seperti perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam pakai. Pasal 1237 KUH Perdata tersebut tidak dapat dipakai untuk perjanjian yang sifatnya timbal balik.

Ketentuan pasal 1245 KUH Perdata, menyebutkan bahwa :
  • Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pasal 1245 KUH Perdata tersebut menunjukkan bahwa risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya.
2. Risiko pada perjanjian timbal balik.
Menurut Pitlo, bahwa berdasarkan asas kepantasan atau kepatutan, jika debitur tidak lagi berkewajiban, maka pihak lainnya pun bebas dari kewajibannya. Pendapat Pitlo ini juga didukung oleh ketentuan undang-undang, antara lain pasal 1246, 1545, dan 1563 KUH Perdata. Pasal-pasal tersebut membebankan kerugian dalam hal terjadinya keadaan memaksa kepada debitur pada siapa barangnya musnah. Kecuali yang diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata, yang menentukan bahwa jual beli barang tertentu risikonya dibebankan kepada pembeli.

Untuk perjanjian timbal balik, kita harus mencari  pasal-pasal dalam Bagian Khusus KUH Perdata, yaitu dalam bagian yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus, seperti : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Dalam Bagian Khusus tersebut, dapat ditemukan beberapa pasal yang mengatur tentang risiko. Misalnya : 

a. Pasal 1460 KUH Perdata. 
Pasal 1460 KUH Perdata mengatur risiko dalam jual beli, yang menyebutkan bahwa : 
  • Jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya.


b. Pasal 1545 KUH Perdata. 
Pasa; 1545 KUH Perdata mengatur risiko dalam tukar menukar, yang menyebutkan bahwa : 
  • Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar itu.

Baca juga : Perikatan Sebagai Isi Perjanjian

Kedua pasal tersebut diatas sama-sama mengatur tentang risiko dalam suatu perjanjian timbal balik, tetapi sangat berbeda satu sama lain, bahkan berlawanan satu sama lain. 
  • Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata tersebut meletakkan risiko dipundak si pembeli, yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya (disebut kreditur karena ia berhak menuntut penyerahannya). Sementara pasal 1545 KUH Perdata meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik adalah debitur terhadap barang yang dipertukarkan yang musnah sebelum diserahkan.

Melihat peraturan tentang risiko, yang saling bertentangan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah manakah yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu perjanjian timbal balik pada umumnya dan manakah yang merupakan pengecualiannya ?
  • Jawabannya adalah bahwa apa yang ditetapkan untuk perjanjian tukar menukar itu harus dipandang sebagai asas berlaku pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian timbal balik, karena peraturan yang diletakkan dalam pasal 1545 KUH Perdata tersebut memang yang setepatnya dan seadilnya. Sedangkan pasal 1460 KUH Perdata tersebut lazim, yang oleh para sarjana dan yurisprudensi ditafsirkan secara sempit, ditujukan pada perkataan "barang tertentu" dalam pasal tersebut. Suatu barang tertentu adalah suatu barang yang dipilih dan ditunjuk oleh si pembeli, dan tidak lagi dapat diganti dengan barang lain.
3. Pasal 1553 KUH Perdata.
Pasal 1553 KUH Perdata mengatur risiko dalam sewa menyewa, yang menyebutkan bahwa :
  • Jika selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalah salah satu pihak, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum

Dalam pasal 1553 KUH Perdata, aturan tentang risiko hanya tersirat di dalamnya, artinya kita ambil peraturan itu secara menyimpulkan dari kata-kata yang dipakai dalam pasal 1553 KUH Perdata tersebut, khususnya dari perkataan "gugur", kita simpulkan bahwa masing-masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu apa kepada pihak lainnya. Dengan kata lain, kerugian akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh pemilik barang. hal ini selaras dengan pedoman atau asas yang telah disimpulkan dari pasal 1545 KUH Perdata yang mengatur masalah risiko dalam tukar menukar.

Baca juga : Ketentuan Umum Dan Sistem Terbuka Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan

Demikian uraian tentang pengertian resiko dalam hukum perjanjian. Tulisan tersebut bersumber daro buku Hukum Perjanjian, karangan Prof. Subekti, SH ; Pokok-Pokok Hukum Perikatan, karangan R. Setiawan, SH dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Semoga bermnafaat.