Pengertian Kesejahteraan Psikologis. Pada awalnya terdapat dua paradigma dan perspektif besar mengenai “kesejahteraan” atau “well-being”, yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda, yaitu :
Menurut pandangan hedonic, tujuan hidup yang utama adalah mendapatkan kenikmatan secara optimal. Menurut para ahli psikologi yang menganut pandangan hedonic, kesejahteraan tersusun atas kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan. Model pengukuran untuk mengevaluasi “pleasure atau pain continuum” dalam pengalaman manusia tersebut, disebut dengan “subjectives well-being”, yang terdiri dari tiga komponen utama yang seringkali dirangkum dalam konsep “kebahagiaan”, yaitu : kepuasan hidup, adanya afek positif, dan tidak adanya afek negatif.
2. Pandangan Eudaimonic.
Pandangan eudaimonic memformulasikan kesejahteraan dalam konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Konsepsi kesejahteraan dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam “daimon”-nya atau dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati ini terjadi ketika manusia melakukan aktivitas yang paling kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat didalamnya (fully engaged). Dengan kata lain, pendekatan eudaimonic berfokus pada : realisasi diri, ekspresi pribadi, dan sejauh mana seorang individu mampu untuk mengaktualisasikan potensi dirinya.
Baca juga : Kepuasan Hidup (Life Satisfaction)
Dalam perkembangannya, muncul satu konsep multidimensional untuk mengukur kesejahteraan manusia yang disebut dengan “kesejahteraan psikologis” atau “psychological well-being”. Konsep “kesejahteraan psikologis” atau “psychological well-being” dikemukakan oleh Carol Diane Ryff, seorang Profesor psikologi Hilldale di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, pada tahun 1989. Carol Diane Ryff merumuskan konsepsi kesejahteraan psikologi atau “psychological well-being” berdasarkan integrasi dari teori-teori perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsepsi mengenai kesehatan mental.
Menurut Carol Diane Ryff, dalam “Happiness Is Everything, or Is It ? Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being”, yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology, 57, Tahun 1989, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan psikologis atau “psychological well-being” adalah :
“suatu kondisi di mana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.”
Kesejahteraan psikologis seorang individu merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktivitas yang dilakukan oleh seorang individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang di mulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif. Menurut Carol Diane Ryff, seorang individu yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi adalah seorang individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya.
Selain dari Carol Diane Ryff tersebut, pengertian tentang kesejahteraan psikologi atau “psychological well-being” juga dapat dijumpai dalam beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
- S.A. De Lazzari, dalam “Emotional Intelligence, Meaning, And Psychological Well Being: A Comparison Between Early And Late Adolescence”, menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologi adalah kepuasan hidup dalam arti keadaan sehat secara mental dan rasa bahagia. Menurut S.A. De Lazzari, kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah demografi, kepribadian (emosi), dukungan sosial, dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.
- Ferny Santje Lakoy, dalam “Psychological Well-Being Perempuan Bekerja dengan Status Menikah dan Belum Menikah”, yang dimuat dalam Jurnal Psikologi, 7(2), Tahun 2009, menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu yang mencakup evaluasi dan penerimaan diri pada berbagai aspek kehidupan, tidak hanya berupa aspek positif namun juga aspek negatif yang terbagi dalam enam dimensi, yaitu : dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi, dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan dimensi pengembangan pribadi.
Baca juga : Penyebab Dan Gejala Stres
Dimensi Kesejahteraan Psikologis. Terdapat beberapa dimensi atau aspek dalam kesejateraan psikologis. Carol Diane Ryff menyebutkan bahwa dimensi atau aspek yang menyusun kesejahteraan psikologis atau “psychological well‐being” adalah :
1. Self Acceptance (Penerimaan Diri).
Dalam teori perkembangan manusia, “self acceptance” berkaitan dengan penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya. Demikian halnya dalam literatur positive psychological functioning, “self acceptance” juga berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Seorang individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi “self acceptance”, bercirikan sebagai berikut :
- memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri.
- menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk.
- memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya dimasa lalu.
Sebaliknya, seseorang individu dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi “self acceptance”, apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri.
2. Positive Relations with Others (Hubungan Positif dengan Orang Lain).
Seorang individu yang memiliki “positive relations with others” mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi.
Sebaliknya, seorang individu yang kurang baik dalam dimensi “positive relations with others” memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain.
- sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain.
- terisolasi dan merasa frustrasi dalam membina hubungan interpersonal.
- tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
3. Autonomy (Otonomi).
Seorang individu dengan “fully functioning” digambarkan sebagai seorang individu yang memiliki “internal locus of evaluation”, di mana orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal. Dalam “teori perkembangan” disebutkan bahwa otonomi sebagai rasa kebebasan yang dimiliki seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari.
Seorang individu yang memiliki “autonomy” yang baik, bercirikan sebagai berikut :
- dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan mandiri.
- mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain.
- memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial.
- dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri.
- dapat mengevaluasi diri dengan standar personal.
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki “autonomy” akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial.
4. Environmental Mastery (Penguasaan Lingkungan).
Salah satu karakteristik dari kondisi kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Seorang individu yang matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar dirinya. Dalam “teori perkembangan” disebutkan bahwa manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan dan melakukan perubahan-perubahan yang dinilai perlu melalui aktivitas fisik dan mental serta mengambil manfaat dari lingkungan tersebut.
Seseorang yang baik dalam dimensi “environmental mastery” memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan.
- dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari.
- memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya.
- mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki “environmental mastery” yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.
5. Purpose in Life (Tujuan Hidup).
Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Salah satu ciri kematangan seorang individu adalah memiliki tujuan hidup, yaitu memiliki rasa keterarahan (sense of directedness) dan rasa bertujuan (intentionality). Dalam “teori perkembangan” ditekankan bahwa terjadinya berbagai perubahan tujuan hidup disesuaikan dengan tugas perkembangan dalam tahap perkembangan tertentu. Selain itu, “fully functioning person” memiliki tujuan dan cita-cita serta rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna.
Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi “purpose in life” memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup.
- mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini.
- memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup.
- memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup.
Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki “purpose in life” akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup, kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu.
6. Personal Growth (Pertumbuhan Pribadi).
“Optimal psychological functioning” tidak hanya bermakna pada pencapaian terhadap karakteristik-karakteristik tertentu, namun pada sejauh mana seseorang terus-menerus mengembangkan potensi dirinya, bertumbuh, dan meningkatkan kualitas positif pada dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri merupakan perspektif utama dari dimensi “personal growth”. Dalam “teori perkembangan” ditekankan bahwa penting bagi manusia untuk bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode pada tahap perkembangannya.
Seorang individu yang memiliki “personal growth” yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya.
- memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang.
- terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru.
- memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki.
- dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu.
- dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki “personal growth” yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik.
Faktor yang Memengaruhi Kesejahteraan Psikologis. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis atau “psychological well-being” seorang individu. Carol Diane Ryff dalam penelitian yang dilakukannya menyimpulkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah :
1. Usia.
Terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis pada individu dalam rentang usia tertentu. Dalam penelitian ditemukan bahwa semakin bertambahnya usia seorang individu :
- dimensi “environmental mastery” dan “autonomy” akan bertambah.
- dimensi “purpose in life” dan “personal growth” akan semakin berkurang.
- dimensi “self-acceptance” dan “positive relations with others” tidak signifikan berbeda.
2. Gender.
Dari penelitian ditemukan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena dalam aktivitas sosial yang dilakukan, perempuan cenderung lebih memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik dibandingkan laki-laki.
3. Kepribadian.
Dalam penelitian ditemukan bahwa :
- dimensi “self-acceptance”, “environmental mastery”, dan “purpose in life” banyak dipengaruhi oleh trait kepribadian : “neuroticism”, “extraversion”, dan “conscientiousness”.
- dimensi “personal growth” dipengaruhi oleh trait kepribadian : “oppenness to experience”.
- dimensi “positive relations with others” dipengaruhi oleh trait kepribadian : “agreeableness”.
- dimensi “autonomy” dipengaruhi oleh beberapa trait kepribadian, tetapi kebanyakan oleh “trait neuroticism”.
4. Pendidikan.
Tingkat pendidikan seorang individu merupakan satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Seorang individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, akan memiliki “environmental mastery” lebih baik dan kesejahteraan psikologis yang lebih baik juga. Tingkat pendidikan menempatkan seorang individu pada posisi tertentu dalam struktur sosial.
5. Status Sosial Ekonomi.
Status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan psikologis. Tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis juga lebih baik. Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi “self-acceptance”, “purpose in life”, “environmental mastery”, dan “personal growth”. Status sosial ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraaan psikologis, seperti : besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi, dan status sosial di masyarakat.
6. Dukungan Sosial.
Dukungan sosial dari keluarga terdekat atau dari lingkungannya dapat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan psikologis seorang individu. Seorang individu yang pada masa kecilnya memiliki hubungan yang baik dengan orang tua dan mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari orang tua akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pada masa dewasa.
7. Spiritualitas.
Spiritualitas berkaitan dengan kesejahteraan psikologis terutama pada dimensi “personal growth”dan “positive relations with others”. Spiritualitas merupakan sumber daya dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis terutama ketika kondisi kesehatan memburuk. Seorang individu yang merasa mendapatkan dukungan spiritual, akan cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi.
Baca juga : Sumber Dan Tahapan Resiliensi
Seorang individu yang sehat secara psikologis memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka dapat membuat keputusan sendiri, mengatur perilaku mereka sendiri, serta memilih atau membentuk lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki tujuan yang membuat hidup mereka bermakna, dan mereka akan berusaha untuk mengeksplorasi dan mengembangkan diri semaksimal mungkin.
Demikian penjelasan berkaitan dengan pengertian kesejahteraan psikologis (psychological well-being), dimensi dan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being).
Semoga bermanfaat.