Mistisisme : Pengertian Dan Karakteristik Mistisisme, Serta Alasan Mengapa Orang Menganut Mistisisme (Paham Mistik)

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :
Pengertian Mistisisme. Secara etimologi, istilah “mistisisme” merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris “mysticism” yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “mysterion”, yang berakar pada kata kerja “myein” yang berarti menutup mata. Kata mistisisme memiliki kata dasar “mistis atau mistik”, yang dalam bahasa Yunani disebut “mystikos” yang berarti rahasia, tersembunyi, atau gelap. Sedangkan orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan disebut “mystes”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “mistisisme” diartikan dengan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Sementara Oxford Advanced Learner’s Dictionary, mengartikan “mistisisme” dengan :
  • suatu kepercayaan atau pengalaman tentang mistik.
  • ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa diperoleh melalui meditasi atau pemahaman spiritual yang bebas dari pengaruh akal dan panca indra.

Sedangkan Rufus M. Jones, dalam “Dictionary of Philosophy”, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mistisisme adalah :
  • suatu tipe agama yang memberikan tekanan pada kesadaran yang langsung berhubungan dengan Tuhan.
  • kesadaran akan kehadiran Tuhan yang langsung dan akrab.
  • agama pada suatu tingkatan yang mendalam.

Secara terminologis, istilah “mistisme” dapat diartikan dengan banyak pengertian. Mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misalnya, ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama penganutnya. Mistisisme juga berarti kepercayaan bahwa kebenaran tertinggi tentang realitas hanya dapat diperoleh melalui pengalaman intuitif suprarasional bahkan spiritual, dan bukan melalui akal (rasio atau reason) logis belaka.

Dalam literatur Islam, mistisisme disebut dengan “al-tasawwuf”, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “tasawuf”. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, dalam “Falsafat dan Mistisisme dalam Islam”, di mana disebutkan bahwa :

dalam Islam disebut dengan tasawuf, yang oleh para orientalis Barat disebut dengan “sufisme”. Kata sufisme oleh para orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisme Islam, tidak dipakai untuk agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah.”



Selain itu, pengertian mistisisme juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :

1. William Ralph Inge.
William Ralph Inge, dalam “Misticsm in Religion”, menjelaskan bahwa mistisisme adalah :
  • sebuah perasaan menyatunya diri dengan Tuhan (attopfleiaener).
  • sikap pikiran yang di dalamnya semua relasi ditujukan untuk menjalin hubungan jiwa dengan Tuhan.
  • mistik sejati adalah kesadaran bahwa apapun yang kita alami dalam kenyataannya hanyalah sebuah elemen belaka yang mensiratkan adanya “sesuatu yang lain”.

Lebih lanjut Willian Ralph Inge menyebutkan bahwa mistisme merupakan kesadaran akan realitas yang melampaui, “Yang Maha” yang tampak sebagai suatu prinsip aktif yang independen. Diyakini bahwa mistisme telah membangun suatu “sistem spekulasi dan praksis”-nya sendiri yang berada di luar inti mistisme itu sendiri. Mistisme dapat dipandang sebagi suatu model atau bentuk agama, ia berasumsi bahwa kehidupan yang memadu (unitive) atau kontemplatif yang mewadahi persaksian langsung antara manusia dan Tuhan, serta melebur dengan-Nya merupakan langkah akhir yang menjadi tujuan jalan mistis.

2. C.B. Van Haeringen.
C.B. Van Haeringen, dalam “Nederlands Woordenboek”, menjelaskan bahwa mistisme adalah :
  • kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan Tuhan.
  • kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh manusia (ziel) dengan Tuhan.

3. Jacob Kramers Jz.
Jacob Kramers Jz, dalam “Algemeene Kunstwoordentolk”, menjelaskan bahwa mistisme adalah :
  • kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung (onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu.
  • kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi (verborgenheden).
  • kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap).

4. Ibrahim Basyuni.
Ibrahim Basyuni, dalam “Nasy’ah al-Tasawuf al-Islamiy”, menjelaskan bahwa pengertian mistisme atau tasawuf memiliki batasan dalam tiga dimensi, sebagai berikut :
  • al-bidayat, maksudnya tasawuf merupakan prinsip awal sebagai manifestasi dari keseluruhan spritual manusia tentang dirinya.
  • al-mujahadat, maksudnya tasawuf merupakan seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan yaitu berjumlah dengan Tuhan. Jadi, tasawuf di sini adalah sebagai usaha yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
  • al-mażaqat, maksudnya tasawuf merupakan al-żauq yakni merasakan. Jadi tasawuf di sini adalah bagaimana yang dialami dan dirasakan seseorang di hadirat Tuhan.

Batasan-batasan yang disebutkan oleh Ibrahim Basyumi tersebut adalah mengacu pada upaya penciptaan kesadaran manusia sebagai hamba yang kemudian mencari hubungan langsung hubungan dengan Tuhan untuk bersatu dengan-Nya.

5. Ibnu Arabi.
Ibnu Arabi yang memiliki nama asli Muhammad Ibn Ali Muhammad Ibn al-Arabi al-Ta’I al-Hatimi, dalam “Futuhat al Makkiyyah”, menjelaskan bahwa berusaha memahami mistisisme berarti berusaha mengalami secara pribadi aneka gejolak batin dan menarik keluar pesan kehidupan yang ada di dalamnya. Atau dengan kata lain, praktik dan pengalaman langsung (direct experience) merupakan jalan poros menuju pemahaman akan mistisisme. Lebih lanjut, Ibnu Arabi menyebutkan bahwa agama sebenarnya sudah menawarkan jalan tersebut, apabila agama dipandang dalam dua dimensi, yaitu :
  • dimensi eksoteris (lahiriah), dalam hal ini agama berkaitan erat dengan aturan dan dogma.
  • dimensi esoteris (batin), dalam hal ini agama berkaitan erat dengan pengalaman batin, pribadi, dan langsung akan “Yang Ilahi”.

Kedua dimensi tersebut merupakan satu mata rantai menuju pemahaman akan Yang Ilahi, yang tercermin dalam empat tahap pemahaman akan Yang Ilahi, yaitu :
  • syari’ah, merupakan dasar dari semua agama yang berisi ajaran moral dan etika ajaran tersebut memberi petunjuk tentang cara hidup yang benar di dunia sehingga tampilan luar seseorang menjadi bersih. Dengan kata lain, syari’ah adalah hukum keagamaan.
  • thariqah, yang secara etimologi dapat berarti jalan tanpa petunjuk di padang pasir, seperti jalan yang ditempuh dari satu oasis ke oasis yang lain. Pada tahap ini, pengalaman religious seseorang bergeser ke pengamalan batin.
  • haqiqah, yang berarti kebenaran. Tahapan haqiqah akan akan dapat dicapai, apabila seseorang telah melalui tahap syari’ah dan thariqah. Tahap haqiqah dicirikan dengan pengalaman masuk ke dunia gaib. Tanpa sampai pada taraf ini, praktik keagamaan seseorang masih merupakan imitasi atau tiruan.
  • ma’rifah, yang berarti pengetahuan atau pengenalan. Pada tahap ma’rifah, seseorang memiliki kearifan yang bersumber dari pengenalan langsung akan kebenaran spiritual. Tidak banyak orang yang bisa mencapai level ini yaitu level yang dicapai oleh orang-orang suci.


Karakteristik Mistisisme. Secara umum, terdapat beberapa hal yang menjadi karakteristik atau ciri-ciri khas dari mistisme, yaitu :
  • memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi.
  • mencari hakikat kebenaran atau realitas.
  • untuk peningkatan kualitas moral.
  • peleburan diri dengan sifat-sifat tuhan dan atau penyatuan diri dengan Tuhan.
  • penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman.

Sedangkan Abu al-Wafa’ al-Gharnimi al-Taftazani, dalam “Sufi dari Zaman ke Zaman”, menjelaskan bahwa mistisme atau tasawuf memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis, yang sesuai dengan mistisme atau tasawuf, yaitu sebagai berikut :

1. Peningkatan moral.
Setiap mistisme atau tasawuf memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan fisik-psikis tersendiri, serta pengengkangan dri dari materialisme duniawi.

2. Pemenuhan fana dalam realitas mutlak.
Hal ini membutuhkan latihan-latihan fisik dan psikis sehingga seorang mistikus dan sufi sampai pada kondisi psikis tertentu, di mana dia mencapai dititik yang tertinggi. Meskipun begitu, karakteristik ini dapat ditemukan pada semua sufi dan mistikus.

3. Pengetahuan intutif langsung.
Hal ini yang membedakan mistisme atau tasawuf dari filsafat. Dalam filsafat, orang yang dalam memahami realitas mempergunakan metode-metode intelektual disebut seorang filosof. Sedangkan dalam mistisme atau tasawuf, orang yang berkeyakainan atas metode yang lain bagi pemahaman hakekat realityas dibalik persepsi inderawi dan penalan intelektual disebut dengan mistikus atau sufi.

4. Ketentraman atau kebahagiaan.
Hal Ini merupakan karakteristik antara mistikus dan sufi, karena keduanya diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali hawa-nafsu, serta pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang mistikus atau sufi.

5. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan.
Yang dimaksud dengan menggunakan simbol adalah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para mistikus atau sufi mengandung dua pengertian, yaitu :
  • pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata.
  • pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman


Alasan Orang Menganut Mistisisme (Paham Mistik). Terdapat beberapa alasan kenapa orang menganut mistisisme atau paham mistik, diantaranya adalah :

1. Rasa kurang puas yang berlebihan.
Bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada Tuhan menurut ajaran agamanya yang ada saja.

2. Rasa kecewa yang berlebihan.
Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia di bidang science dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketentraman, dan kebahagiaan hidup. Malah mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka lari dari kehidupan modern menuju ke kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.

Sedang bagi para penganut mistisisme (paham mistik), mereka menganggap seseorang sebagai pimpinannya karena beberapa alasan, diantaranya adalah :
  • pernah melakukan kegiatan yang istimewa.
  • pernah mengatasi kesulitan, penderitaan, bencana atau bahaya yang mengancam dirinya apalagi masyarakat umum.
  • masih keturunan atau ada hubungan darah, bekas murid atau kawan dengan atau dari orang yang memiliki kharisma.
  • pernah meramalkan dengan tepat suatu kejadian besar atau penting.


Demikian penjelasan yang berkaitan dengan pengertian dan karakteristik mistisisme, serta alasan mengapa orang menganut mistisisme (paham mistik).

Semoga bermanfaat.